BANDUNGMU.COM – Tidak banyak tahu, ternyata tradisi takji yang kini tampak umum di Indonesia pertama kali dipopulerkan Muhammadiyah. Ah masa sih? Begini penjelasannya.
Peristilahan takjil diambil dari Hadis Nabi Muhammad Riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi: ”Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (ajjalu) berbuka.”
Istilah ”menyegerakan” dalam hadis tersebut (ajjalu), dalam bahasa Arab memiliki medan semantik, yaitu ajjala–yu’ajjilu–ta’jilan yang artinya ”momentum”, ”tergesa-gesa”, ”menyegerakan”, atau ”mempercepat”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengistilahkan takjil sebagai makanan untuk berbuka puasa yang disegerakan.
Dalam tataran budaya, takjil dimiliki oleh setiap bangsa muslim di seluruh dunia dan Indonesia jauh sebelum Muhammadiyah lahir.
Snouck Hurgonje dalam “De Atjehers”, yakni laporannya setelah mengunjungi Aceh di antara 1891-1892, mencatat bahwa masyarakat lokal telah mengadakan buka puasa (takjil) di masjid beramai-ramai dengan ”ie bu peudah” atau bubur pedas.
Dalam catatan lain yang belum terkonfirmasi kebenarannya, takjil bahkan menjadi medium dakwah Wali Songo untuk melakukan dakwah dan islamisasi di bumi Nusantara.
Meskipun takjil dikenal sebagai bagian dari perintah Nabi dan diadopsi dalam berbagai budaya yang berbeda, nyatanya pada masa-masa itu takjil hanya menjadi kebudayaan lokal dan bukan kebudayaan populer.
Takjil dipopulerkan Muhammadiyah
Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul “Kiai Ahmad Dahlan–Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan” (2010) mencatat bahwa Muhammadiyah memiliki peran besar dalam mempopulerkan takjil beserta seremoni kultural lain di dalam Ramadan seperti mengakhirkan sahur ataupun kegiatan kultural pada momen hari besar keagamaan Islam lainnya.
Munir mencatat bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid mempopulerkan tradisi mengakhirkan makan sahur menjelang waktu subuh tiba. Kemudian menggelar takjil untuk menyegerakan kaum muslimin untuk berbuka.
Sebagaimana usaha Ahmad Dahlan membawa ajaran Islam Muhammadiyah yang ditentang oleh kelompok tradisional hingga dia pernah dituduh sebagai ”kiai kafir”, usaha Muhammadiyah dalam mempopulerkan takjil dan mengakhirkan sahur pun mendapat tuduhan dan sematan miring.
”Cara Muhammadiyah memenuhi ibadah puasa di atas waktu itu menyebabkan pengikut Muhammadiyah dicap tidak tahan lapar, tetapi saat ini cara pengikut Muhammadiyah itu sudah menjadi tradisi puasa semua warga muslim di Indonesia,” catat Munir.
Kontribusi Muhammadiyah
Lebih luas, Munir Mulkhan mencatat bahwa Muhammadiyah memiliki sumbangan lebih luas dalam mempopulerkan momen kultural keagamaan hari besar Islam.
Misalnya, salat dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha) yang dilakukan oleh Muhammadiyah di tempat terbuka dengan dikelola oleh sekian orang yang dinamakan panitia.
Tak ayal terobosan yang dilakukan oleh Muhammadiyah seperti itu, menurut Munir, juga turut mendapatkan tuduhan miring (lagi).
”Muhammadiyah pun dikecam keras sebagai agama baru dan salat hari raya di tempat terbuka adalah bukti jika aktivis gerakan Muhammadiyah tidak mengerti taharah (bersuci) dalam Islam,” catatnya.
Pada momen Iduladha atau Idulfitri, Munir juga mencatat bahwa Muhammadiyah ikut meramaikan syiar Islam dengan mengumpulkan anak-anak Hizbul Wathan yang bertakbir keliling ke sudut-sudut kampung sembari mendatangi rumah kaum fakir miskin untuk membagikan beras zakat atau daging kurban.
”Kini kegiatan itu sudah menjadi tradisi keagamaan yang dilakukan oeh semua orang tidak terbatas pengiktu Muhammadiyah. Melalui guru agama di sekolah negeri/swasta, murid sekolah mengumpulkan uang fitrah di bulan puasa atau uang kurban di bulan haji. Uang fitrah yang terkumpul dan daging hewan kurban kemudian dibagikan kepada fakir miskin,” tulis Munir.***