Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Fenomena pinjaman online (pinjol) telah merajalela dalam beberapa tahun terakhir sebagai solusi keuangan bagi masyarakat yang mengalami kesulitan, baik untuk kebutuhan bisnis maupun sehari-hari.
Kondisi ini mencerminkan bahwa ekonomi masyarakat menjadi pendorong percepatan pendidikan, meskipun dalam situasi yang tidak selalu menguntungkan.
Sayangnya, kapitalisasi pendidikan di Indonesia telah berlangsung lama. Padahal, pendidikan merupakan hak asasi warga negara yang dijamin oleh pemerintah.
Namun, pengelolaan anggaran negara untuk pendidikan belum sepenuhnya berpihak. Terhambat oleh alasan bahwa negara memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar pendidikan.
Hal ini berbeda dengan negara-negara tetangga yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Oleh karena itu, pertumbuhan manusianya relatif cepat, bahkan melampaui rata-rata.
Fenomena pinjaman online, secara sadar atau tidak, telah merambah dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini terungkap melalui survei NoLimit Indonesia pada 2021.
Hasil survei menunjukkan bahwa 42 persen pelaku pinjol adalah guru yang kemungkinan besar merupakan guru honorer dengan kondisi sejahtera yang minim.
Guru-guru honorer, baik di lembaga pendidikan negeri maupun swasta, sering kali menerima honor di bawah standar kelayakan.
Keadaan ini menjadi peluang bagi kapitalis liberal dengan kekayaan melimpah untuk memanfaatkannya.
Terutama di tengah psikologis masyarakat berpenghasilan rendah yang cenderung memanfaatkan kemudahan meminjam demi memenuhi kebutuhan sehari-hari meskipun dengan dampak buruk di ujungnya.
Fenomena ini juga mencerminkan kecenderungan masyarakat yang hedonis dan pragmatis. Akhirnya mereka rentan terjebak dalam perangkap kapitalis, bahkan terpaksa menjual harga diri untuk melunasi pinjaman.
Pentingnya mencatat bahwa pemerintah dan masyarakat harus membangun bangsa ini tanpa menjebak rakyat dalam sistem ekonomi kapitalis liberal yang tanpa disadari telah merusak kemerdekaan bangsa.
Islam sebagai ajaran mulia menekankan nilai kesetaraan tanpa memandang suku dan ras. Meskipun seseorang mengklaim beragama Islam, tidak menjalankan syariatnya akan berujung pada celaka.
Sistem ekonomi kapitalis telah menciptakan surga dunia bagi para konglomerat, dengan rakyat sebagai mangsanya, dan umat Islam sebagai mayoritas diam membisu tanpa daya.
Perlu bersatu secara berjamaah untuk melakukan perlawanan dengan menerapkan sistem ekonomi sesuai syariat Islam yang pernah berhasil diterapkan beberapa abad lalu.
Dunia pendidikan dihebohkan oleh kasus pinjol yang melibatkan mahasiswa, bahkan di perguruan tinggi negeri bergengsi seperti ITB.
Kasus serupa terjadi sebelumnya di IPB, Bogor, dan mendapat tanggapan langsung dari pimpinan sivitas.
Namun, apakah pelaku dan pengelola pinjaman online akan jera dan kapok menyerang masyarakat lemah? Tampaknya tidak akan banyak memengaruhi operasi pinjol.
Malah popularitas pinjaman online meningkat, terutama di kalangan masyarakat terdidik.
Peristiwa ini, disengaja atau tidak, membuka kenyataan serius mengenai masalah dunia pendidikan tinggi di kalangan pelajar atau mahasiswa Indonesia. Hal itu dapat membawa malapetaka di masa depan kalau tidak ditangani.
Pinjaman online merupakan wujud lain dari sistem ekonomi ribawi yang jelas-jelas diharamkan dalam syariat Islam. Pinjol dapat dianggap sebagai rentenir berbasis digital.
Mereka tidak menghasilkan keberkahan bagi para pelaku, tetapi malah menjebak dan mencekik mereka.
Pengelola kampus, baik negeri maupun swasta, keliru jika mencari solusi dengan pinjol untuk menangani masalah UKT sebagai jalan keluar dan menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola perguruan tinggi.
Tindakan mengambil jalan pintas yang tidak edukatif menunjukkan kelemahan dalam pemahaman ilmu di perguruan tinggi, tempat seharusnya menjadi gudang kreator dan inovator.
Budaya pinjam seharusnya tidak dijadikan karakteristik hidup. Pengalaman ribuan orang menunjukkan bahwa budaya meminjam uang dapat membawa ketidaknyamanan dan bahkan penyakit yang merugikan jiwa dan raga para pelaku pinjaman.
Keluar dari budaya meminjam memang sulit. Terutama ketika sudah menjadi karakteristik dalam sistem sosial dan pola ekonomi masyarakat.
Catatan buruk ditujukan kepada pengelola pendidikan yang tidak memiliki kemampuan menjalankan organisasi pendidikan dengan kreatif dan inovatif. Terutama di perguruan tinggi negeri yang telah difasilitasi oleh negara.
Pembebanan biaya pendidikan yang tinggi terhadap mahasiswa menjadi paradoks.
Apa pasal? Seakan-akan ntuk mendapatkan pendidikan yang baik, seseorang harus lahir dari keluarga mampu dan kaya.
Alasan peningkatan mutu lulusan dengan membebankan biaya tambahan. Fasilitas dari negara dianggap kurang sehingga hanya menambah kebingungan dan merugikan masyarakat yang telah menjadi warga kampus.
Program beasiswa pemerintah, meskipun ada, masih sangat terbatas, dan alasan perguruan tinggi tidak mengambil program tersebut sering kali karena dana subsidi negara yang minim.
Selain itu, perguruan tinggi negeri membuka jalur mandiri dengan skema pembiayaan yang lebih tinggi. Hal itu menyulitkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk melalui seleksi mandiri.
Dunia pendidikan semakin menunjukkan realitas yang sebenarnya. Sistem dan skema pendidikan dijadikan objek kapitalisasi oleh segelintir pihak yang berorientasi pada materi.
Rentenir pinjol tidak hanya merusak nalar dan moral, tetapi memerlukan kebijakan negara yang berpihak pada kesejahteraan yang adil.
Islam memberikan inspirasi melalui skema zakat, infak, sedekah, dan wakaf yang dikelola dengan orientasi pembangunan sumber daya manusia.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam dapat tumbuh tanpa kapitalisme liberal dalam waktu singkat.
Penggunaan dana pajak, zakat, infak, sedekah, dan wakaf dengan pengelolaan yang kreatif dan inovatif, sesuai dengan prinsip Islam, dapat menjadi solusi yang adil dan berkeadilan.
Perguruan tinggi memiliki peluang besar untuk mengelola skema ini dengan jujur, amanah, kreatif, inovatif, dan Islami.
Tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa menggunakan sistem ekonomi berdasarkan syariat Islam akan membuat bangsa mundur.
Sebaliknya, meninggalkan ajaran tersebut akan menghancurkan umat Islam tanpa kekuatan. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar