PMB Uhamka
Opini

Cabang dan Ranting Mati Suri: Di Manakah Peranan Amal Usaha Muhammadiyah?

×

Cabang dan Ranting Mati Suri: Di Manakah Peranan Amal Usaha Muhammadiyah?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri*

LAJU Muhammadiyah terus bergerak dinamis tanpa pernah surut, melampaui batas-batas wilayah Nusantara. Laju pergerakannya tidak hanya melintasi perjalanan zaman, tetapi melintasi batas teritori sebuah bangsa dan negara. Aliran gerakan Muhammadiyah yang begitu deras semakin sulit dibendung; semakin dihalangi, semakin kuat daya dorongnya.

Puluhan juta alumni Muhammadiyah, baik dari jenjang pendidikan formal maupun melalui jejaring pengkaderan organisasi, menjadi bukti nyata kekuatan ini. Upaya menekan atau menzalimi Muhammadiyah hanya akan sia-sia.

Meskipun bukan organisasi yang berbasis pada kekuasaan politik, Muhammadiyah memiliki kekuatan kapital sosial, baik struktural maupun kultural, yang telah teruji. Organisasi ini secara mandiri mampu mendorong akselerasi gerakan sosial yang masif dan konstruktif, memberikan kontribusi besar bagi kemajuan masyarakat.

Dipuji atau tidak, Muhammadiyah akan terus bergerak tanpa henti. Gerakannya melampaui batas mesin mekanik yang memiliki ukuran, jenis, dan bentuk terbatas serta rentan terhadap keausan dan usia pakai. Muhammadiyah adalah mesin sosial yang nyaris tanpa batas ruang gerak, melampaui kemampuan mesin mekanik, dengan keberlanjutan yang hanya akan berhenti ketika alam semesta ini berakhir atas kehendak Sang Pemilik Alam.

Oleh karena itu, siapa pun yang menjadi bagian dari Muhammadiyah harus senantiasa siap siaga, tanpa menunggu perintah, untuk melakukan berbagai gerakan yang bermanfaat. Mereka dituntut untuk terus mendorong pembaruan dinamika kehidupan, memberikan pencerahan kepada seluruh penduduk bumi, dan memberdayakan potensi sumber daya manusia demi kemaslahatan bersama.

Muhammadiyah di manapun berada senantiasa memberikan manfaat tanpa henti. Karya dan inovasi para penggeraknya selalu dinantikan oleh umat. Pemikiran dan gagasannya diharapkan mampu membangun wawasan masyarakat menuju peradaban yang mulia, baik bagi bangsa Indonesia maupun dunia.

Para penggerak Muhammadiyah tidak boleh lalai atau abai. Setiap kelemahan dan kekurangan dalam tubuh persyarikatan harus dievaluasi secara intensif dan berkesinambungan, tanpa menunggu masalah menumpuk hingga menjadi sumber persoalan yang membahayakan laju gerakan.

Jika dibiarkan, kelemahan ini dapat berkembang menjadi penyakit sosial yang kronis, melemahkan dakwah hingga kehilangan daya manfaatnya. Bahkan, risiko terjadinya kesalahan fatal atau blunder yang berulang dapat membawa persyarikatan ke dalam jebakan-jebakan yang melemahkan semangat perjuangannya.

Baca Juga:  Kegiatan Sosial Ramaikan Milad ke-30 Pesantren Muhammadiyah Al-Furqon

Oleh karena itu, optimisme harus senantiasa tertanam kuat dalam jiwa dan raga setiap mujahid Muhammadiyah. Keimanan dan ketakwaan mereka perlu dijaga seperti imunitas yang mengalir dalam darah, menjadi kekuatan utama untuk memastikan semangat pergerakan tetap hidup dan berdaya guna.

Pimpinan persyarikatan, pimpinan organisasi otonom, pengurus majelis atau lembaga, serta seluruh anggota Muhammadiyah sangat dianjurkan untuk saling mengingatkan dan saling mendukung dalam memberikan “nutrisi” gerakan yang berkualitas. Hal ini penting agar virus moralitas yang berpotensi merusak laju pergerakan dapat didetoksifikasi secara bertahap hingga bersih dari segala keburukan yang menghambat dakwah Muhammadiyah.

Banyak ruang dan waktu yang tersedia, baik di lingkungan persyarikatan, organisasi otonom, maupun amal usaha Muhammadiyah, untuk memaksimalkan potensi dan sumber daya yang ada. Tidak ada alasan bagi Muhammadiyah di berbagai tingkatan, terutama cabang dan ranting, untuk mengalami degradasi nilai gerakan hingga kehilangan eksistensinya. Jika hal ini sampai terjadi, sungguh memprihatinkan dan mencoreng semangat para penggerak persyarikatan.

Terlebih lagi, Muhammadiyah tidak bisa mengabaikan pandangan masyarakat yang melihat organisasi ini sebagai entitas yang “kaya raya” dengan aset bernilai triliunan rupiah. Maka, sangat tidak rasional jika ada cabang dan ranting Muhammadiyah yang mati suri atau bahkan hilang dari peta gerakan dakwahnya.

Sungguh ironis dan tidak rasional jika Muhammadiyah, sebagai organisasi dengan puluhan hingga ratusan amal usaha di hampir setiap wilayah provinsi di Indonesia, masih memiliki cabang dan ranting yang mati suri.

Masalah ini seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga atau majelis tertentu, tetapi kewajiban bersama seluruh pihak di lingkungan Muhammadiyah. Upaya mengatasinya juga tidak bisa dilakukan secara individu. Namun, harus melalui kolaborasi yang terencana dan berkelanjutan dengan tujuan yang jelas dan terukur.

Secara faktual, langkah-langkah seperti program kuliah lapangan yang melibatkan mahasiswa di cabang dan ranting Muhammadiyah telah memberikan efek positif terhadap revitalisasi denyut nadi gerakan persyarikatan. Namun, produktivitas dan keberlanjutan program semacam itu perlu dievaluasi secara menyeluruh.

Baca Juga:  Ustadz Adi Hidayat Masuk Kepengurusan Majelis Tablig PP Muhammadiyah

Oleh karena itu, penguatan cabang dan ranting yang mengalami penurunan dalam gerakan dakwah tidak bisa diabaikan. Program advokasi dan pemberdayaan harus terus dilakukan hingga cabang dan ranting tersebut benar-benar kembali berdaya dan aktif dalam mendukung visi besar Muhammadiyah.

AUM sebagai pendukung

Amal usaha Muhammadiyah (AUM) tidak didirikan semata-mata untuk menciptakan lapangan pekerjaan dengan dalih berdakwah, meskipun hal itu bukanlah suatu kesalahan. Namun, keberadaan amal usaha harus terintegrasi dalam perencanaan yang holistik untuk mendukung pengembangan dan kemajuan persyarikatan, khususnya di tingkat ranting dan cabang.

Keyakinan kuat bahwa jika amal usaha dikelola dengan baik dan diarahkan untuk memberdayakan ranting dan cabang Muhammadiyah, akan tercipta umpan balik positif yang signifikan bagi amal usaha itu sendiri.

Sayangnya, secara subjektif, amal usaha sering kali terlihat kurang akseleratif dan agresif dalam mendukung gerakan Muhammadiyah di tingkat ranting dan cabang, meskipun memiliki sumber daya yang lebih dari cukup.

Jika menengok masa-masa awal pergerakan Muhammadiyah, generasi pertama para mujahid Muhammadiyah memiliki girah yang luar biasa, rela mengorbankan jiwa, raga, dan harta pribadinya demi kemajuan peradaban.

Para pimpinan dan penggerak amal usaha Muhammadiyah saat ini seharusnya memiliki semangat yang bahkan lebih besar.Pasalnya mereka mengelola aset dan sumber daya milik persyarikatan yang jauh lebih besar daripada sekadar harta pribadi.

Amal usaha Muhammadiyah tidak memiliki alasan untuk terus-menerus mengeluhkan kekurangan ini dan itu, hingga mengabaikan pendampingan gerakan dakwah di tingkat ranting dan cabang, yang berakibat pada mati surinya gerakan tersebut bahkan hilang dari peta dan data institusi persyarikatan.

Komitmen pimpinan amal usaha seharusnya diwujudkan dalam bentuk kepedulian nyata terhadap pemberdayaan ranting dan cabang Muhammadiyah, khususnya di daerah di mana amal usaha itu berada. Komitmen tersebut tidak cukup hanya tertulis dalam dokumen atau terpampang sebagai visi dan misi tanpa implementasi nyata di lapangan.

Baca Juga:  Bagikan Tali Kasih, Eco Bhinneka Muhammadiyah dan LAZISMU Kampanyekan Green Idul Fitri

Memang harus diakui, tidak semua amal usaha Muhammadiyah berada dalam kondisi ideal. Namun, hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan advokasi dan pendampingan terhadap gerakan dakwah di ranting dan cabang. Sebaliknya, jika amal usaha mengalami keterpurukan, kemungkinan besar hal tersebut terjadi akibat lemahnya kompetensi manajemen dan kepemimpinan yang tidak fathonah.

Selain itu, konsekuensi dari kurangnya perhatian amal usaha terhadap gerakan dakwah di tingkat ranting dan cabang juga dapat menjadi faktor yang berpengaruh. Oleh karena itu, amal usaha Muhammadiyah harus menjadikan pemberdayaan ranting dan cabang sebagai bagian integral dari tanggung jawabnya.

Energi gerakan dakwah

Semoga keberadaan amal usaha Muhammadiyah mampu memberikan energi bagi gerakan dakwah Islam di tingkat ranting dan cabang agar semakin berkemajuan. Tidak ada maknanya jika institusi persyarikatan menjulang tinggi dengan simbol amal usaha yang tampak besar dan mewah, sementara pusat pergerakan dakwah di tingkat ranting dan cabang justru mati suri, ibarat “wujuduhu kaadamihi” (keberadaannya seperti ketiadaannya).

Padahal, gerakan dakwah Muhammadiyah di masyarakat, baik bagi warga Muhammadiyah maupun umat Islam secara umum, berakar di tingkat tersebut. Ironisnya, jika kualitas keberagamaan warga muslim Muhammadiyah di akar rumput tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban—bahkan fardu ain—bagi setiap pimpinan amal usaha untuk merancang dan melaksanakan program yang mendukung “rantingisasi” dan “cabangisasi” hingga ranting dan cabang tersebut menjadi berdaya. Langkah ini harus menjadi skala prioritas, terutama bagi ranting dan cabang terdekat yang sedang mengalami mati suri.

Dengan keyakinan dan optimisme penuh, gerakan ini merupakan upaya yang mulia dan bermartabat, bernilai lebih tinggi daripada sekadar jabatan atau kekayaan materi. Bermuhammadiyah adalah bagaimana menumbuhkan semangat saling membantu dan memberdayakan. Wallahu a’lam.

*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar

PMB Uhamka