Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Sebagai manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, kita semua berusaha untuk tetap berada di jalan yang benar. Dengan begitu, Sang Pencipta alam semesta akan senantiasa menjaga dan memelihara kita.
Kesalahan yang kita buat bukanlah sifat dasar manusia. Namun, merupakan bagian dari kelemahan dan keterbatasan kita sebagai makhluk yang rentan terhadap kerusakan, baik fisik maupun spiritual.
Demikian pula kebahagiaan, yang menjadi impian dan harapan setiap insan untuk dirasakan setiap saat tanpa henti. Keinginan untuk meraih kebahagiaan adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan. Pada dasarnya manusia telah diciptakan dengan jiwa dan raga yang mengakui kebahagiaan sebagai sesuatu yang hakiki dan nyata.
Perlu dicatat bahwa kebahagiaan adalah hak mutlak setiap insan di muka bumi. Namun, kualitas kebahagiaan sangatlah relatif karena setiap individu memiliki cara pandang, perasaan, dan pemaknaan yang berbeda.
Kebahagiaan yang bersifat jasadi masih dapat diukur, setidaknya melalui panca indera yang kita miliki. Selama panca indera berfungsi dan merasakan hal-hal yang positif, kemungkinan besar itu akan mendatangkan kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan ruhani jauh lebih sulit untuk diukur dengan standar tertentu, meskipun ajaran agama sebenarnya telah memberikan indikator dan tanda-tanda terkait kebahagiaan ruhani yang memiliki dimensi psikologis. Alat ukur tersebut sangat fleksibel dan tidak bisa diterapkan secara kaku sebagai parameter kebahagiaan bagi setiap individu.
Mengapa kebahagiaan menjadi sesuatu yang didambakan dan diinginkan oleh setiap orang, meskipun kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang berwujud materi?
Kebahagiaan adalah perasaan yang hadir dalam ruang lingkup emosi manusia. Kebahagiaan akan mampu meningkatkan kenikmatan atau kepuasan batin serta memberikan gambaran perasaan yang dirasakan oleh jiwa dan raga.
Oleh karena itu, orientasi dasar yang diinginkan oleh setiap individu adalah mencapai kebahagiaan atau rasa bahagia. Namun, penting untuk dicatat bahwa kebahagiaan sebaiknya tidak dibandingkan dengan orang lain.
Pasalnya itu adalah wilayah emosional yang sangat relatif standarnya. Perbandingan semacam itu dapat merusak kebahagiaan yang sudah dirasakan sebelumnya.
Masyarakat global menyadari dan mengakui, melalui berbagai informasi, bahwa kebahagiaan individu sangat penting dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas.
Di Finlandia, pepatah “Kell’ onni on, se onnen kätkeköön,” yang berarti jangan membandingkan atau menyombongkan kebahagiaan Anda, sangat dijunjung tinggi. Pandangan ini diungkapkan oleh filsuf dan peneliti psikologi Finlandia Frank Martela.
Pendapat tersebut telah menjadi identitas Finlandia sebagai negara dengan kehidupan sosial yang bahagia. Bahkan sering dianggap sebagai salah satu negara paling “islami” dalam konteks tertentu, terutama dalam hal integritas warga negara dan para pemimpin publiknya.
Memang benar bahwa setiap manusia memiliki cerita panjang dan pengalaman hidup yang unik yang tercatat dalam jejak waktu yang dilalui. Tidak semua orang mengetahui setiap detik perjalanan hidup orang lain.
Kebahagiaan adalah milik pribadi dan tidak dapat dibandingkan karena ukurannya yang sangat subjektif. Ada kebahagiaan yang hanya ilusi, penuh kepalsuan, tetapi ada juga kebahagiaan yang sejati.
Jika kebahagiaan diperoleh dengan cara yang tidak baik, kebahagiaan itu hanyalah semu dan palsu. Sementara itu, orang lain yang dirugikan akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar dan tulus. Jelas bahwa kebahagiaan bersifat personal dan sangat berbeda antara satu individu dengan individu lainnya meskipun mereka berada dalam ruang dan waktu yang sama.
Sesungguhnya, kebahagiaan berada dalam jiwa dan raga setiap individu. Standar serta alat ukur kebahagiaan itu hanya dimiliki oleh diri masing-masing.
Jika seseorang menggunakan standar kebahagiaan orang lain sebagai ukuran, hal tersebut dapat merusak diri sendiri dan berdampak negatif pada hubungan dengan orang lain, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat secara umum.
Jika hal ini tidak disadari, pada akhirnya akan menjadi penyakit hati yang menyebabkan munculnya turbulensi harapan yang tidak sesuai dengan kemampuan. Kemudian memicu sikap iri, dengki, dan rasa cemburu terhadap kebahagiaan orang lain.
Kebahagiaan dan rasa bahagia adalah hak setiap orang yang hidup di dunia. Bagaimana seseorang meraihnya adalah urusan masing-masing individu. Semua orang tentu mengharapkan kebahagiaan.
Dalam ajaran Islam, kebahagiaan memiliki makna yang lebih dalam. Islam menjelaskan bahwa manusia yang hidup akan mengalami kematian dan kemudian bertemu dengan kehidupan abadi. Pada saat itu akan ditentukan siapa yang akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati.
Adapun kebahagiaan di dunia bersifat sementara, tetapi bukan berarti tidak ada. Kebahagiaan di dunia harus diupayakan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki dan hasilnya akan sejalan dengan usaha dan perbuatan yang dilakukan dalam berbagai kondisi dan situasi diri.
Kebahagiaan sejatinya adalah hak setiap orang dan tidak boleh dirampas dengan cara apa pun. Mengambil kebahagiaan orang lain dengan cara yang tidak baik adalah bentuk tindakan menyakiti dan menzalimi.
Menariknya, menurut CNBC Indonesia (11 Agustus 2024), Finlandia, yang dinobatkan sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia, ternyata menerapkan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ada tiga alasan utama mengapa Finlandia dianggap sebagai negara paling bahagia.
Pertama, warganya, termasuk para pejabatnya, hidup dengan kesederhanaan dan menghindari pamer kekayaan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang kesombongan, riya, dan takabur.
Kedua, masyarakat Finlandia sangat menghargai alam sebagai sumber kehidupan yang baik. Berdasarkan survei Sitra, 87 persen warga Finlandia menganggap alam berperan penting dalam ketenangan pikiran, energi, dan relaksasi. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya menjaga alam untuk keseimbangan hidup.
Ketiga, tingkat kejujuran dan kepercayaan masyarakatnya sangat tinggi. Reader’s Digest pernah merilis hasil eksperimen “dompet hilang” pada 2022, di mana dari 12 dompet yang dijatuhkan di Finlandia, 11 di antaranya dikembalikan kepada pemiliknya—sebuah bukti luar biasa dari kejujuran masyarakatnya. Bagi mereka, mengambil hak orang lain adalah pelanggaran moral yang tercela dan akan merusak kebahagiaan diri mereka sendiri.
Di Finlandia, anak-anak sekolah naik transportasi umum tanpa membuat orang tua khawatir akan keselamatan mereka. Anak-anak usia belia pun bisa bermain tanpa pengawasan orang dewasa dengan tetap aman, karena adanya kepercayaan yang kuat terhadap lingkungan yang baik.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka layak mendapatkan kebahagiaan karena mereka menjalankan nilai-nilai yang diajarkan oleh Sang Pencipta.
Sebaliknya, sangat ironis jika dibandingkan dengan situasi di negara-negara muslim, khususnya di Indonesia. Tidak hanya dompet yang terjatuh di tempat umum berisiko diambil, bahkan yang tersimpan di tempat tertutup pun sering kali menjadi target pencurian.
Jauh dari kata aman, di tempat-tempat ramai ataupun jalanan sepi, sering kali terjadi kasus yang mengkhawatirkan, seperti anak-anak usia belia yang hilang diculik oleh orang tidak dikenal dan kemudian ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa.
Di layar kaca, kita sering disuguhkan berita tentang perilaku korupsi yang seolah-olah sudah menjadi tradisi. Pengambilan hak orang lain telah menjadi budaya yang dianggap biasa. Sementara itu, saling menghina, mengejek, dan caci maki menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini membuat kebahagiaan sejati semakin jauh dari masyarakat Indonesia. Ditambah lagi dengan maraknya kasus pinjaman online yang menghancurkan kebahagiaan banyak keluarga, hingga menyebabkan sejumlah orang mengambil nyawanya sendiri karena tekanan.
Ya Allah, mohon ampun atas segala keburukan yang telah kami perbuat. Amin. Wallahu a’lam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar