OLEH: ACE SOMANTRI — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Perkembangan teknologi dalam kurun waktu 15 tahun ini terus maju pesat tanpa henti, bak air mengalir deras tidak bisa dibendung dengan cara apa pun.
Derasnya aliran kemajuan teknologi memutus budaya alon-alon asal kelakon, hari ini dan esok budayanya berubah, yakni siapa cepat dia dapat. Internet of Thing ( IoT) menembus sekat batas tembok ruang belajar para pembelajar. Perkembangan sistem serta model pembelajaran pun terus dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi.
Cukup berat proses adaptasi bagi para pendidik generasi X apalagi babyboomer dalam mencerna sekaligus mendesain karakter dan perilaku milenial. Ketercapaian hasil belajar masih tertumpu pada perkembangan kognitif. Hal itu terlihat dalam titik tekan kurikulum pembelajaran, kelulusan ujian akhir semester, ujian akhir sekolah, dan kelulusan masuk perguruan tinggi dalam sbmptn.
Sekalipun instrumen alat kelengkapan menggunakan komputer, tetap saja soal-soal ujian menekankan kepada kemampuan kognitif. Tidak ada perubahan yang signifikan.
Tidak salah apa yang digunakan pemerintah dalam mengukur ketercapain nilai dengan angka kuantitatif. Namun faktanya saat ini arus kecepatan teknologi tidak ada tahapan yang lambat, tetapi serba cepat, tiap detik, menit, jam, dan hari selama 24 jam tidak berhenti melayani manusia.
Artificial Intelligence (selanjutnya disebut AI) sudah menjadi bagian kebutuhan pokok kehidupan manusia walaupun di Indonesia masih terbatas, termasuk dunia pendidikan. Sebagian besar di negara-negara maju penyelenggaran dan pengelolaan pendidikan sudah berbasis AI. Hal itu menekankan kepada pembelajar harus update setiap saat selama 24 jam tidak mengenal hari lagi.
AI yang lebih dikenal dalam bahasa kita adalah kecerdasan buatan, yakni segala kebutuhan menggunakan instrumen teknologi yang mampu mempercepat dalam waktu singkat, tepat, dan akurat. Risikonya sangat menyesak dada, ketergerusan fungsi tenaga manusia pasti berkurang karena sudah tergantikan oleh teknologi cerdas.
Pada sisi lain manusia terus lahir dan bertambah populasinya. Para pengembang teknologi dengan berbagai cara yang dilakukan agar “mempercepat” angka kematian meningkat tajam. Sementara angka kelahiran ditekan melalui konspirasi sunyi dan senyap.
Namun, ketika penyelenggara dan pengelola pendidikan tidak menggunakan basis teknologi kecerdasan buatan, sudah pasti lambat laun ditelan masa. Nanti hanya menjadi catatan sejarah dan tidak mampu mewariskan pada generasi berikutnya.
Kecerdasan buatan atau AI, ketika menjadi basis pengembangan sistem pembelajaran, konsekuensinya pengelola pendidikan harus mengakselerasi jaringan internet dan intranet dengan device yang dibutuhkan. Risikonya hal itu menjadi berat dan beban bagi pengelola karena harus investasi infrastruktur teknologi digital.
Secara kasatmata, bagi pengelola kolonial, memang hal tersebut membuat pengelola pendidikan merasa berat. Apa pasal? Karena cara berpikirnya bahwa investasi harus bernilai fisik dalam bentuk susunan tembok yang dapat terlihat sepanjang masa. Padahal era global sudah tidak ada sekat batas tembok.
Karena tidak mampu beradaptasi dan berlari dengan kondisi zaman yang sudah berubah sangat cepat, akhirnya pendidik dan penggerak pendidikan mengalami sok ringan karena belum siap menjadi pemain utama.
Bukan lagi fisik
Saar ini tidak sedikit pelaku usaha konvesional yang investasi dalam infrastruktur fisik berupa gedung-gedung banyak propertinya yang dijual. Saat ini kebutuhan orang bukan fokus pada gedung, kantor, cukup di rumah, atau sekalipun butuh tempat cukup dengan luas 2×2 meter persegi. Yang paling dibutuhkan era global saat ini yakni pengembangan platform digital yang efektif dan efisien.
Sama halnya untuk kepentingan pendidikan, yakni negara-negara maju sudah menjalankan smart university 20-25 tahun yang lalu. Ketika kecerdasan buatan menjadi basis pembelajaran, kompetensi profil lulusan, soal penguatan soft skill persentasenya benar-benar diperbanyak.
Hal itu penting dilakukan karena dampak dari digitalisasi pendidikan akan ada ketergerusan sikap dan mental yang kurang stabil pada komposisi struktur kehidupan manusia dalam kesehariannya. Hard skill bisa dicapai cukup waktu yang tidak terlalu lama, sedangkan soft skill butuh waktu cukup lama. Oleh karena itu, solusinya selain waktu, konten-kontennya haris fokus penguatan soft skill.
Benar kata para ahli bahwa tantangan di era global bukan lagi menghadapi tantangan konvensional, melainkan dimana posisi yang dihadapi lebih banyak bersifat kontemporer.
Kecepatan mekanisme sosial sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang serba cepat dan instan. Di sisi lain fisik manusia selama ini dibentuk dengan pola yang gradiatif. Wajar apabila sebagian besar masyarakat lebih banyak menjadi konsumen produk teknologi daripada menjadi produsen.
Namun, realitas yang ada bahwa peserta didik generasi milenial sangat memungkinkan lebih peka daripara pendidiknya. Selain AI-Based Education menjadi basis pengembangan pembelajaran, sekolah juga harus membuat kebijakan keterserapan lulusan melalui online job matching, serta mempersiapkan crowdfunding for scholarship to success to higher education.***