Oleh: Sukron Abdilah*
BANDUNGMU.COM – Kita hampir sering mendengar istilah sepi dalam keramaian, ramai dalam kesepian. Ungkapan itu muncul seketika, sebabnya kita merasa ada sesuatu yang telah hilang dalam kehidupan.
Ketika orang lain tertawa, kita ikut tertawa namun kecut, sebabnya hati kita tak ikut serta dalam suasana riang itu. Begitu pula sebaliknya, dalam kesepian kita merasa ramai karena pikiran dan hati kita merasa bahagia. Entah kita merasa besok atau lusa kita akan mendapatkan hadiah dari teman atau orang tua kita.
Dua sikap itu, tidak ayalnya sering hadir dalam kehidupan ini. Namun, tak dapat pula dipungkiri, kesepian itu muncul atas dasar rasa kekecewaan dari kita. Ketika semua keinginan tidak kunjung tercapai dan kegagalan menderu dalam jiwa, maka kesepian hinggap seperti angin datang. Tidak tentu arah.
Hati kita berontak berkata bahwa semua ini tidak adil. Pikiran bertanya, kenapa orang lain begitu mudah mendapatkan sesuatu, tetapi kita begitu sulit untuk menggapainya. Allah tidak adil sama aku, Allah jahat. Kemudian ucapan-ucapan itu menjadi dialog dalam hati dan pikiran kita.
Anehnya, rasa minder datang pula. Begitu besar mendera jiwa. Ketika bertemu teman, rasanya malas sekali. Ketika mendengar nasihat dari orang tua atau saudara, kita malah malas mendengarkannya. Saat itu, kita galau meracau. Ungkapan bijak benar bahwa dalam kehidupan ini tawa dan derita ibarat dua cincin berpasangan. Mereka selau hadir berpasangan.
Secara manusiawi, ketika kita tertimpa sebuah penderitaan, tak jarang hati ini dilanda beragam perasaan yang selalu mengusik hati, menyiksa jiwa dan membuat hidup menjadi keruh dan sempit. Kemudian sikap itu membuat kita selalu merasa sepi, terasing dan teraniaya. Jangan khawatir, kita masih punya Allah SWT, tempat kita curhat dengan apa adapnya.
Sungguh kita memang seorang pelupa bahwa taka da rasa sepi, sebab Allah selalu memantau kita. Barangkali ketika jiwa kita merasa sepi, karena berjauhan dengan Allah, lantas kita sungguh malu untuk curhat kepada-Nya.
Barangkali kita memang harus mewaspadai tiga jenis gangguan jiwa berikut. Pertama, kita sedang huzn (kesedihan terhadap apa yang terjadi di masa lalu). Kedua, hamm (keresahan lantaran kekhawatiran akan masa depan). Ketiga, ghamm (perasaan gundah saat menghadapi kenyataan yang sulit yang tengah dihadapi sekarang).
Dalam Musnad Ahmad dan Shahih Ibn Hibban, Abdullah Ibn Masud meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Tidaklah seorang hamba mengucapkan doa berikut (ini) tatkala ia didera keresahan atau kesedihan melainkan Allah pasti akan menghilangkan keresahannya dan akan menggantikan kesedihannya dengan kegembiraan.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sudah seharusnya kami mempelajari doa tersebut.” Rasulullah menjawab, “Benar. Sudah seharusnya orang yang mendengarnya mau mempelajarinya.”
Doa yang dimaksud berbunyi: “Ya Allah, sungguh aku ini adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, anak dari hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di tangan-Mu, ketentuan-Mu berlaku pada diriku, keputusan-Mu adil terhadapku, Aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang merupakan milik-Mu, nama yang engkau lekatkan sendiri untuk menamai diri-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang di antara hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar engkau menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihanku dan pelenyap keresahanku.”
Maka, seperti imbauan Rasulullah, kita semestinya berdoa meminta pentunjuk kepada-Nya. Dengan mendekatkan diri kepada Allah tiga perasaan seperti disebutkan di atas, insyaallah akan lenyap.
Bagi kita seorang muslim, kala ditimpa kesedihan, keresahan maupun kegalauan, ungkapkanlah melalu doa atau curhat malam (shalat tahajud) kepada-Nya. Ini sebagaimana firman Allah, “Hanya milik Allah asmaul husna, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (QS Al-Araf [7]: 180).
Mulailah berkenalan dengan sifat Allah SWT karena semakin kuat seorang hamba mengenal Dia, nama dan sifat-Nya, ia akan semakin takut kepada Allah, semakin besar merasakan pengawasan-Nya terhadap dirinya dan akan semakin jauh dari kemaksiatan dan hal-hal yang Allah murkai.
Namun, merasakan sepi dalam keramaian pun dalam makna lain hidup ini adalah selalu merindukan kasih sayang dari Allah SWT. Misalnya ketika semua orang merayakan hal-hal yang bersifat duniawi, kita merenung sekaligus bertafakur dengan keintiman.
Ketika semua orang merasa semua hasil dari usaha dan kerja keras mereka, kita merasa malu karena semua hal di dunia ini adalah atas karunia Allah SWT. Menyepi dari dari hiruk pikuk keramaian adalah menghadirkan Allah lebih dekat kepada kita sekaligus mengambil jarak dengan dunia.
Saat itu pula, kita melakukan evaluasi diri, mengingat seluruh kejadian yang pernah terjadi dan berzikir kepada-Nya agar diberikan petunjuk dalam hidup. Barangkali kita mesti belajar juga untuk menjadi sepi, seperti telah dilakukan oleh Nabi Muhammad pada masa mudanya.
Ia sering sekali melakukan uzlah, yaitu mengasingkan diri dari kota Makkah karena tidak tahan dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh masyarakat Makkah. Ia menepi ke satu ruangan tersembunyi, sunyi dari hiruk pikuk manusia. Sejak umur 27 tahun, ia menepi ke gua hira. Ia bisa berhari-hari tidur di situ. Hingga turun ayat pertama, ketika Nabi Muhammad merasa galau kemudian menyepi di sana.
Sikap itu pula dalam sejarah Islam pernah dilakukan oleh tujuh pemuda yang terkenal dengan Ashabul Kahfi, ketika keadaan kota kacau, mereka ditidurkan oleh Allah SWT. Rencana awal, mereka adalah mengasingkan diri. Menyepi dalam keramaian.
*Chief In Editor Bandungmu.com