UMBandung
Opini

Tradisi Papajar, Ajang Silaturahmi Menyambut Ramadhan

×

Tradisi Papajar, Ajang Silaturahmi Menyambut Ramadhan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi menyambut Ramadhan.*** Foto: Istockphoto.

OLEH: ACE SOMANTRI — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

BANDUNGMU.COM — Selalu teringat kalimat yang dilontarkan anak paling kecilku, “Ayah, kapan bulan puasa? Katanya sebentar lagi?” dengan intonasi berharap mendapat jawaban yang memuaskan.

Tanpa basa-basi pertanyaan anakku kujawab, “Sabar ya, sebentar lagi, tiga pekan lagi, nanti tanggal 2 April,” sambil menatap wajah anakku yang bertanya.

Begitulah sedkit dialog anakku menjelang Ramadhan tiba. Terlihat senang dan bahagia anakku mendengar jawaban bahwa sebentar lagi akan berpuasa, tetapi entah apa yang ada di benaknya. Semoga waktu yang sebentar lagi kita bisa menjalani puasa dengan kondisi sehat jasmani dan rohani.

Ada catatan penting bagi umat Islam. Setiap menjelang Ramadhan walaupun ini bukan ajaran Islam, tetapi akrivitasnya diajarkan dalam Islam yakni budaya silaturahmi bertemu dengan orang tua sanak famili, kerabat, sahabat dekat, dan tetangga.

Kegiatan itu biasanya dikemas dengan hal-hal yang mengesankan sebagai simbol kebahagiaan penuh suka cita menyambut Ramadhan. Nama kegiatan ini di antaranya dikenal oleh warga masyarakat Jawa Barat dengan istilah “papajar”.

Ajang silaturahmi

Istilah papajar, saya tidak mengetahui dengan pasti kapan tradisi ini muncul dan siapa penggagasnya, tidak ada yang mengetahuinya. Kalau ada yang mengetahui, bolehlah diberitahukan pada publik.

Baca Juga:  Badaliyya

Meskipun tidak diketahui secara pasti histori istilah ini, tetapi ada hal yang cukup penting nilai yang terkandung di dalamnya, yakni silaturahmi antar-sesama terjalin dengan baik.

Terlebih sejak covid-19 dua tahun berjalan, tradisi papajar menghilang karena dilarang oleh pemangku kepentingan untuk bepergian dan membuat kerumunan.

Tergerusnya budaya baik, lama-lama akan hilang sifat dan karakter kebangsaan yang sudah memasyarakat, hal yang paling terasa saat ini adalah gotong royong antar-sesama.

Individualistik sudah menjadi karakter umum generasi hari ini, bahkan indikasinya semakin menjadi karakter umat manusia era global.

Pada sisi lain perkembangan teknologi mempermudah. Namun, pada sisi yang lain justru hal itu menggerus tatanan kebudayaan bangsa yang rapuh.

Disadari atau tidak, timbulnya sifat saling mengasihi terbentuk dalam komunikasi dan interaksi verbal dan bertemu secara fisik.

Momentum instrospeksi

Kiranya tradisi papajar harus tetap terjaga. Momentum menjelang Ramadhan silaturahmi harus menjadi tradisi yang di pertahankan dari generasi ke generasi.

Khususnya dengan kedua orang tua tidak boleh tidak, ketika mereka masih hidup, sangat diwajibkan untuk bersimpuh di hadapan mereka.

Sebesar apa pun materi yang dimiliki kita, sepertinya tidak akan cukup menutupi kenakalan kita dan membayar kebaikan kedua orang tua.

Baca Juga:  Rajaban, Isra Miraj dan Tradisi Kemanusiaan

Silaturahmi merupakan anjuran dan ajaran Rasulullah. Dengan silaturahmi akan terjalin ikatan emosional yang terpatri dalam hati sanubari.

Saling menyapa antar-sesama merupakan teladan manusia beradab. Terlebih dengan orang tua, lebih dari sekadar menyapa, melainkan memberi doa sepanjang masa. Kasih sayang mereka tidak akan hilang ditelan masa sekalipun.

Raga bisa saja terpisah secara jasadi. Namun, jiwa akan terikat selamanya tanpa dekat batas waktu dunia.

Semoga bagi orang tuanya yang sudah tiada, tetap memohon doa kepada Allah yang Mahakuasa agar mereka mendapatkan cahaya surga untuk menerangi alam kuburnya.

Beda jauh kebahagiaan Ramadhan dengan bulan lainnya. Dengan gegap-gempita umat Islam menyambut kedatangan bulan penuh berkah ini.

Ada hal menarik ketika menjelang Ramadhan. Hampir semua umat Islam, selain silaturahmi pada keluarga, sebagain banyak yang berziarah ke kuburan orang tua yang sudah meninggal.

Di lokasi area permakaman banyak anak remaja bergerombol menunggu para peziarah untuk menawarkan jasa membersihkan makam atau kuburan yang dikunjungi.

Momentum tersebut menjadi lahan untuk mengais rezeki dari jasa membersihkan makam-makam yang memerlukan dibersihkan dari ilalang dan rumput yang tumbuh di atas pusara makan.

Baca Juga:  Menyoal Penyegaran Kepemimpinan Kepanduan Hizbul Wathan

Jadi, menjelang Ramadhan banyak hal yang memberi dampak positif pada hal-hal yang membuat satu dengan yang lain, sesama orang, saling memenuhi kebutuhan.

Secara fakta sosial, ternyata papajar merupakan kegiatan berkumpul bersama keluarga, tetangga dekat, sahabat-sahabat dekat, atau komunitas profesi dan juga asosiasi perkumpulan lainnya untuk makan-makan bersama (botram) dengan penuh suka cita.

Kado pahit

Menjelang Ramadhan tahun ini, semua umat Islam di mana pun berada dapat “kado” terindah dari pemerintah yakni minyak goreng berubah harga.

Selain itu, ada juga kado tambahan, yakni peristiwa tragis seorang ibu membunuh anaknya karena beban ekonomi menjerat kehidupan. Sementara pada sisi lain, uang APBN digelontorkan kurang lebih 2,8 triliun untuk Mandalika dengan mempertontonkan irasionalitas dan dunia primitif.

Sangat memalukan bahwa di era modern dan dunia digital masih ada pertunjukan klenik-klenik yang membuat edukasi masyarakat kembali pada era mistisisme. Dengan alasan apa pun, tetap saja mistisisme merupakan sebuah simbol keterbelakangan peradaban.

Oleh karena itu, momentum Ramadhan tahun ini harus benar-benar memberi kita pencerahan untuk kemajuan berpikir dan berperilaku, bukan menyuburkan sikap kemunduran dengan perbuatan yang tidak penting.***

PMB UM Bandung