Oleh: Dudy Imanuddin Effendi, Kaprodi BKI FDK UIN SGD Bandung
BANDUNGMU.COM — Nilai pengkhidmatan inilah yang dalam seloroh Haedar Nashir saat pembukaan sidang Tanwir di Muktamar ke-48 bahwa terpilih atau tidak terpilih tetap harus bahagia karena siapa pun yang terpilih karena hanya “sejengkal dimajukan dan seinci ditinggikan”.
Oleh karena itu, kami di persyarikatan Muhammadiyah tetap harus bisa menjalankan amanah dengan kekompakan dan keutuhan serta kebersamaan dalam spirit ukhuwah iman dalam berbagi di ruang-ruang pengkhidmatan dengan pelbagai dinamikanya.
Sepertinya bagi semua lapisan kader persyarikatan Muhammadiyah, termasuk juga Haedar Nasir, berpikir tentang hal-hal yang bersifat kepentingan pribadi tidak terlalu penting dibandingkan dengan pentingnya memikirkan pergerakan Muhammadiyah ke depan dalam menata risalah Islam berkemajuan, kemampuan menjawab isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal dalam setiap jenjang jenjang kepengurusan.
Juga memelihara hal pokok berupa orientasi tadayyun (menanamkan nilai-nilai religius) keislaman agar semakin kokoh, mencerdaskan, meneguhkan, dan mencerahkan, sebagaimana perspektif Islam berkemajuan dan risalah pencerahan Muhammdiyah.
Secara objektif, jejak hikmah yang bisa diambil dari keberlangsungan muktamar Muhammadiyah ke-48 di Kota Solo, Jawa Tengah, adalah teladan yang baik dan benar dalam membangun organisasi keumatan, mengembangkan model pengabdian, dan melakukan sistem pemilihan kepemimpinan yang penuh dengan nilai-nilai trust, amanah, integritas, profesionalisme, kreativitas, inovasi, etos kerja positif, dan pengabdian yang empatik.
Semunya berpusat pada pijakan etika yang luhur, yakni nilai-nilai religius Islam. Tanpa ini, sepakat dengan Albert Camus dalam “Mitos Sisifus”, seseorang tanpa etika ibarat binatang buas yang diilepas dari dunia ini.
Saat menerjemahkan metaporis binatang buas ini, Christian Heck dan Remy Cordonnier dalam “The Grand Medieval Bestiary” telah mengilustrasikan bahwa karakter binatang buas adalah keji, licik, suka menipu, sangat agresif dalam menyerang, tidak dipercaya, memakan hak orang lain, dan lainnya.
Lalu bagaimana, harapan yang diungkapkan Dahlan Iskan saat menyimak keberlangsungan Mukmatar yang elegan ini?
Kata Dahlan Iskan, “Saya merenungkannya: mungkinkah sistem pemilu Muhammadiyah ini diadopsi untuk pilpres tingkat negara Indonesia. Kita tahu pemilu dan Pilpres kita itu terlalu berdarah-darah, terlalu mahal, dan terlalu memecah belah masyarakat.”
Bisakah? Kuncinya adalah pelaksanaan pemilu dan Pilpres harus menjaga nilai-nilai trust, amanah, integritas, profesionalisme, kreativitas, inovasi, etos kerja positif, dan pengabdian yang empatik, mulai dari calon presiden dan wapresnya, calon legislatif, tim pemenangan masing-masing calon, panitia pelaksananya, sponsor, dan bahkan rakyatnya sendiri sebagai pemilik suara.
Tanpa niali-nilai tersebut, bisa dikatakan mustahil jika keberlangsungan pemilu dan Pilpres nanti dapat berjalan jujur, adil, santun, sehat, dan mendamaikan semua pihak.***
Tamat.