Oleh: Ace Somantri*
Tak habis pikir, kenapa pendidikan selalu menarik dibahas dan dibicarakan. Dunia ini berkembang pesat, dari generasi ke generasi, manusia silih berganti sesuai dengan karakteristik yang dibangun setiap generasi.
Pendidikan berbeda dengan pembelajaran atau pengajaran sehingga sering dikatakan bahwa pendidikan sepanjang hayat. Makna dari teks tersebut menandakan bahwa pendidikan itu sangat super penting dan strategis dalam membangun manusia yang adil dan beradab.
Hanya dengan pendidikan manusia akan mengalami perubahan atau berevolusi dalam berpikir dan bersikap secara berkala sesuai dengan proses pendidikan yang ditempuh, baik formal maupun nonformal.
Pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum alam kehidupan di dunia. Ia telah menyatu dalam sistem kehidupan setiap makhluk. Bukan hanya manusia, bahkan hewan dan tumbuhan pun memerlukan pendidikan sesuai dengan kebutuhan alaminya.
Perilaku pembelajar
Harus dipahami oleh setiap insan yang peduli pada pendidikan bahwa di era digital pasca disrupsi yang melanda berbagai sektor kehidupan, dunia pendidikan pun terkena dampak besar. Fenomena digital ini membawa pengaruh kuat terhadap sikap dan perilaku para pembelajar yang berubah dengan sangat cepat.
Efek psikologis yang paling menonjol terlihat pada munculnya sikap acuh tak acuh, malas membaca buku, hingga kurangnya rasa hormat terhadap panggilan orang tua.
Perangkat komunikasi seperti smartphone, android, dan sejenisnya kini seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan setiap orang, terutama generasi Z dan generasi Alfa.
Tidak bisa dipungkiri, banyak hal yang dijadikan rujukan maupun teladan oleh generasi ini justru bersumber dari media digital. Terutama media sosial yang mampu merespons kebutuhan dan permintaan pengguna dengan cepat dan instan.
Fenomena pendidikan dalam dekade ini sungguh memprihatinkan. Terjadi pergeseran yang begitu cepat pada sikap dan perilaku para pelajar, hingga orang tua ataupun guru di sekolah serta dosen di kampus kerap kesulitan menjangkau mereka.
Media digital memiliki pengaruh besar terhadap cara berpikir, bertindak, dan berperilaku, sehingga mereka cenderung mengabaikan nasihat siapa pun dan lebih percaya pada apa yang dilihat serta didengar melalui penelusuran digital.
Fenomena tersebut memberikan pelajaran penting bahwa penyampaian wawasan dan ajakan harus mampu menembus batas platform digital yang kini menjadi konsumsi utama para pembelajar di berbagai tempat.
Konsekuensinya, para penyelenggara dan pengelola pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dituntut untuk segera bertransformasi secara cerdas dan kreatif mengikuti perkembangan digital.
Risiko kemunduran
Transformasi ini tidak sekadar “gaya-gayaan digital” yang semu. Namun, benar-benar adaptif agar tidak terjebak dalam tipu daya pelaku bisnis digital yang hanya menjual ilusi.
Pola pikir pendidikan tidak bisa terus-menerus terjebak pada romantisme masa lalu. Mengembangkan model pendidikan hanya berdasarkan pengalaman pribadi tentu bukan hal yang keliru. Namun, jika terlalu larut, risiko ketertinggalan bahkan kemunduran akan semakin besar.
Pada titik tertentu, penyelenggaraan pendidikan bisa menghadapi kebangkrutan jika tidak siap beradaptasi dengan regulasi dan dinamika baru yang terus bergerak.
Bahkan, organisasi sebesar Muhammadiyah pun bukan tidak mungkin mengalami turbulensi serius ketika berhadapan dengan perubahan regulasi dan kompetisi dunia pendidikan yang semakin ketat.
Contoh nyata terlihat pada tahun ajaran ini. Regulasi baru yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat mengguncang sekolah-sekolah swasta yang selama ini merasa nyaman dan aman. Banyak yang mengira aturan pemerintah akan stagnan dan memberi ruang “tidur lelap” bagi pengelola pendidikan.
Namun, kenyataannya berbeda, gebrakan dari gubernur justru menghadirkan oase baru di dunia pendidikan Jawa Barat. Dampaknya, tanpa disadari, beberapa sekolah swasta harus menghadapi kenyataan pahit: jumlah ruang kelas menyusut karena peminat beralih ke pilihan lain.
Fenomena ini muncul seiring dinamika regulasi. Pertanyaannya, bagaimana jika tantangan lain seperti pandemi Covid-19 atau krisis serupa kembali datang?
Apakah dunia pendidikan sudah benar-benar siap menghadapinya? Faktanya, tantangan akan terus hadir tanpa diundang, berganti rupa dari waktu ke waktu.
Inovasi pembelajaran
Oleh karena itu, para pemimpin dan pengelola pendidikan dituntut untuk bersikap dinamis serta atraktif. Pengelola pendidikan jangan sekadar berputar-putar tanpa arah yang jelas.
Setiap unit penggerak pendidikan harus bergerak seirama, menghadirkan inovasi model pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, baik hari ini maupun di masa depan.
Jika jumlah siswa atau mahasiswa menurun, jangan buru-buru menyalahkan orang lain atau keadaan. Justru, keterbukaan berpikir perlu dibudayakan dalam lingkungan pendidikan.
Manajemen akademik tidak boleh terlalu birokratis dan elitis. Kampus semestinya menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya gagasan-gagasan segar. Setiap ide harus diberi ruang seluas-luasnya, lalu dirumuskan berdasarkan kajian yang rasional, logis, dan objektif.
Pendidikan sejatinya menjadi jalan bagi manusia untuk meningkatkan status sosialnya. Perubahan itu tercermin dari sikap, pola pikir, dan perilaku yang semakin matang. Dari sanalah lahir berbagai manfaat, baik bersifat material maupun immaterial.
Namun, hakikat pendidikan yang utama adalah membentuk manusia yang lebih beradab, progresif, dan mampu berakselerasi dalam setiap langkah hidupnya hingga mimpi dapat diwujudkan menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, wajar jika kemudian muncul berbagai survei dari lembaga independen untuk memotret kondisi pendidikan tinggi saat ini. Hasilnya kerap menunjukkan problem serius yang membuat penyelenggara perguruan tinggi dipusingkan.
Salah satunya adalah menurunnya minat masyarakat untuk melanjutkan studi ke kampus yang mereka kelola. Ini tentu sangat memprihatinkan sekaligus tantangan ahli pendidikan untuk mencari solusi.
Suara gen Z
Sebuah laporan terbaru dari Deloitte Global 2025 Gen Z and Millennial Survey menyingkap tren yang menarik sekaligus cukup mengkhawatirkan bagi dunia pendidikan tinggi (kumparan.com, Mei 2025).
Hasil survei menunjukkan bahwa generasi Z semakin kritis dalam memandang keberadaan perguruan tinggi. Ada sejumlah faktor yang menjadi sorotan utama mereka.
Pertama, kualitas pendidikan yang dinilai masih perlu ditingkatkan, sebagaimana diungkapkan oleh 35% responden. Kedua, sebanyak 24% menyebut kurikulum yang tidak selalu relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, sehingga memunculkan keraguan tentang manfaat langsung dari kuliah.
Selain itu, 22% responden menyoroti lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan tinggi hingga lulus. Sementara 20% merasa minimnya pilihan pembelajaran fleksibel membuat proses belajar tidak sesuai dengan kebutuhan zaman yang serba cepat.
Tidak kalah penting, 21% lainnya mengungkapkan keresahan terhadap beban pinjaman mahasiswa (student loan) yang dapat menjadi masalah serius di kemudian hari.
Data tersebut menjadi alarm bagi para pengelola pendidikan tinggi. Bukan hanya soal bagaimana menjaga mutu akademik, tetapi juga bagaimana menghadirkan sistem pembelajaran yang relevan, adaptif, serta ramah terhadap kebutuhan generasi muda yang kian dinamis.
Perlu menjadi perhatian serius, jika pendidikan tinggi hanya berfokus pada menghasilkan lulusan bergelar sarjana, tetapi miskin keterampilan, ijazah akan sekadar menjadi dokumen yang tersimpan rapi di lemari tanpa nilai guna.
Kondisi seperti ini sangat berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat kampus hanya akan menjadi bangunan kosong—sekadar artefak tanpa ruh pendidikan.
Oleh karena itu, pengelolaan lembaga pendidikan tidak boleh dijalankan dengan ego, apalagi hanya berdasarkan “like and dislike”. Setiap individu perlu dinilai secara objektif.
Jangan sampai hanya karena seseorang dianggap resisten, lalu dipinggirkan demi memberi ruang bagi orang yang aman secara jabatan. Sebaliknya, berikan kesempatan yang adil untuk membuktikan kemampuan dalam jangka waktu tertentu, sehingga progres dan kinerja nyata dapat terlihat.
Yang dibutuhkan bukanlah sekadar kehadiran formal untuk mengisi daftar absen, melainkan kerja nyata yang membawa perubahan. Sikap hadir tanpa karya hanya akan meredupkan cahaya kemajuan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi institusi tempat ia mengabdi.
Pendidikan tinggi pada hakikatnya menjadi harapan banyak orang untuk mengubah masa depan dirinya. Oleh karena itu, dari berbagai temuan dan persentase yang muncul, pihak penyelenggara perlu menjadikannya pijakan dalam merumuskan kebijakan teknis ataupun strategis.
Mengubah pola pembelajaran
Pola dan model pembelajaran harus segera diubah agar lebih relevan dan menarik. Tidak hanya bagi generasi hari ini, tetapi generasi yang akan datang.
Dalam hal pengelolaan anggaran, efisiensi memang penting dilakukan. Namun, efisiensi yang dimaksud bukanlah pemangkasan terhadap pos pokok yang justru akan menurunkan kualitas layanan akademik.
Efisiensi sebaiknya difokuskan pada belanja-belanja seremonial yang tidak berdampak langsung pada peningkatan mutu pendidikan. Dengan begitu, beban biaya yang ditanggung mahasiswa bisa ditekan, tanpa mengorbankan kualitas akademik yang justru harus dijaga secara mutlak.
Jika pendidikan tinggi tidak mampu memenuhi kebutuhan industri dan hanya menghasilkan lulusan dengan ijazah serta transkrip nilai semata, maka harga yang harus dibayar sangat mahal.
Mutu lulusan yang tidak marketable di pasar kerja ataupun dalam kebutuhan masyarakat hanya akan melahirkan ketidakpercayaan terhadap institusi almamaternya.
Generasi Z berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahkan sebelum lulus, mereka sudah menelusuri reputasi kampus, menimbang mutu lulusan, serta menilai kiprah nyata alumni di dunia kerja, dunia industri, maupun dalam pencapaian prestasi personal.
Bagi mereka, tidak ada ruang tawar-menawar: skill dan kompetensi adalah keniscayaan bagi lulusan yang bermutu dan layak jual.
Catatan ini penting bagi para pemimpin pendidikan tinggi di Indonesia—agar tidak terlena dengan rutinitas administratif, tetapi benar-benar menyiapkan lulusan yang relevan, kompeten, dan dipercaya masyarakat. Wallahu’alam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat dan Dosen UM Bandung