BANDUNMU.COM, Surakarta — Fazlur Rahman telah diakui sebagai salah satu cendekiawan Muslim yang memiliki jejak pengaruh di Indonesia.
Di antara banyak faktor yang membuat pengaruh Rahman terasa di Indonesia adalah peran dan karya-karya muridnya di Universitas Chicago yaitu Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif.
Menurut Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani, Madjid dan Maarif memiliki penekanan yang berbeda ketika mengimplementasikan gagasan Rahman dalam konteks Indonesia.
Tanpa mengabaikan gagasannya yang lain, Madjid lebih mementingkan gagasan Rahman tentang neo-modernisme Islam. Sementara Maarif mengadopsi pikiran-pikiran Rahman pada isu-isu moralitas dan kemanusiaan.
Maarif belajar di bawah Rahman dari tahun 1978 di Departemen Bahasa dan Peradaban Timur Dekat Universitas Chicago.
Karya-karya Maarif yang ditulis setelah studinya di Universitas Chicago dengan jelas mengungkap pengaruh Rahman yang cukup mendalam.
Menurut Najib, satu hal yang paling signifikan dari aktivisme Maarif adalah pengadopsian gagasan Rahman bahwa Al-Quran merupakan kitab moralitas dan sumber etika.
Najib menerangkan, berdasarkan pemikiran Rahman, sejak awal wahyu Al-Qur’an diturunkan, Islam sangat menentang politeisme (penyembahan berhala), eksploitasi orang miskin, malpraktek dalam perdagangan, dan sikap tidak bertanggung jawab secara umum terhadap masyarakat.
Penentangan terhadap kaum musyrik bukan hanya karena mereka percaya pada pluralitas tuhan, tetapi lebih penting lagi karena kemusyrikan menjadi dasar ketidakadilan sosial.
Singkatnya, Islam sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an adalah agama moralitas dan kemanusiaan.
“Elan dasar etika al-Qur’an adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter di bawah Tuhan,” ucap Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam acara “Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebhinekaan, dan Keadilan Sosial” yang diselenggarakn Maarif Institute di UMS pada Sabtu (12/11/2022).
Gagasan Rahman tentang Al Quran ini banyak memberikan inspirasi bagi Maarif. Tidak seperti Quraish Shihab atau Buya Hamka yang menulis tafsir Al-Quran lengkap 30 juz, Maarif lebih memilih tema-tema tertentu dari Al-Quran yang memiliki relevansi dengan kebutuhan sosial.
Menurut Najib, dalam menafsirkan Al-Quran, Maarif menggabungkan pengetahuan sejarah Islam dan Al-Quran dengan ilmu sosial kontemporer dan mencoba menghubungkannya dengan masalah nyata di masyarakat.
Maarif secara khusus menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah sosial seperti ketidakadilan, tirani negara, kejujuran pemimpin negara, korupsi, politisi buruk, kemunafikan, dan aparatur negara yang otoriter.
Dia percaya, seperti Rahman, bahwa etika adalah tema sentral dan mendasar dari Al-Quran, dan bahwa elan utama Kitab Suci ini adalah menjadi kompas moral perilaku manusia.
“Barangkali perbedaan Rahman dan Maarif ialah terletak pada perhatian utamanya. Bukanlah untuk melakukan pengembacan wacana intelektual, tetapi untuk membuat Al-Quran mengungkapkan makna dan signifikansinya terhadap masalah masyarakat kontemporer, membuat Al-Quran berbicara, tidak hanya untuk orang-orang di abad ke-7 , tetapi juga di abad saat ini,” ucap Najib.***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA