PMB Uhamka
Islampedia

Penjelasan Muhammadiyah Soal Hukum Sumpah Pocong dan Mubahalah

×

Penjelasan Muhammadiyah Soal Hukum Sumpah Pocong dan Mubahalah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (media.istockphoto)

BANDUNGMU.COM, Bandung — Sumpah yang dalam Islam terkenal dengan sebutan al yamin atau al hilfu atau al qasam memang ada landasannya, baik dalam Al-Quran maupun hadis Nabi SAW.

Adapun sumpah pocong sebenarnya hanya tradisi lokal Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan tata cara sumpahnya. Sementara dari isi sumpahnya bisa saja tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.

Penggunaan sumpah

Dalam Islam, mengenai penggunaan/pemakaian sumpah ini secara garis besarnya ada dua macam. Pertama, sumpah di luar pengadilan. Kedua, sumpah yang dilakukan di pengadilan dalam proses berperkara.

Sumpah jenis pertama biasa dilakukan orang-orang. Adakalanya untuk menyangkal ketidakbenaran yang disampaikan/dikatakan oleh orang lain, atau untuk menyelesaikan perselisihan.

Kadang-kadang juga sumpah itu diucapkan untuk menandaskan bahwa apa yang disampaikan/diucapkan itu sesuatu yang benar. Orang Arab adalah orang yang gemar bersumpah. Untuk memulai pembicaraan saja agar pembicaraannya itu didengar orang atau diperhatikan orang, ia memulai dengan sumpah.

Dalam bersumpah mereka biasa bersumpah dengan apa pun, dengan leluhurannya, dengan pohon, dengan benda-benda lain. Untuk itu, Nabi SAW mengarahkan agar sumpah itu mempunyai makna sehingga dalam bersumpah hendaknya mempergunakan nama Allah.

Peringatan Nabi SAW

Dalam riwayat Abu Dawud dan An Nasai dari Abu Hurairah bahwaRasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian dan jangan pula dengan nama ibu-ibu kalian, jangan pula dengan nama patung-patung, dan janganlah bersumpah kecuali dengan nama Allah dan janganlah bersumpah kecuali kalian benar (apa yang disumpahkan).”

Dari hadis di atas ada dua hal yang berkaitan dengan sumpah. Pertama, sumpah itu harus menggunakan nama Allah, seperti wallahi (demi Allah). Kedua, hal yang disampaikan itu sesuatu yang benar.

Artinya bahwa jangan sampai sumpah itu untuk main-main atau sumpah itu dijadikan sebagai sarana mengambil sesuatu yang bukan haknya atau menzalimi orang lain (QS An-Nahl: 94).

Baca Juga:  Rajaban, Isra Mikraj, dan Tradisi Kemanusiaan

Dalam hadis Bukhari dari Abdullah bin Amr bahwa menurut Nabi SAW di antara dosa besar itu adalah sumpah bohong. Nabi SAW bersabda: “Dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh, dan bersumpah bohong.” (HR Bukhari).

Demikian juga tidak diperbolehkan sumpah untuk tidak bertakwa, tidak berbuat baik kepada orang tua, dan untuk tidak melakukan segala macam kebaikan dan kebenaran.

Dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 224 Allah SWT berfirman: “Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Adapun sumpah di pengadilan adalah sumpah dalam proses berperkara. Sumpah di sini mungkin diperintahkan oleh hakim karena alat bukti kurang sehingga memerlukan bukti tambahan.

Bisa juga sumpah itu sebagai pemutus (yamin ‘ala al-bat/decissiore eed) yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas permintaan pihak lainnya dan karena tidak ada alat bukti sama sekali yang mendukung.

Apabila sumpah ini diizinkan oleh hakim dan diterima oleh pihak lain, maka pihak yang mau bersumpah dimenangkan perkaranya. Logikanya kalau memang seseorang itu benar, tentulah ia tidak berkeberatan untuk mengucapkan sumpah.

Hukum sumpah pocong

Berkaitan dengan sumpah sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan, Islam membolehkan menyelesaikan perselisihan dengan sumpah yang dilakukan di luar pengadilan.

Mengenai sumpah pocong sendiri bahwa dilihat dari caranya sumpah ini adalah sebagai tradisi orang Indonesia. Dalam Islam tidak dikenal model sumpah semacam ini.

Isi sumpah pocong mungkin tidak bertentangan dengan isi sumpah pada umumnya. Misalnya seperti menggunakan kata-kata demi Allah dan materinya pun sesuatu yang disepakati bersama.

Dalam sumpah jenis ini adakalanya kedua belah sama-sama siap menerima kutukan Allah apabila yang ia katakan itu bohong atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Namun, jika melihat tata cara sumpahnya, yakni orang yang bersumpah pocong itu dibungkus dengan kain kafan seakan-akan ia telah meninggal dunia (mungkin juga dimandikan dahulu), sumpah jenis ini perlu dipertanyakan lebih lanjut kebolehannya.

Baca Juga:  Turunnya Al-Quran Jadi Inspirasi Perubahan Masyarakat dari Jahiliah ke Modern

Soal filosofi

Sebenarnya kalau hanya sekedar mengenakan kain kafan bagi yang melakukan sumpah, tidaklah dilarang. Namun, dengan mengenakan kain kafan itu ada makna filosofisnya atau makna kejiwaannya terutama di kalangan orang Jawa, yakni orang takut jadi kuwalat.

Oleh karena itu, hal yang ditakuti bukan isi sumpahnya, melainkan makna dari alat untuk bersumpah. Apabila ia diterima, berarti ada pengikisan iman karena orang bukan takut kepada Allah, melainkan kepada orang lain.

Dalam ajaran Islam hal demikian tidak diperbolehkan supaya orang tidak jatuh kepada perbuatan syirik. Oleh karena terkandung makna demikian, maka Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendapat sumpah pocong itu tidak boleh dilakukan.

Maka dari itu, digunakanlah model sumpah dengan cara biasa. Jangan menggunakan cara sumpah pocong. Adapun mengenai isi sumpahnya (dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip sumpah di atas), maka boleh saja sumpah yang isinya saling mengutuk atau siap menerima kutukan Allah (sumpah pocong pun isinya ada yang mencantumkan sama-sama siap menerima kutukan Allah).

Hukum mubahalah

Di dalam Islam sumpah demikian dikenal dengan istilah mubahalah, yakni sumpah yang berat, karena sama-sama siap menerima kutukan Allah. Sumpah demikian dilakukan untuk mempertahankan keyakinan masing-masing pihak yang bersengketa setelah dicari cara pemecahan perselisihan dan tidak ada yang mau mengalah.

Hal itu terjadi karena menganggap sama-sama berada di pihak yang benar. Lalu mereka pun bersumpah biarlah Allah SWT menurunkan kutuk laknat-Nya kepada siapa yang bertahan pada pendiriannya yang salah.

Inilah yang dimaksud dalam firman Allah SWT surah Ali Imran ayat 61: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Baca Juga:  Niat Baik Saja Sudah Jadi Kebaikan

Menurut riwayat, ajakan mubahalah di atas diajukan Rasulullah SAW kepada utusan Najran yang mempertahankan bahwa Isa Al-Masih adalah putra Allah, tetapi mereka tidak bersedia.

Kutukan Allah SWT

Selain didasarkan kepada ayat 61 surah Ali Imran, landasan kebolehan sumpah yang isinya siap menerima kutukan Allah adalah surah An Nur (24) ayat 6-9. Ayat ini mengenai li’an, yakni suami yang menuduh istrinya berbuat zina, tetapi tidak mempunyai saksi kecuali dirinya sendiri. Sementara istri pun menolak tuduhan suaminya itu.

Oleh karena itu, cara penyelesaiannya ialah dengan cara bersumpah sebanyak lima kali dan di antara isi sumpahnya siap menerima kutukan Allah SWT.

Suami bersumpah empat kali dengan nama Allah SWT bahwa ia orang yang benar dan sumpah yang kelima menyatakan bahwa ia siap menerima laknat Allah SWT apabila ia berdusta.

Istri juga bersumpah lima kali, empat kali sumpah dengan nama Allah SWT bahwa suaminya itu berdusta, dan sumpah yang kelimanya bahwa ia siap menerima laknat Allah SWT apabila suaminya benar.

Cari solusi lain

Islam membolehkan melakukan mubahalah atau sumpah yang berat. Namun, mengingat isinya itu begitu menyeramkan, terutama bagi orang yang beriman, yang tidak seorang pun mau menerima kutukan Allah SWT, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengusulkan agar dalam meyelesaikan kasus sebaiknya menghindari cara penyelesaian dengan menggunakan sumpah seperti di atas.

Carilah penyelesaian dengan cara lain karena asal sama-sama berkepala dingin insyaallah dapat diselesaikan. Demikian juga jangan sampai karena gengsi lalu tidak mau mengakui kesalahan bahkan siap bersumpah. Tindakan demikian adalah tindakan yang dikecam oleh hadis di atas.***

____

Sumber: muhammadiyah.or.id

Editor: FA

PMB Uhamka