PMB Uhamka
Opini

Polymath

×

Polymath

Sebarkan artikel ini

Oleh: Radea Juli A Hambali*

BANDUNGMU.COM — Polymath adalah sebutan untuk individu yang cerdas, dengan wawasan luas dan pemahaman mendalam di berbagai bidang. Sebutan ini, misalnya, kerap dialamatkan kepada tokoh seperti Hossein Nasr.

Namun, bisakah karakteristik ini disematkan pada sebuah partai politik? Mungkinkah ada partai yang memiliki “kecerdasan” dan kapasitas seolah mengetahui banyak hal?

“Kecerdasan” Partai Politik

Dalam konteks partai politik, kecerdasan kerap diartikan sebagai kemampuan merumuskan strategi dan menangkap peluang untuk meraih kekuasaan. Partai adalah organisme yang lahir dengan tabiat untuk “meraih,” “merebut,” dan “mempertahankan” kekuasaan.

Baca Juga:  BSI dan Pengalihan Dana Muhammadiyah

Namun, ini sering kali menjadi kecerdasan yang bersifat pragmatis dan transaksional, hanya berorientasi pada jangka pendek—sebatas memenangkan elektabilitas dan mendominasi panggung politik.

Dengan kecerdasan semacam itu, partai politik tampak seolah “mengetahui” banyak hal. Mereka tahu kapan harus melemahkan lawan, kapan melancarkan strategi yang bahkan bisa menistakan atau menjatuhkan kawan seperjuangan.

“Tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi,” begitu bunyi nasihat klasik dalam dunia politik.

Intrik dan Muslihat

Sayangnya, di balik “kecerdasan” tersebut, partai sering kali hanya berisi siasat, intrik, dan muslihat. Hal ini berlaku bagi semua jenis partai, terlepas dari ideologi mereka—entah berbasis agama, sekuler, atau yang berhaluan kiri maupun kanan. Fokus mereka adalah pada manuver politik, bukan pada nilai-nilai atau tujuan luhur yang seharusnya mereka perjuangkan.

Baca Juga:  Sejumlah PDM Apresiasi Dialog Ideopolitor Muhammadiyah Jabar

Polymath dan Partai: Analogi yang Ganjil

Membandingkan partai dengan polymath terasa ganjil. Polymath adalah simbol dari pencapaian intelektual yang melampaui batas-batas sempit. Sebaliknya, “kecerdasan” partai politik sering kali hanya berorientasi pada kepentingan sempit, penuh kalkulasi, dan tidak jarang mengorbankan nilai-nilai yang lebih besar.

Jadi, dapatkah partai politik disebut polymath? Tentu saja tidak. Polymath adalah tentang kebijaksanaan dan wawasan luas untuk kebaikan bersama, sementara kecerdasan partai lebih sering tenggelam dalam pragmatisme dan kepentingan sesaat.

Baca Juga:  IMM Yogyakarta Dorong Generasi Muda Lawan Money Politic dan Polarisasi Menjelang Pilkada 2024

Analogi ini, alih-alih relevan, tampaknya hanya sebuah satire politik yang menggambarkan ironi di dunia kekuasaan.

*Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

PMB Uhamka