BANDUNGMU.COM, Banjarmasin — Mengutip Al-Quran surah Al-Hadid ayat 20 yang menyebutkan dunia hanya permainan dan senda gurau saja, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut permainan penting dan menentukan, tetapi bukan segala-galanya.
Mungkin manusia akan sangat bangga dengan dunia dan hartanya. Saat ini orang kaya bisa bangga dan memamerkan hartanya atau flexing. Kekayaan yang dimiliki hari ini bisa membuatnya gembira. Namun, kekayaan tersebut akhirnya bisa juga membuat tidak happy ending.
“Sekarang kalau orang itu flexing, ternyata akhirnya tidak happy ending. Makanya jangan suka flexing, ada juga seorang pejabat yang sekarang bermasalah karena istrinya flexing,” kata Mu’ti di acara Pengajian Ramadan 1444 H di Banjarmasin pada Selasa (28/03/2023).
Mu’ti mengingatkan bahwa semua yang ada di dunia ini sementara dan hanya sebatas permainan serta gurauan. Oleh karena itu, tidak perlu untuk berlebihan mengejar perhiasan dunia. Jalani kehidupan dengan sewajarnya saja.
Flexing atau pamer bukan tidak hanya terhadap harta melimpah, melainkan bisa terjadi lantaran seseorang itu memiliki istri, anak, bahkan cucu bisa menjadi bahan untuk flexing.
Meskipun beristri, memiliki anak dan cucu tidak dilarang dalam Islam, tetapi sikap mempamerkan mereka yang dilarang.
“Itu adalah perhiasan dunia yang kita tidak dilarang untuk memilikinya, tapi jangan lupa kepemilikan semua yang bersifat duniawi itu sementara,” imbuhnya seperti bandungmu.com kutip dari muhammadiyah.or.id.
Sebagai seorang muslim harus meyakini bahwa setelah kehidupan di dunia itu kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, kehidupan di dunia harus dijalankan dengan cara-cara yang halal. Misalnya mendapatkan harta dengan cara yang halal dan memanfaatkan harta tersebut juga dengan cara yang halalan thayyiban.
“Dunia yang pertama itu harus kita peroleh dengan cara yang halal. Yang kedua jangan dunia, jangan istri kita, jangan suami kita, jangan anak kita menjauhkan dari Allah. Hartamu dan anakmu itu bisa menjadi fitnah,” imbuhnya.
Anak sebagai fitnah, dalam istilah Jawa, Mu’ti mengutip “anak pola bopo keprada”, karena ulah sang anak yang tidak bisa dikontrol, orang tuanya yang menanggung dampaknya.
Termasuk harta juga bisa menjadi fitnah, apabila tidak bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk bekal akhirat.
“Harta kita bisa menjadi fitnah yang membuat kita tidak hanya jauh dari Allah, tapi juga jauh dari sahabat-sahabat kita, bahkan jauh dari saudara-saudara kita,” katanya.***