BANDUNGMU.COM — Abu Hamid Al-Ghazali dengan gemas mengkritik keras para filsuf dalam kitab “Tahafut Al-Falasifah”.
Kitab polemis ala ilmu kalam yang ditulis sekitar seribu tahun yang lalu di Madrasah Nizhamiyah Baghdad ini menuai pro kontra di kalangan akademisi, baik klasik maupun kontemporer.
Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, setidaknya terdapat tiga tipologi kemungkinan penafsiran.
Pertama, golongan yang menyimpulkan bahwa Al-Ghazali menolak filsafat secara keseluruhan. Ia disebut-sebut sebagai orang yang paling keras dalam memberikan pukulan terhadap filsafat. Imbasnya ialah membentuk pola dan pemahaman negatif terhadap filsafat bagi sebagian umat Islam.
Bagi kalangan ini, kemunduran tradisi ilmiah umat Islam dianggap sebagai akibat dari pemahaman negatif terhadap filsafat yang dimulai sejak lahirnya konsep takfir Al-Ghazali terhadap filsafat.
“Ini framework orientalis generasi pertama dan umumnya umat Islam sampai hari ini masih percaya bahwa Al-Ghazali menghantam dan meruntuhkan bangunan filsafat sehingga Al-Ghazali dituding anti filsafat. Ini pandangan yang paling tidak bisa dipertahankan,” terang Ketua PCIM Amerika Serikat Rofiq dalam kajian tentang Al-Ghazali yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat berkerja sama dengan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah (UMY).
Kedua, golongan yang menyimpulkan bahwa Al-Ghazali hanya menolak pemikiran Ibnu Sina an sich dan menerima filsafat secara umum. Kalangan ini memandang bahwa ilmuwan Islam semacam Ibnu Sina dan Alfarabi telah terlalu jauh terbuai dengan para filsuf Yunani hingga mengabaikan syariat agama.
Oleh karena itu, Al-Ghazali hanya menyerang pemikiran para filsuf, bukan filsafatnya. Hal ini terlihat jelas dari nama kitabnya, yakni “Tahafut Al-Falasifah”, bukan “Tahafut Al-Falsafah”.
“Pandangan ini juga sulit dipertahankan karena tidak semua pemikiran Ibnu Sina ditolak Al Ghazali. Faktanya, Ibnu Sina banyak memberikan inspirasi terhadap Hujjatul Islam,” ucap Ketua PCIM sekaligus alumni doktoral Arizona State University ini.
Ketiga, golongan yang menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Al Ghazali adalah memfilter filsafat dari pandangan dunia yang tidak sesuai dengan Islam.
Al-Ghazali samasekali tidak menolak filsafat secara keseluruhan, apa yang ia lakukan ialah membersihkan unsur-unsur filsafat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Al-Ghazali melihat dirinya sebagai intelektual yang berperan sebagai petugas “money changer” dalam kaitannya dengan arus intelektual pada zamannya.
“Ini pendapat yang tepat. Al-Ghazali menolak argumen dan kesimpulan yang tidak cocok dan menerima aspek-aspek dari arus intelektual lain yang dapat dimasukkan ke dalam pandangan dunia yang didasarkan pada sumber-sumber fundamental dari tradisi Islam, Al-Quran dan sunnah Nabi,” terang Rofiq mengutip pandangan Joseph Lumbard.
Menurut Rofiq, apa yang dilakukan Al-Ghazali dapat ditiru generasi muslim saat ini ketika berhadapan dengan ragam keilmuan modern. Banyak pengetahuan yang lahir dari Barat era kolonial seperti antropologi, sosiologi, dan sebagainya yang dapat diadopsi umat Islam.
Namun penting juga untuk dikritik, terutama pada titik-titik yang secara nyata bertentangan dengan nilai-nilai Islam.***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA