Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Gagasan dan karya seseorang akan terus hidup meskipun pencetusnya telah tiada. Sebagai contoh, KH Ahmad Dahlan dan para sahabatnya, 112 tahun yang lalu, mencatat sejarah kemanusiaan melalui kreativitas dan inovasi berpikir serta berkarya yang luar biasa.
Dengan pikiran, hati, dan nurani yang dipandu oleh akal sehat, mereka mengolah nilai-nilai yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah. Bersama-sama, mereka membangun peradaban dengan memerangi kebodohan, melawan ketidakadilan sosial, dan memperjuangkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia dan bernilai tinggi.
Terinspirasi dari sejarah perjuangan Sang Pembebas, para Nabi dan Rasul, KH Ahmad Dahlan menjadikan kata “iqra” sebagai landasan berpikir yang sarat makna dan mendalam. Dari pesan ini, lahir inovasi besar yang memberi warna baru pada sistem sosial dan kemanusiaan yang lebih beradab. Ia mengembangkan sistem pendidikan yang terstruktur, mencakup berbagai jenjang, mulai dari prasekolah hingga perguruan tinggi, baik dalam bentuk pendidikan berasrama maupun non-asrama.
Bagi KH Dahlan, pendidikan merupakan kunci utama untuk melawan penindasan dan ketidakadilan sosial yang dipicu oleh keserakahan manusia. Oleh karena itu, tidak ada kompromi dalam memperjuangkan pentingnya ilmu pengetahuan, karena Allah Ta’ala memberikan jaminan mutlak melalui pendidikan sebagai jalan kemuliaan.
Muhammadiyah lahir dari pemikiran jernih KH Ahmad Dahlan dan rekan-rekannya, menjadi sebuah entitas sosial yang unik dengan gerakan yang progresif dan dinamis. Pada masanya, Muhammadiyah diibaratkan sebagai kapal besar yang siap mengarungi samudra dunia atau pesawat yang melesat ke angkasa, membawa kemajuan bagi bangsa, negara, dan umat Islam di mana pun berada.
Melalui Muhammadiyah, banyak manusia tersadarkan, bangkit dari “kematian” rasa dan pikiran, sebagaimana pesan Ilahi dalam firman-Nya: قُمۡ فَأَنذِرۡ (QS Al-Muddatstsir: 2), “Bangunlah, lalu berilah peringatan.” Pesan dalam ayat ini memiliki makna yang sangat mendalam dan universal, menjadi panggilan bagi setiap insan untuk bergerak dan membawa perubahan.
Perlu dipahami bahwa perintah dalam ayat tersebut berlaku bagi setiap manusia yang telah mengikrarkan dirinya sebagai muslim. Begitu pula dengan KH Ahmad Dahlan yang tanpa ragu atau basa-basi langsung bergerak maju.
Dengan semangat itu, dalam kurun waktu tertentu lahir puluhan ribu institusi pendidikan, mulai dari pesantren, sekolah, hingga perguruan tinggi. Peradaban bangsa dan negara Indonesia terus berkembang berkat tangan dingin yang bekerja dengan ketulusan. Muhammadiyah pun berdiri kokoh di atas kekuatannya sendiri dengan pandangan yang tajam menatap masa depan yang gemilang.
Hari ini dan di masa mendatang, Muhammadiyah akan terus diapresiasi oleh mereka yang memandangnya secara objektif dan oleh siapa saja yang merasakan manfaatnya. Namun, meskipun tanpa sanjungan atau pujian, Muhammadiyah akan terus melangkah maju tanpa henti. Kehadirannya di tengah masyarakat tetap menjadi rahmat karena di dalamnya selalu ada orang-orang yang berbuat kebaikan.
Setumpuk hasil riset dari lebih dari 170 perguruan tinggi Muhammadiyah, belum termasuk perguruan tinggi negeri dan swasta lainnya, telah menghasilkan jutaan karya ilmiah berupa tugas akhir para mahasiswa. Skripsi, tesis, dan disertasi yang jumlahnya tak terhitung terus diproduksi setiap tahun. Selama puluhan tahun, banyak lulusan perguruan tinggi ini menjadi ilmuwan yang dihormati dan dihargai dalam pandangan masyarakat.
Para sarjana tersebut kerap dipandang mulia, baik karena keilmuan, jabatan, maupun kekayaan yang dimiliki. Dalam kultur sosial masyarakat, khususnya di desa dan wilayah pinggiran, ilmuwan dan hartawan sering kali dianggap sebagai sosok terpandang dan berpengaruh. Fenomena ini menjadi bagian dari kenyataan sosial yang masih terus berlangsung hingga hari ini.
Siapa pun pasti mendambakan generasi yang memiliki predikat terhormat dan berpengaruh. Contoh sederhana dapat dilihat dari sosok guru, ustaz, ajengan, dan kiai di pedesaan yang memiliki kharisma luar biasa. Bahkan, seorang ulama dengan keilmuan Islam yang mendalam kerap dianggap memiliki martabat yang tinggi, melebihi rata-rata sehingga wibawanya menempatkannya pada posisi yang sangat dihormati.
Namun, sejak era modern, terjadi pergeseran perlahan dari figur ulama ke sosok akademisi. Pergeseran ini seolah menjadi tanda bahwa akademisi kini memikul tanggung jawab besar dalam menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan yang muncul di tengah masyarakat. Peran ini menjadikan akademisi sebagai ujung tombak dalam menghadirkan solusi dan perubahan bagi kehidupan di muka bumi.
Fenomena seperti ini adalah hal yang lumrah terjadi, mencerminkan realitas masyarakat Indonesia. Namun, di lingkungan Muhammadiyah, hal tersebut sebaiknya tidak menjadi tujuan utama—yakni sekadar menjadi sosok bermartabat karena harta atau jabatan. Muhammadiyah justru harus hadir sebagai bagian yang menawarkan solusi atas berbagai persoalan masyarakat melalui gerakan di bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dan ekonomi.
Strategi dan pola gerak Muhammadiyah perlu diintegrasikan secara terpadu dan simultan. Perguruan tinggi, sebagai mesin penghasil sumber daya manusia yang paling efektif, dapat dioptimalkan sesuai kebutuhan praktis masyarakat.
Para dosen, baik yang masih muda maupun yang telah bergelar profesor, idealnya turut serta turun ke lapangan secara kolektif. Langkah ini mendorong keterlibatan langsung, menjauh dari paradigma “menara gading” yang sering melekat pada perguruan tinggi pada umumnya, dan memastikan dampak nyata bagi umat.
Diduga, potensi perguruan tinggi Muhammadiyah (PTMA) sebagai mesin penghasil sumber daya manusia belum dimanfaatkan secara optimal, baik untuk kemajuan persyarikatan Muhammadiyah maupun untuk masyarakat secara umum. Bayangkan jika PTMA benar-benar berkomitmen menjadikan diri sebagai motor penggerak SDM yang dimobilisasi secara efektif dan efisien, berbagai persoalan yang menghambat kemajuan masyarakat dapat diurai dengan baik.
Lebih dari itu, Muhammadiyah memiliki kapasitas bukan hanya untuk mengelola masalah-masalah lokal, seperti tambang yang hanya sebagian kecil dari persoalan bangsa, tetapi untuk memberikan solusi terhadap tantangan global. Hal ini seharusnya dapat disadari, diakui, dan dipahami oleh persyarikatan. Namun, sistematika gerakan aksi Muhammadiyah masih sering terjebak dalam pola-pola lama yang cenderung mengabaikan inovasi dan pembaruan.
Langkah-langkah pembaruan gerakan Muhammadiyah sejatinya telah dirumuskan secara umum dalam berbagai dokumen penting. Misalnya, seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Khittah Perjuangan, Kepribadian Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah, hingga konsep terbaru berupa Risalah Islam Berkemajuan.
Namun, implementasi dari konsep-konsep tersebut sering kali terhenti pada ruang-ruang formal pengkaderan, seperti Baitul Arqam dan Darul Arqam, atau dalam bentuk lain yang masih cenderung menduplikasi pola-pola lama. Akibatnya, aktivitas bermuhammadiyah terkadang hanya dipersepsikan sebatas bekerja sebagai pegawai Muhammadiyah.
Hal ini menunjukkan lemahnya kemampuan memobilisasi potensi mesin sumber daya manusia secara optimal. Oleh karena itu, peluang besar untuk mewujudkan perubahan yang lebih signifikan belum sepenuhnya tergarap.
Sebenarnya, bagi Muhammadiyah, tidaklah sulit untuk mempersiapkan dan menjalankan gerakan pembaruan yang dapat menjawab berbagai persoalan kehidupan umat manusia. Riset-riset ilmiah dari perguruan tinggi Muhammadiyah seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang unggul. Setiap kebijakan persyarikatan yang didasarkan pada hasil riset dan kajian ilmiah, sekecil apa pun, dapat memberikan dampak positif jika diimplementasikan dengan tujuan yang jelas dan aplikatif.
Namun, selama ini gerakan Muhammadiyah sering kali terkesan sekadar ceremonial, dengan pola komunikasi yang lebih fokus pada saling menjaga posisi dalam struktur pimpinan persyarikatan maupun amal usaha. Jika pola ini terus dipertahankan, tidak menutup kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dalam institusi yang justru akan mengganggu laju kemajuan persyarikatan dan amal usaha yang ada. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar