Oleh: Wahyudin Darmalaksana*
PERKEMBANGAN konstruksi metodologis ilmu pengetahuan–yang tumbuh subur di dunia Barat modern–memiliki pijakan awal yang mendasari perkembangannya. Termasuk konstruksi metodologis “cara memperoleh pengetahuan.”
Al-Syafi’i (820 M.) adalah sosok yang mula pertama merancang konstruksi metodologis bahkan epistemologi sistematis di bidang hadis. Sunnah Nabi Saw. dipahami sebagai “signals” dalam realitas –order/structure dan human agency– dari yang semula abstrak atau tidak kuat (low) menjadi otoritatif (high) dengan bentuk hadis yang formal (sebagai objek material).
Konstruksi al-Syafi’i menghendaki berbagai signals (sunnah) ditata secara fisikal (“kebendaan”) melalui sensing dan selecting (al-riwayah, tahamul wa al-ada’, takhrij) hingga diperoleh data (hadis) secara valid, objektif, otentik, kredibel, sahih.
Lalu, tahap penalaran (i’tibar –cognitive structuring) terhadap data (hadis) sehingga menjadi information (“khabar”) yang sarat arti (meaning) dan makna (significance). Analisis makna pada hadis dilakukan melalui syarah al-hadits.
Terakhir, analisis information (sistemik hadis) menjadi knowledge (makna hadis) potensial membentuk keyakinan, “kebenaran.” Itu sebabnya dalam horizon paradigma hukum al-Syafi’i, hadis menjadi sumber justification kedua setelah Al-Quran.
Tegaslah al-Syafi’i telah merancang konstruksi epistemologis hadis sebagai cara memperoleh pengetahuan hadis. Basis awal konstruksi scientific al-Syafi’i berkembang di dunia Barat modern menjadi “cara memperoleh pengetahuan.”
*Founder Kelas Menulis UIN Sunan Gunung Djati Bandung