Oleh: Dr. Wildan Taufiq, M.Hum, Dosen Bahasa dan Sastra Arab serta Ilmu Al Quran dan Tafsir Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
BANDUNGMU.COM — Suatu ketika saya ikut seminar di sebuah hotel di lantai 13. Pukul 13.00 acara pun mulai berlangsung.
Menjelang Ashar panitia mempersilahkan peserta yang ingin sholat menuju lantai 8 atau lantai dasar, karena di sana ada mushola.
Namun, kata mereka, bagi yang ingin sholat di lantai 13 panitia menyediakan tempat untuk sholat darurat.
Saya pun ikut opsi kedua karena malas turun ke bawah. Ketika hendak wudhu terpaksa harus di wastafel karena toilet penuh.
Sewaktu hendak membasuh kaki, saya kesulitan karena posisi wastafel yang tinggi dan akhirnya kaki hanya diusap saja.
Dalam hati kecil, saya merasa belum sempurna wudhu seperti itu karena harusnya kaki dibasuh. Namun setelah selesai sholat saya teringat surah Al Maidah ayat 6:
وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم
Dalam membaca (qiroat) kata wa arjulakum itu, secara nahwu/bahasa seharusnya wa arjulikum karena athap pada kata yang terdekat, yaitu biruusikum yang posisinya jaar, bukan pada waidiyakum yang dinashabkan.
Pandangan para ulama
Mayoritas ulama berpandangan bahwa kaki harus dibasuh bukan diusap sebagaimana mengusap bagian kepala.
Hal tersebut senada dengan perkataan orang Arab bahwa kata al mashu artinya membasuh dan juga mengusap.
Dengan demikian kata al mashu merupakan polisemi atau musytarak dalam bahasa Arab.
Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa membasuh kaki adalah wajib bagi yang membaca wa arjulakum. Sedangkan mengusap wajib bagi yang membaca wa arjulikum.
Jika kembali pada konteks/kasus yang saya alami, maka kedua pembacaan tersebut bisa diterapkan sesuai konteksnya atau situasinya masing-masing.
Dengan kata lain yang membaca wa arjulakum karena meyakini kaki harus dibasuh bisa dilakukan dalam kondisi normal.
Jika membasuh kaki sulit, seperti yang saya alami, maka pembacaan wa arjulikum bisa diterapkan sebagai dalil.
Adapun kondisi lain yang mendukung pembacaan wa arjulikum adalah jika air wudhu yang tersedia sedikit dan tidak memungkinkan untuk membasuh.
Kalau kita meninjau kembali kajian fiqih, pembacaan wa arjulikum bisa diperkuat oleh kasus mashul khuffain (membasuh 2 sepatu) atau mashul jabiroh (membasuh bagian tubuh yang diperban karena sakit).
Demikianlah ternyata ragam qiroat (pembacaan dalam Al Quran) tidak sekadar boleh atau tidak boleh dibaca berbeda, tapi juga memiliki implikasi terhadap hukum dalam beberapa kasus seperti ayat tentang wudhu di atas.
Dari kasus tersebut kita tidak mesti memegang qiroat yang masyhur sebagai landasan hukum, tapi juga qiroat-qiroat lain bisa diterapkan dalam konteks yang berbeda.
Hal itu sebagaimana kaidah ushul fiqih: الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما yang berarti: Hukum akan berlaku jika ada sebab yang menjadi motifnya.
Wallaahu a’lam bishowab. ***