Oleh: Roni Tabroni, Kepala Pusat Studi Media Digital dan Kebijakan Publik UM Bandung
BANDUNGMU.COM, Bandung – Menjelang akhir Desember 2022 ini, saya agak fokus pada koran Republika. Membaca versi print-nya setiap hari. Tidak kesulitan karena di ruangan selalu tersedia (berlangganan).
Sejak ada kabar koran ini akan berakhir, tidak seperti media pada umumnya, Republika secara pelan-pelan melakukan edukasi, menyadarkan akan datangnya perubahan, agar publik tidak kaget ketika salah satu platformnya hilang.
Sementara media lain kalau mau berakhir, ya pergi meninggalkan pembaca begitu saja. Sebagiannya lagi mungkin memberikan pengumuman di hari terakhir menjelang “ajal”.
Sampai hari ini, saya masih menangkap dua poin penting dari Republika. Pertama, yang namanya perubahan tidak bisa dilawan. Perkembangan teknologi tidak ada yang bisa menghindarinya sehingga berubah adalah pilihan cerdas.
Kedua, janji Republika untuk tidak menanggalkan ideologinya. Saya mendapat keyakinan dari Direktur Republika Aris Hilman ketika berbicang secara zoom, kendati Republika akan bermain pada platform digital secara penuh, tetapi aspek ideologi tidak akan berubah.
Saya termasuk yang tidak paham secara praktis bagaimana bisnis media apalagi membandingkan cetak dengan digital.
Di tengah budaya digital yang tidak sepenuhnya positif, termasuk dalam persaingan binis media (berbasis digital), mempertahankan kualitas, ideologi, dan tradisi jurnalistik hampir tidak mungkin.
Nyatanya, beberapa media yang bermain di platform digital, kemudian melonggarkan banyak hal untuk keuntungan semata.
Soal idealisme
Bermain di dunia digital saya rasa tidak mudah. Banyak jebakan dan godaan di mana setiap orang dapat menjadi mengubah dirinya, mengorbankan idealismenya, apalagi dengan tujuan mencari keuntungan semata.
Lembaga-lembaga media yang begitu ketat dengan tata aturan, mulai undang-undang dan kode etik yang berlapis pun terkadang bobol dibuatnya.
Ketika Republika berjanji tidak akan menggeser idealismenya tentu menjadi jalan terang. Bisa jadi sebagian media lain juga sudah dan sedang mempertahankan idealisme mati-matian ketika berada di ranah digital.
Untuk level individu, berselancar di dunia digital tentu lebih rumit lagi. Kita akan tenang jika setiap orang mampu berstatement menjamin konten positif di setiap akun sendiri dan akan sopan ketika berkomentar di akun orang lain.
Setiap diri diharapkan lebih beradab dan menjaga etikanya ketika berinteraksi di dunia digital, tidak berkarya kecuali yang positif, tidak berkomentar kecuali yang baik.
Nihil substansi
Banyaknya hoaks dan ujaran kebencian tiada lain cermin diri yang belum siap masuk pada peradaban digital yang serba terbuka. Ketidaksiapan bukan pada aspek teknis dan keterampilan, melainkan lebih pada mental dan kemampuan literasi.
Kecepatan tangan seringkali mengalahkan pergerakan hati yang sulit berempati dan pikiran yang sulit mengerti. Miskinnya nalar karena biasa hidup instan membuat keterampilan nihil substansi.
Kecakapan digital, kesimpulan dari keterampilan dan pemahaman yang baik dari sosok manusia yang berada pada era baru, serba virtual.
Bukan hanya tahu seluk-beluk dunia digital, bukan hanya terampil menggunakannya, melainkan mengerti mengapa dan bagaimana aktif di dunia digital.
Secara program, cakap digital merupakan kelanjutan dari literasi digital. Artinya, sebelum dapat memainkan barang (perangkat), setiap orang mesti paham dulu (literate) seluk-beluk dan adab-adaban berinteraksi dan berkarya di dunia digital.
Cermin terang
Seperti halnya di dunia nyata, keaktifan seseorang di dunia virtual juga mencerminkan siapa dia yang sesungguhnya.
Kendati sering menemukan sifat dan kebiasaan yang berbeda, tetapi antara yang nyata dan yang maya tidak ada bedanya.
Kita yang baik, dapat dipandang buruk ketika status dan konten medsos kita tidak mendidik.
Kita berkata sok pinter, tetapi di media sosial kita hanya mampu mempublikasikan kedunguan, tentu menjadi tidak relevan.
Dunia digital merupakan kepanjangan tangan, bahkan menjadi cermin yang terang tentang siapa kita yang sesungguhnya.
Sudah lama perusahaan-perusahaan atau lembaga tertentu akan sangat berhati-hati menerima karyawan, sebelum memeriksa kebiasaannya dalam mengunggah konten di media sosial.
Konten yang rasis, suka menghina, mengumbar kebencian, ataupun menyebar hoaks, menjadi catatan penting tentang siapa orang itu sesungguhnya.
Anak-anak muda yang masih panjang kariernya, memiliki kesempatan yang luas untuk menentukan masa depan.
Kecakapan digital wajib dikuasai saat ini, bukan hanya terampil, melainkan juga mengerti.
Kebiasaan memproduksi konten positif bukan hanya untuk menunjukkan bahwa kita mampu, melainkan juga terbiasa berbagi kebaikan bagi orang lain.
Semakin hari semakin berkarya, semakin mahir, bertambah portofolio. Mengisi ruang digital dengan hal baik, sekaligus menunjukkan bahwa kita generasi muda yang positif, siap menerima segala perubahan dan tantangan zaman dengan tetap menjaga etika dan adab.***