PMB Uhamka
Islampedia

Tugas Kita itu Melayani

×

Tugas Kita itu Melayani

Sebarkan artikel ini
Lina Sellin, penulis buku

Oleh:  Lina Sellin, penulis buku

BANDUNGMU.COM, Bandung — Semalam saya mengikuti sebuah seminar online bertema tentang penderitaan manusia—yang sepertinya tak akan pernah usai.

Dalam seminar tersebut, ada seorang perempuan, yang mengeluarkan unek-uneknya, bahwa ia selama puluhan tahun bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).

Ia merasa selama bertahun-tahun terperangkap dalam takdir “yang mengerikan”, karena rasanya tidak bisa lepas dari status “pembantu”, yang di mata sebagian besar masyarakat sebagai status yang terpinggirkan bila dibanding dengan sederet jenis pekerjaan lain.

Ia juga bercerita bahwa, karena status itulah kemudian timbul rasa marah dan kecewa pada Tuhan, yang akhirnya mengantarkannya pada sikap apatis terhadap apa pun yang berhubungan dengan Tuhan.

Dengan kata lain, ia memilih untuk hidup bebas dari bayang-bayang Tuhan, dan tidak lagi mau “tunduk” pada apa pun perintah Tuhan. Karena baginya, itu sia-sia. Tuhan, toh, tetap tidak mengubah “nasib”-nya.

Mendengar kisahnya itu, saya merasa sedih sekaligus terpukul, karena cerita semacam itu, tidak hanya satu atau dua kali saya dengar, tetapi cukup sering.

Baca Juga:  Pondok Pesantren Harus Merespons dan Menjawab Tantangan Zaman

Mereka merasa, bukan hanya insecure pada dirinya, tetapi juga sampai pada titik di mana sudah tidak memercayai lagi dengan semua potensi baik yang ada pada dirinya, juga bahkan kepada Tuhan sebagai Sang Penggenggam Takdir.

Allah tidak cerewet seperti kita

Pada malam itu juga, saya kemudian mengingat sebuah buku yang belum lama ini selesai saya baca, yang berjudul Allah Tidak Cerewet seperti Kita.

Buku setebal 232 halaman ini ditulis oleh Emha Ainun Nadjib atau yang dikenal dengan panggilan Cak Nun atau Mbah Nun.

Ketika membaca buku ini, saya merasa seperti disentil oleh penulis. Betapa tidak. “Hanya” karena cara pandang kita terhadap sesuatu itu keliru, kita bisa—seumur hidup akan menanggung “penderitaan” akan stigma masyarakat tersebut.

Padahal, kalau ditelisik sedikit lebih dalam, bisa jadi stigma yang dianggap negatif itu justru merupakan sebentuk kemuliaan yang khusus hanya diberikan Tuhan kepada kita. Bukan untuk orang lain.

Nah, dalam buku ini, Cak Nun, secara apik menyuguhkan berbagai analogi-analogi sederhana, mudah dipahami pembaca, tetapi bermakna sangat dalam.

Baca Juga:  Jadikan Alquran Sumber Inspirasi untuk Optimis Hadapi Pandemi Covid-19

Sebagai contoh. Masyarakat kita selama ini kadung mengenal bahwa sudra, kesatria, dan brahmana, adalah suatu kasta.

Tetapi menurut Cak Nun, bukan. Itu adalah soal fokus. Jadi, siapa pun kita, petani, ustadz, kiai, bergelar haji, pembantu, pemulung—siapa saja—selama fokusnya adalah keduaniawian—tetek-bengek urusan duniawi, maka selama itu pula ia berada di level sudra.

Sehingga, bukan lagi soal kaya atau miskin, raja atau budak, yang menyebabkan ia mulia, tetapi itu soal fokus kita.

Menjadi pembantu itu mulia

Begitu juga dengan istilah pembantu/pelayan. Istilah itu, sejatinya sangat mulia. Karena itu adalah “status” yang bahkan dipilih Nabi Muhammad, saat ditanya oleh Allah, apakah akan memilih Mulkan Nabiyyan atau ‘Abdan ‘Abdiyyan?

Nabi memilih untuk menjadi ‘Abdan ‘Abdiyyan. Nabi yang tugasnya melayani. Maka, apa pun tugas yang Tuhan embankan pada kita, tugas utama kita sejatinya adalah melayani, apa pun profesi.

Dalam buku ini, sebenarnya ada banyak analogi lain yang bukan hanya menggelitik tapi juga membuka kesadaran kita. Misalnya:

Di dunia ini tidak ada potensi negatif—kecuali kita salah mengelola energi itu. (halaman 14)

Baca Juga:  PCIM Arab Saudi Didorong Perluas Pemikiran Muhammadiyah di Timur Tengah

Manusia diciptakan Tuhan untuk ditugasi di bumi, tapi sering kali “dijebak” oleh informasi dari Allah dan manusia tidak mau berpikir. (halaman 83)

Allah itu melihat hatimu, tidak melihat kebenaranmu. Kebenaran Anda tidak bisa menemukan kebenaran sesungguhnya. Maka, jangan Anda mempertengkarkan kebenaran. (halaman 162)

Manusia yang lengkap adalah manusia yang stand by menjadi apa saja yang diperlukan oleh masyarakat dan keluarganya. (halaman 192)

Kalau gugup dan terus-menerus menuntut agar Allah ridha kepada Anda, sementara Anda sendiri tidak mentradisikan hati Anda ridha pada hidup Anda, bagaimana akan mendapatkan ridha Allah? (halaman 204)

Maka, membaca buku ini, saya seperti sedang mendengar ceramah penulis—yang kadang susah dijangkau karena keterbatasan jarak dan waktu.

Ceramah yang adem, mendamaikan, sekaligus menggugah kesadaran terdalam saya, untuk terus hidup secara baik, sesuai apa yang dimaui Allah. Bukan sesuai apa yang dimaui kita.

Untuk itu, harapan saya, semoga bukan hanya saya yang menerima manfaat dari bagusnya buku ini, tetapi juga pembaca sekalian. Amin. ***

PMB Uhamka