UMBandung
Sosok

Buya Syafii Maarif: Antara Motivasi, Inspirasi, dan Sekilas Kenangan

×

Buya Syafii Maarif: Antara Motivasi, Inspirasi, dan Sekilas Kenangan

Sebarkan artikel ini
Buya Ahmad Syafii Maarif (Foto: muhammadiyah.or.id).

OLEH: SOPAAT RAHMAT SELAMET — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung & Sejarawan

BANDUNGMU.COM — Siang tadi (Jumat 27 Mei 2022) mendapat kabar wafatnya Buya Syafii Maarif, lumayan kaget. Inna lillahi wa inna ilahi raajiuun. Allahummaghfirlahu warhamhu. Memoriku pun melayang mengingat beliau.

Buya Syafii—panggilanku kepada Prof. Ahmad Syafii Maarif, sosok yang belakangan kukenal langsung di usia beliau sudah senja. Setelah kuputar memori otak, oh ya, Buya Syafii adalah salah satu intelektual muslim yang sudah kukagumi tulisannya sejak aku SD dan SMP.

Ya tepatnya pada tulisannya yang membahas keislaman dan keintelektualan. Salah satunya tema tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di majalah “Suara Muhammadiyah” edisi 1980-an, kalau tak salah sekitar 1986.

Seingatku, tulisan itu dengan foto Buya Syafii dengan penampilan yang masih tegak dengan berkumis tebal. Seingatku saat itu Buya Syafii masih hangat sehabis studi doKtoral di USA.

Itulah perkenalan pertamaku pada Buya Syafii yang kukagumi karena keilmuannya. Lagi-lagi lewat “Suara Muhammadiyah” bacaan setiaku yang dipinjam dari perpustakaan pribadi kakakku. Aku mengenal karya tulis Buya Syafii dan juga intelektual muslim Muhammadiyah lainnya, seperti Dr. Kuntowijoyo, Amien Rais, Dawam Rahardjo, dll.

Beruntung sepuluh tahun kemudian, sekira 1996, aku dilibatkan dalam kegiatan Muhammadiyah—AMM dalam kemah dakwah dan temu kader yang diadakan PD Muhammadiyah Garut.

Setelah 10 hari di lapangan, baru pulang dari lokasi pedalaman Garut selatan, saat petang itu istirahat tak jauh dari pesisir pantai selatan Rancabuaya. Ada pengumuman, Kang Asep Zaenal—sekretaris PDM—menugaskanku untuk hari itu juga sesampai di rumah untuk bergegas berangkat ke Yogyakarta.

Mewakili salah satu pimpinan PDM Garut, Drs. H. Iyet Mulyana, yang berhalangan ikut acara tersebut.

Pertimbangan saat itu–meskipun aku masih muda, mungkin karena aku sudah otodidak belajar menulis dan artikel sederhana sudah muncul tahun 1994-1996 di “Suara Muhammadiyah” dan majalah “ADIL”, selain di majalah Kampus. Serta saat itu aku sudah belajar menjadi koresponden dari sebuah surat kabar harian.

Dengan perasaan gembira, meskipun badan masih capek, aku pun bergegas. Bersiap-siap berangkat mengikuti acara Rakernas Lembaga Pustaka & Dokumentasi (LPD) PP Muhammadiyah, Jumat-Minggu, 5-7 Juli 1996. Berbekal ongkos dari PDM, aku pun sendirian malam itu menuju Bandung.

Baca Juga:  Mubalig Muhammadiyah Harus Memiliki Ilmu Dakwah yang Mendalam

Karena kereta api dari Kiaracondong sepertinya lihat jadwalnya sudah berangkat, tak ada pilihan lain aku pun ke terminal Cicaheum. Pilihannya bus antarkota Bandung-Jogya. Tapi lagi-lagi jadwalnya tidak pas tidak akan terkejar acara besok pagi. Yang memungkinkan harus pakai bus transit dulu di Purwokerto.

Aku pun menggunakan bus Bandung-Purwokerto. Alhamdulilah perjalanan malam sudah mengantarkan sampai di terminal Purwokerto pada pagi hari, sekitar pukul 05-an mendekati pukul 06.

Dari sana aku pun bertanya untuk menemukan jurusan bus Purwokerto-Jogyakarta. Maklum sudah cukup lama tidak ke Yogyakarta meskipun kami punya saudara di kota Yogyakarta.

Pagi-pagi sekira pukul 09, aku pun sudah sampai di terminal bus Umbulharjo. Dari sana bersambung menuju lokasi yang diberikan di jadwal panitia. Dilihat jadwal siang hari Jumat itu acara akan dimulai dengan jumatan plus ziarah ke Makam KH Ahmad Dahlan di Karangkajen.

Aku pun bergegas menuju kantor PP Muhammadiyah—saat itu masih di pusat kota Yogya, jalan KH Ahmad Dahlan (sekitar Kauman). Dari sana aku bergabung dengan rombongan bus panitia menuju masjid di Karangkajen dekat komplek Makam KH Ahmad Dahlan.

Aku lupa siapa yang mengisi khutbah Jumat saat itu. Yang kuingat setelah jumatan kami berziarah ke Makam KH Ahmad Dahlan. Seingatku saat itu makamnya masih polos tidak memakai identitas, hanya tanda-tanda saja karena makamnya tampak rata tanah.

Dipandu dari panitia acara tersebut kami berdoa di makam pendiri Muhammadiyah itu. Selepas itu kami rombongan acara berangkat menuju lokasi acara inti Rakernas LPD PP Muhammadiyah di Gedung PusLitbang di Kaliurang. Di gedung yang ada di arah utara Yogyakarta itulah kami mengikuti acara tersebut.

Di sanalah awal mula aku melihat dan mendengar langsung sosok Buya Ahmad Syafii Maarif, yang membawakan sambutan dari PP Muhammadiyah.

Yang terngiang di telingaku saat itu para peserta dari seluruh tanah air, nanti kembali ke daerah asal masing-masing memiliki tugas untuk menghasilkan karya tulis. Tiap PDM harus menuliskan sejarah gerakan Muhammadiyah di tiap daerah masing-masing dan juga menuliskan biografi tokoh lokalnya masing-masing.

Baca Juga:  Yuk Kenali Cahya Suminar Nursila: Penulis Baru dengan Semangat Luhur

Itulah yang masing terngiang di telingaku sampai saat ini. Pada acara itu aku pun ditempatkan pada komisi yang membahas tentang bagian penulisan.

Acara yang membanggakan bagiku sendiri. Apalagi aku saat itu merupakan peserta termuda dari seluruh daerah di tanah air. Mungkin berdua dengan peserta muda lainnya, perempuan dari Sikka NTT.

Sepulang dari acara tersebut, gairah belajar menulis yang selama ini diasah secara otodidak makin menggelegak. Sayang aku belum bisa menimba ilmu untuk kuliah. Meskipun saat itu sudah usia 20 tahunan.

Itulah sebabnya paruh kedua tahun 1996, aku bersemangat mengikuti kegiatan literasi/kepenulisan di kampus-kampus yang bisa diikuti. Setahun kemudian berkesempatan menimba ilmu komunikasi di sebuah PTS. Sayang hanya bisa menjalani satu yakni pada tahun 1997/1998, gelombang reformasi turut mengalihkan perhatianku.

Beberapa waktu kemudian muncul kesempatan lagi mengikuti testing masuk ke IAIN SGD Bandung. Awalnya bermaksud mengambil jurusan akidah filsafat yang diminati.

Namun, tiba-tiba teringat dan terngiang pesan Buya Syafii. Dengan cepat formulir pendaftaran pilihan kuliah itu kucoret, pilihan kesatu kutukar menjadi Sejarah Peradaban Islam di Fakultas Adab dan Humaniora. Karena jurusan Sejarah Peradaban Islam ini akan mengembangkan tradisi menulis dan bisa menjadi jalan membuahkan karya.

Konsistensi niat demi mewujudkan pesan Buya Syafii ini, aku buktikan dengan mengambil tema penelitian untuk judul skripsi mengangkat tokoh lokal, perintis Muhammadiyah di Jawa Barat, yaitu inisiator pendirian Cabang Muhammadiyah Garut.

Meskipun kuliahku telat karena kendala biaya, akhirnya tugas akhir (TA) itu selesai. Saat sidang penguji, dihadapkan pada penguji yang ketat. Tetapi sekaligus memotivasi supaya karya tersebut bisa layak dijadikan buku.

Itulah sebabnya aku mengajukan untuk riset lanjutan dari TA itu supaya layak menjadi buku. Setelah bolak-balik dengan liku-liku tak mudah. Akhirnya sejak tahun 2007-2009, akhirnya diawal tahun 2010 itulah bisa mewujudkan buku sebagai persembahan untuk Muhammadiyah.

Baca Juga:  Aloysius Dhani Germian: Kami Butuh Tempat Latihan Sepatu Roda yang Sesuai Standard

Karena Buya Syafii yang menjadi inspirasi dan motivasi, aku berharap beliaulah yang memberikan kata pengantar buku ini. Sebagai bentuk persembahan sekaligus salah satu jawaban atas “tantangan” buya 14 tahun sebelumnya. “Tantangan” atau motivasi Buya Syafii di saat aku belum punya jalan untuk mewujudkan harapan beliau dalam acara tersebut.

Entahlah sampai saat ini–sampai beliau berpulang–aku tak pernah mengungkapkan hal tersebut, Apakah beliau tahu kalau karya itu hadir karena terinspirasi dan termotivasi oleh kata sambutan beliau di tahun 1996 tersebut?

Sejak mengurus penerbitan buku itulah, aku bertegur sapa lewat sekedar lewat pesan singkat (SMS). Dan berkirim tulisan surat permohonan untuk memberi Kata Sambutan buku tersebut.

Alhamdulillah beliau berkenan. Alangkah bahagianya. Meskipun singkat tapi padat Kata Pengantarnya. Lebih dari itu beliaulah, Buya Syafii satu-satunya orang yang menyebutku dengan panggilan “Bung”. Rasanya dalam  komunikasi via  SMS pun seperti itu.

Namun, tidak pernah kuungkapkan siapa yang memotivasi diriku dan memotivasi berkarya tulis tersebut. Yang utama bagiku, sudah menjawab “tantangan” atau motivasi buya. Dalam hati cuma bergumam, “Terima kasih buya dan semoga yang dihasilkan ini ada manfaatnya.”

Buya tokoh yang lahir dari kebersahajaan, kesederhanaan, namun kemudian jadi ilmuwan, ulama yang bersikap arif. Beliau menyebut perjalanan hidupnya “Terdampar di pantai berkat belas kasihan ombak”. Itu menunjukkan sikap yang mengalir dalam hidup penuh kegigihan berjuang dikatakannya dengan “tidak percaya dengan kegagalan”.

Terima kasih buya, engkau telah menjadi jalan pemberi inspirasi bagi perjalanan literasi diri ini. Sungguh dirimu, buya, sudah memberi pelajaran yang amat berharga buat kami.

Dari jalan literasi ini pula, diri penulis ini belajar bertumbuh secara perlahan. Ini sudah sungguh membuat gembira karena hidup ini merasa makin bermakna.

Selamat jalan buya dalam dekapan kasih sayang-Nya. Kami berdoa dari sini. Kami mengambil inspirasi dan hikmah dari perjalanan hidupmu yang memberikan manfaat bagi Persyarikatan ini, umat, bangsa, dan kemanusiaan secara luas.***

Seedbacklink