BANDUNGMU.COM — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ayub mengingatkan bahwa peran kita dunia maya dapat berdampak besar di dunia nyata.
Di tingkat individu, penelitan mutakhir menunjukkan bahwa penggunaan media sosial justru berpotensi meningkatkan depresi. Pada level negara, banyak revolusi yang terjadi belakangan ini dimulai dari pergolakan di dunia maya.
“Terlepas dari berbagai efek tersebut, sebenarnya ada pola yang sama yang terjadi di dunia maya. Media sosial diatur oleh ‘logika’ atau aturan mainnya sendiri. Bagi kita di Muhammadiyah, dapat menghadapi logika ini dengan berpedoman pada fikih informasi,” ujar Ayub, dikutip dari Muhammadiyah.or.id, Senin (27/09/2021).
Ayub menunjukkan beberapa logika sosial media dengan merujuk pada seorang peniliti dunia maya, Jose Van Dijk. Logika pertama adalah programmability.
Ini artinya, terang Ayub, media sosial memiliki kemampuan untuk memancing penggunanya untuk terus-menerus membagikan informasi dan berkomunikasi. Pada akhirnya secara tidak sadar menghabiskan seluruh waktu yang dimiliki hanya berselancar di dunia maya.
Dalam menghadapi logika programmability ini, kita perlu mengingat salah satu qiyam asasi atau nilai dasar fikih informasi, yakni fatanah atau kecerdasan. Salah satu tanda orang cerdas dalam Alquran ialah sifat ulin nuha (Q.S. Taha: 54). Arti ulin nuha yakni mereka yang dapat ”menahan diri”.
“Dengan demikian, dalam perspektif Alquran, salah satu tanda kecerdasan ialah ketika kita mampu menahan diri dari sesuatu yang secara akal sehat, apalagi syariat tidak maslahat. Memang dari segi syariat, sharing di media sosial bisa jadi mubah, tetapi seorang ulin nuha akan melihat bahwa perbuatan demikian perlu ada batasnya,” kata dosen UIN Sunan Kalijaga ini.
Logika berikutnya adalah popularity, yakni kemampuan media sosial untuk membuat sesuatu menjadi populer dan membuat semua penggunaannya ikut serta dalam hingar-bingar kepopuleran itu.
Dari sinilah muncul istilah trending topic dan berpengaruhnya influencer. Logika ini akan memancing kita agar ikut berpartisipasi dalam sebuah topik. Padahal, tidak semua yang trending topic itu important topic.
Logika popularity ini sebenarnya sangat bertentangan dengan prinsip dasar bernalar dalam Alquran. Umat Islam diperingatkan oleh Allah bahwa jumlah banyak dan popularitas belum tentu berarti kebenaran (Q.S. Al-An’am: 116).
Oleh karena itu, saran Ayub, perlu ada pemahaman, jika melihat akun yang banyak follower-nya atau konten yang sedang trending, kita tidak perlu ikut-ikutan.
Logika lainnya adalah connectivity, yakni sifat dasar media sosial yang membuat semua orang terhubung. Ini tentu ada baiknya sebab Alquran dan hadis menganjurkan kita untuk saling menyapa dan berbagi kabar gembira.
Namun ternyata ada sisi buruknya, yakni munculnya filter bubble, yaitu ketika kita terkoneksi hanya dengan kalangan tertentu yang sudah diatur oleh suatu media sosial.
“Akhirnya, kita menjadi terkotak-kotak dan penuh curiga kepada mereka yang berada di bubble atau lingkaran pergaulan media sosial yang lain. Ini yang paling banyak merusak saat ini. Menghadapi logika connectivity kita harus mengingat pesan Alquran dalam Surat Al-Hujurat ayat 10-13,” terang alumni Ponpes Muhammadiyah Darul Arqam Gombara ini.
Ayub menerangkan bahwa terdapat istilah penting yang sangat relevan dari QS. Al-Hujurat ayat 10-13 ini. Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa kita tidak boleh ada taskhir (menganggap rendah) dan harus ada ta’aruf atau saling mengenali.
Selanjutnya, hindari banyak prasangka (zhan), mencari-cari cela kesalahan (tajassus), dan menyebarkan desas-desus tidak jelas tentang orang lain (ghibah).
“Nilai-nilai dasar ini, mungkin sudah banyak diketahui, tetapi jika diamalkan dengan sungguh-sungguh, dapat menyelesaikan hampir semua masalah yang muncul akibat media sosial,” tambahnya.
Logika yang terakhir adalah adalah datafication, yakni kemampuan media sosial untuk melacak semua gerak-gerik kita dan menyimpannya menjadi data.
Awalnya, hanya gerak-gerik di dunia maya, lalu dari situ akan diinferensi pada kecenderungan di dunia nyata. Ini berawal dari kita sendiri yang gemar membagikan apa pun di media sosial.
“Oleh karena itu, menghadapi hal ini fikih informasi mengingatkan kita bahwa data itu memiliki nilai. Informasi tentang diri dan keluarga kita mempunyai nilai yang sangat penting. Maka dari itu, jangan diobral dengan murah,” ujar alumni PUTM ini.
Ayub menyampaikan nasihat agar jangan sembarangan mengunggah kegiatan di media sosial. Ada banyak hadis yang melarang kita menyebar rahasia diri. Alquran mengingatkan bahwa kita harus memiliki iffah, yakni tidak sembarangan menyebarkan keluh-kesah kita (QS. Al-Baqarah: 273).***(Muhammadiyah.or.id).