OLEH: ACE SOMANTRI — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Perjalanan gerakan mahasiswa, di dunia ataupun di Indonesia, banyak cerita dan kisah perjuangan untuk perubahan suatu bangsa dan negara.
Berbagai gerakan mahasiswa dari masa ke masa bukan tidak ada stimulasi dari lingkungan kampus atau tempat para mahasiswa berkumpul. Lahirnya gerakan pembaruan di Indonesia tidak lepas dari peran dan kontribusi mahasiswa.
Namun, aneh sejak setelah reformasi 1998, gerakan mahasiswa sering terpolarisasi oleh kepentingan-kepentingan elite kekuasaan.
Persoalan bangsa dan negara dari hari ke hari tidak kunjung membaik. Kedaulatan negara di berbagai bidang pada posisi terjajah oleh kepentingan oligarki.
Pergerakan mahasiswa pun tidak bisa diharapkan. Entah karena alasan apa sehingga mereka terus meredup yang sejatinya bisa berfungsi sebagai agent of change dan agent of social control.
Sekalipun ada gerakan mahasiswa, tetapi lebih bersifat parsial. Kepekaan rasa yang sama seperti sudah hilang. Bahkan yang muncul hanyalah ego kelompok di masing-masing perguruan tinggi.
Soal kepekaan
Meredupnya gerakan mahasiswa disinyalir karena banyak para cendekiawan yang tidak peka terhadap persoalan kebangsaan. Kopi darat untuk membicarakan masa depan bangsa lebih 20 tahun ke belakang sudah tidak menjadi tradisi.
Entah ini karena terdisrupsi oleh perkembangan teknologi atau memang kepekaan dan spirit pembaruan gerakan perbaikan bangsa dan negara sudah luntur.
Perlu dicatat oleh kawan-kawan mahasiswa bahwa negara ini harus dikontrol oleh para cendekiawan yang kritis dan para mahasiswa yang agresif dan progresif.
Lesu dan letih terlihat dari gairah para cendekiawan dan para mahasiswa yang dipengaruhi oleh beban psikologis ekonomi bangsa yang berdampak pada ekonomi individu dan keluarga.
Akhirnya semua berjuang bertahan untuk hidup dan lebih pada penguatan kesejahteraan. Sikap kritis sudah tidak menjadi bagian hidup mahasiswa dan para cendekiawan.
Jika ditelaah dengan saksama, seolah-olah mahasiswa ataupun cendekiawan hari ini sangat terlihat nirpeka terhadap persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan.
Keberanian mahasiswa biasanya muncul dari ruang dan pojok diskusi kecil dengan membahas tema-tema yang berkaitan dengan seputar ekonomi kesejahteraan dan politik kekuasaan kontemporer.
Terlebih ada provokasi dari gerakan organisasi intra dan ekstra kemahasiswaan dan juga dimotivasi oleh dosen-dosen mantan aktivis kampus. Apabila simultan satu dengan yang lainnya saling memotivasi, biasanya mahasiswa akan semakin membara api gerakannya.
Berangkat dari situ, maka akan terjadi letupan-letupan kecil, yakni mereka mulai menyuarakan di internal kampus, keluar di sekitar kampus, dan selanjutnya melesat jauh dari area kampus.
Terdegradasi
Ada yang paling penting saat ini untuk dipahami bahwa kepekaan mahasiswa di era digital terhadap isu-isu politis-strategis tidak seganas era tahun 1960-an, 1980-an, dan 1990-an. Mahasiswa dan para cendekiawan era digital waktu diskusi habis bersama smartphone dan android-nya.
Narasi isu kebangsaan hampir ditelan masa. Narasi-narasi kepekaan sosial seolah-olah musnah terdegradasi.
Jargon gerakan mahasiswa a gent of change, agent of social control, sudah tidak masuk dalam narasi kemahasiswaan saat ini. Yang ada para mahasiswa sibukan dan terjebak pada rutinitas akademik yang kaku dan rigid.
Akibatnya, tidak ada signifikansi terhadap perubahan pada diri sendiri terlebih orang lain. Nilai kepekaan yang terbangun tidak dilihat pada standardisasi material yang tampak secara inderawi. Substansi kepekaan ada pada kepedulian pada sesama dan keadilan serta keadaban.
Dulu setiap periode masa pergerakan mahasiswa selalu muncul jargon-jargon pergerakan mahasiswa yang memberikan pesan moral. Kemudian pesan moral yang sangat penting kepada publik bahwa kekuasaan pada faktanya menunjukkan arogansi yang tidak peduli.
Desain dan rekayasa perlawanan harus dibuat secara hybrid. Titik temunya pada tercapai tujuan yang sama yakni mengontrol dan memkritisi kebijakan penguasa agar berpihak pada keadilan.
Konsekuensi
Konsekuensi dari redupnya gerakan mahasiswa, ruang dan kesempatan kekuasaan tirani akan bebas dan liar dalam membuat kebijakan. Selama kepemimpinan Indonesia dua periode berjalan dan akan berakhir pada 2024, gerakan mahasiswa benar-benar mati suri.
Sekalipun gerakan mahasiswa itu ada, eksistensinya tidak terlalu bermakna. Masifnya gerakan mahasiswa terkesan sesuai dengan kepentingan-kepentingan sesaat.
Buktinya bisa dilihat ketika muncul gerakan aksi mahasiswa untuk menyatakan aspirasi, terlihat kumpulan mahasiswa yang aksi hanya sedikit.
Penetrasi pada elite-elite kekuasaan sangat tidak ada efek. Bahkan dikesankan hanya celotehan anak-anak ingusan bau kencur.
Sementara kondisi dan posisi para cendiekiawan sibuk dengan proyek-proyek penelitian yang mengejar portofolio publikasi ilmiah demi kepangkatan fungsional.
Dampak dan efeknya cenderung hanya untuk kepentingan diri dan pribadinya. Sementara persoalan kebangsaan dan keumatan banyak diabaikan.***