Oleh: Fadli Jihadul Islam, mahasiswa prodi PAI UM Bandung
BANDUNGMU.COM — Dunia global saat ini mengalami diskursus dalam berbagai sisi, yaitu dapat dilihat dengan adanya era globalisasi yang berkembang pesat. Globalisasi lahir yang akar muaranya adalah dari Barat atau dengan menamai programnya “westernisasi”.
Program ini sudah dirasakan dan dialami oleh berbagai kalangan atau banyak orang. Program utamanya ialah sekularisasi dan liberalisasi yang membuat umat Islam berbeda sikap.
Dalam buku Cultural Schizophrenia, Islamic Society Confronting the West, karya Daryus Shayegan, dikatakan bahwa sikap umat Islam terhadap Barat menjadi tiga.
Pertama, mereka yang kembali kepada masa lalu. Kedua, mereka yang menghadapinya dengan “berani”, tetapi penuh resiko. Ketiga, mereka yang menolak mentah-mentah sesuatu yang datang dari Barat (Zarkasyi, 2012).
Ketiga sikap tersebut mencerminkan simptom (pertanda atau gejala) ketidakpuasan secara mendalam. Sebabnya ialah salah paham tentang modernitas dan tidak mampu mengasimilasikannya atau menundukkannya.
Atas kesalahpahaman dan ketidakmampuan tersebut, menurut Daryush, dipicu oleh ketiadaan kajian filosofis.
Hal tersebut berakibat pula kepada sikap yang memuji Barat secara berlebihan, oleh Fazlur Rahman dianggap telah terbaratkan (westernized), atau sikap yang terlalu anti terhadap segala sesuatu yang datangnya dari Barat.
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk di dalamnya Islamic Studies, harus diakui bahwa Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala coraknya, baik dari segi keilmuan, keagamaan, maupun politik-ekonomi. Oleh karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan (Zarkasyi, 2012).
Pandangan cendekiawan muslim Abdullah Saeed
Berbicara keagamaan di era kontemporer saat ini, tentu tidak lepas dari perhatian seorang profesor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne, Australia, yakni Abdullah Saeed.
Abdullah Saeed adalah seorang cendekiawan muslim yang mempunyai latar belakang pendidikan bahasa dan sastra Arab serta studi Timur Tengah yang baik dan profesional.
Ia juga merupakan tokoh yang mampu melihat secara kritis-dialektis dalam setiap problem keagamaan yang sedang dihadapi pada zamannya.
Kombinasi institusi pendidikan yang selama ini diikutinya, yaitu pendidikan di Saudi Arabia dan Australia, menjadikan dirinya sebagai sosok yang kompeten untuk menilai dua dunia, Barat dan Timur, secara objektif dan proporsional.
Pandangannya terkait Islam, ia berpendapat bahwa Islam diidealisasikan tidak menjadi agama yang hanya mengawang-ngawang dan berputar-putar di atas langit. Namun, menjadi semacam kompas bagi manusia yang ada di bumi.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemikir kontemporer menjadikan Islam sebagai agama yang bersifat teosentris dan antroposentris sekaligus. Dalam wacana ini disebut progresif ijtihaadii: subjeknya dinamakan muslim progresif dan gerakannya bernama Islam progresif.
Dalam konteks kebekuan ini, Abdullah Saeed menawarkan apa yang disebut “fresh ijtihad” yang didedikasikannya untuk menjembatani keterbelakangan “cara berpikir” dan “analisis keilmuan” yang dikembangkan ilmu-ilmu agama dalam menjawab problem modernitas dan kebutuhan kontemporer (Fathurrosyid, 2015).
Model ijtihad Abdullah Saeed
Abdullah Saeed menjelaskan tiga model ijtihad yang berpengaruh sepanjang sejarah hukum Islam.
Pertama, text-based ijtihad, yaitu metode ijtihad yang sangat lazim digunakan oleh para fuqaha klasik yang menjadi rujukan umat pada masanya. Model ijtihad seperti ini teks Al-Quran maupun As-Sunnah sangat mendominasi hasil ijtihad mereka (Shulkhah dan Syamsuddin, 2016).
Kedua, eclectic ijtihad, artinya metode ijtihad yang hanya berupaya mencari teks atau pandangan ulama sebelumnya yang mendukung pendapat dirinya sendiri.
Ketiga, context-based ijtihad, metode ijtihad yang berupaya memahami masalah-masalah hukum sesuai dengan konteks sejarah turunnya hukum itu.
Kemudian dihubungkan dengan konteks yang terjadi pada saat ini dengan mengacu pada kemaslahatan umum dari maqashid syariah.
Model ijtihad context-based ijtihad inilah kemudian melahirkan ijtihad progresifnya Abdullah Saeed dalam tujuh pokok pendekatan:
(1) Atensi pada konteks dan dinamika sosio historis. (2) Meyakini ada beberapa masalah yang tidak dicakup dalam Al-Quran karena belum tiba pada saat turunnya Al-Quran.
(3) Setiap pembacaan kitab suci harus satu tarikan napas dengan cinta kasih, keadilan, dan kejujuran. (4) Keyakinan bahwa Al-Quran tidak bebas nilai.
(5) Diperbolehkan pindah dari contoh konkret pada generalisasi ataupun sebaliknya. (6) Kehati-hatian dalam menggunakan keotentikan teks klasik. (7) Fokus pada pemecahan masalah muslim kontemporer.
Islam progresif, menurut Abdullah Saeed bukanlah sebuah gerakan, melainkan tren pemikiran dengan berbagai suara yang ada di dalamnya; Islam modernis, liberal, feminis atau bahkan para muslim tradisionalis yang telah bertransformasi.
Lebih jauh, Islam progresif adalah salah-satu tren pemikiran Islam kontemporer yang senantiasa melakukan kontekstualisasi terhadap teks sesuai kondisi dan berkehendak untuk menjawab persoalan dan kebutuhan manusia sekaligus bercita-cita ingin mewujudkan slogan “al-Islam shalih li kulli zaman wa makan” (Fanani, 2019).
Epistemologi keilmuannya adalah mendialogkan antara cara berpikir dan analisis ilmu-ilmu agama (‘ulum al-din) dengan ilmu-ilmu sosial modern.
Tren Islam progresif
Progresif artinya kemajuan atau selalu ke arah perbaikan dari masa lalu. Mengenai Islam progresif adalah istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang telah bertahun-tahun digunakan oleh para ulama dan aktivis untuk melabeli konsep dan tindakan umat Islam yang memperjuangkan hukum humanistik, seperti masyarakat sipil, demokrasi, keadilan, seks, kesetaraan, perlindungan kaum tertindas, dan pluralisme (Safi dalam Madaniyah, 2022).
Munculnya pemahaman dan tindakan Islam progresif, yang memperhatikan keseimbangan kritik internal dan eksternal.
Kritik internal terhadap setiap tradisi pemikiran Islam, yang tidak menitikberatkan pada aspek humanistik kehidupan, menempatkan gerakan Islam progresif di antara gerakan modernis, tetapi juga merupakan gerakan postmodernis karena juga mengkritisi modernitas, yaitu sebaliknya kepada nilai-nilai Islam, nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Islam progresif harus progresif dalam pandangan, kritik, dan tindakan. Oleh karena itu, ini disebut ekspresi progresif (Noor, 2006).
Abdullah Saeed menjelaskan tren pemikiran Islam ke dalam enam kelompok yang memiliki corak epistemologi dan tujuan yang berlainan.
(1) The Legalist-traditionalist, mengacu pada hukum-hukum yang dikembangkan dan ditafsirkan ulama periode pra modern. (2) The Theological puritans, pemikirannya berdimensi etika dan doktrin Islam.
(3) The Political Islamists, kecenderungan pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam. (4) The Islamist Extremists, bertindak anarkis melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai reval, tidak peduli muslim maupun non-muslim.
(5) The Secular Muslims, paradigma agama merupakan urusan pribadi (private matter). (6) The Progressive Ijtihadists, para pemikir kontemporer yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar untuk bisa memberi solusi dari kebutuhan masyarakat modern.
Muslim progresif menurut Abdullah Saeed berada pada posisi kategori yang terakhir ini (Saeed dalam Rusydiah, 2021).
Abdullah Saeed dalam seminar “Progressive Islam and The State in Contemporary Muslim Societies” yang diadakan di Marina Mandarin, Singapore, berkata bahwa kriteria pembeda muslim atau Islam progresif dengan yang lain adalah ia memiliki kepercayaan akan sepuluh hal.
(1) Rasa nyaman (comfort) ketika menafsir ulang atau menerapkan kembali hukum dan prinsip-prinsip dasar Islam (nilai-nilai). (2) Keadilan gender juga ditegaskan dalam Islam.
(3) Semua agama secara inheren adalah sama dan harus dilindungi secara konstitusional. (4) Semua manusia juga setara dan sama. (5) Keindahan merupakan bagian inheren dari tradisi Islam baik yang ditemukan dalam seni, arsitektur, puisi maupun musik.
(6) Mendukung atas kebebasan berbicara, berkeyakinan, dan berserikat. (7) Menunjukkan kasih sayang pada semua makhluk. (8) Anggapan bahwa hak “orang lain” itu ada dan perlu dihargai.
(9) Sikap moderat dan anti-kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakatnya. (10) Kesukaan dan antusiasnya ketika mendiskusikan isu-isu yang berkaitan dengan peran agama dalam tataran publik (Rusydiah, 2021).
Abdullah Saeed berpendapat bahwa muslim progresif merupakan perkembangan lanjutan dari tren modernis yang berkembang menjadi neo-modernis dan kemudian menjadi progresif.
Sebagai tren, bukan gerakan, muslim progresif ini menampung semua kelompok dan kalangan yang memiliki keberpihakan pada nilai-nilai universal Islam sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat modern.
Omid Safi menyebutkan beberapa isu penting yang harus dijawab oleh muslim progresif. Di antaranya adalah ketidakadilan gender, diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik minoritas agama maupun etnis, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kemudian tiadanya kebebasan berbicara, berkeyakinan, dan mempraktikkan agama sendiri, pembagian kekayaan yang tidak merata, dan pemerintahan yang otoriter (Safi dalam Aminuddin, 2021).
____
Kepustakaan
Aminudin, A. (2021). “Pemikiran Abdullah Saeed Tentang Muslim Progresif Sebagai Jalan Alternatif Tantangan Era Modern”. Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam, 2(1), 50-63.
Fanani, Z. (2019). “Gerakan Islam Progresif dalam Konteks Sosiologi: Memahami Pemikiran Abdullah Saeed dalam Bukunya Islamic Thought”. Jurnal Pusaka Media Kajian dan Pemikiran Islam, 7(1), 53.
Fathurrosyid. (2015) “Islam Progresif Versi Abdullah Saeed: Ikhtiar Menghadapi Problem Keagamaan Kontemporer.” Al-Ahkam X.
Madaniyyah, F., & Munawar, E. (2022). “Gerakan Islam Progresif Abdullah Saeed Implikasinya Terhadap Metodologi Fiqh Islam”. Journal Analytica Islamica, 11(2), 428-439.
Noor, Faris A. (2006) Islam Progresif: Peluang, Tantangan, dan Masa Depannya di Asia Tenggara. Yogyakarta: SAMHA.
Saeed, Abdullah. (2016). Pengantar Studi Al-Qur’an. (Shulkhah dan Syamsuddin, Terjemahan), Yogyakarta: Baitul Hikmah Press.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. (2012). Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi. Jakarta: INSISTS – MIUMI.