PMB Uhamka
Sosbud

Mengulik Peran Majalah Suara Muhammadiyah di Masa Pra-Kemerdekaan

×

Mengulik Peran Majalah Suara Muhammadiyah di Masa Pra-Kemerdekaan

Sebarkan artikel ini

BANDUNGMU.COM — Sejak didirikan pada 1912, Muhammadiyah telah menegaskan dirinya sebagai gerakan literasi yang berkomitmen pada pencerahan. KH Ahmad Dahlan membawa misi mulia untuk meningkatkan kecerdasan umat dan mengejar ketertinggalan yang melanda masyarakat.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah mengadopsi sistem pendidikan ala Belanda. Namun, dengan modifikasi agar selaras dengan nilai-nilai dan kepentingan Islam.

Tidak hanya berfokus pada pendidikan, Muhammadiyah membangun gerakan keilmuan melalui pendirian Bahagian Taman Pustaka. Bagian inilah yang menjadi garda depan dalam mengembangkan tradisi literasi di kalangan umat Islam.

Melalui Bahagian Taman Pustaka, Muhammadiyah memelopori penerbitan majalah Suara Muhammadiyah pada 1915. Hal ini dinilai sebagai sebuah langkah berani di tengah kondisi masyarakat yang mayoritas masih buta huruf.

Jauh sebelum lahirnya Sumpah Pemuda pada 1928, Suara Muhammadiyah sudah mendeklarasikan penggunaan bahasa Indonesia (Melayu) dan istilah “Indonesia” pada 1923.

Melalui majalah ini, Muhammadiyah berperan penting dalam membangun kesadaran berbangsa. Singkatnya, Muhammadiyah membangun nasionalisme melalui pendekatan bahasa. Hal ini menunjukkan bagaimana media seperti Suara Muhammadiyah—walaupun bernuansa dakwah dan keagamaan—juga memiliki spirit kebangsaan dan keindonesiaan yang holistik.

Di sinilah letak pentingnya peran Muhammadiyah dalam membangun jembatan komunikasi melalui bahasa Indonesia. Suara Muhammadiyah menjadi salah satu pelopor dalam mengkoneksikan antarindividu di seluruh nusantara, membangun jembatan komunikasi yang dapat dipahami oleh semua kalangan sehingga bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa.

Melalui media ini, Muhammadiyah tidak hanya menyebarkan nilai-nilai Islam. Namun, juga memperkuat rasa kebangsaan dan memperjuangkan keindonesiaan yang inklusif.

Baca Juga:  Memahami Hakikat Ramadan Sebagai Bulan Produktivitas

Muhammadiyah juga melawan penjajahan dengan cara-cara yang lebih halus dan berkelanjutan. Oleh karena itu, selain membangun kesadaran berbangsa, Muhammadiyah melalui Suara Muhammadiyah secara tidak langsung melakukan proses dekolonisasi, yaitu membebaskan diri dari dominasi budaya kolonial dan membangun identitas literasi yang mandiri.

Tradisi literasi yang dibangun Muhammadiyah bukan hanya mencerdaskan bangsa, melainkan sebagai bentuk perlawanan moral dan intelektual terhadap penjajahan.

Edisi tahun 1922 dari Suara Muhammadiyah memuat tulisan tentang “Islam sebagai Agama Nalar.” Konten ini tidak hanya menyebarkan ide-ide kemajuan, tetapi menyajikan narasi tandingan terhadap wacana kolonial yang saat itu mendominasi.

Di tengah pandangan kolonial yang menganggap agama sebagai sekadar ibadah personal tanpa kaitan dengan misi pencerahan intelektual, artikel ini muncul sebagai suara berbeda, mengangkat Islam sebagai inspirasi bagi kemajuan peradaban.

Pada masa itu, definisi tentang agama dipengaruhi kuat oleh pemikiran Edward Burnett Tylor (1832-1917) dan James George Frazer (1854-1941), dua antropolog terkemuka, yang berpendapat bahwa agama berasal dari animisme atau kepercayaan pada arwah.

Agama bagi mereka merupakan kepercayaan terhadap hal-hal takhayul-magis yang samasekali tidak masuk akal. Mereka memprediksi bahwa seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia akan meninggalkan agama dan sepenuhnya beralih kepada sains.

Tidak jarang para penjajah menggunakan pemikiran Tylor dan Frazer sebagai justifikasi untuk melakukan pendudukan. Bagi mereka, penjajahan dilakukan untuk mendorong rakyat pribumi mengalami “kemajuan” dengan meninggalkan keyakinan tradisional dan beralih pada rasionalitas ala Barat.

Baca Juga:  Mengulik Sejarah Sisingaan, Kesenian Buhun dari Subang

Dalam pandangan kolonial, misi ini dianggap sebagai tanggung jawab moral untuk “membebaskan” bangsa-bangsa terjajah dari belenggu takhayul yang mereka anggap sebagai hambatan bagi perkembangan sosial dan intelektual.

Namun, Muhammadiyah melalui artikel “Islam sebagai Agama Nalar” justru menegaskan bahwa Islam, jauh dari prediksi Tylor dan Frazer, adalah sumber utama inspirasi kemajuan.

Berbeda dengan kolonial, bagi Muhammadiyah, Islam merupakan agama yang justru menunjunjung tinggi akal. Dalam konteks ini, perjuangan Muhammadiyah melalui Suara Muhammadiyah tidak terletak pada konfrontasi fisik melawan penjajah, melainkan pada upaya reformasi moral dan intelektual.

Sikap Muhammadiyah yang lebih memilih untuk tidak berkonfrontasi langsung dengan Belanda sering kali disalahpahami oleh beberapa kelompok pergerakan lainnya. Dari sudut pandang kolonial, Muhammadiyah tidak dianggap sebagai ancaman potensial terhadap rezim kolonial Belanda.

Bahkan, Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi resmi yang diakui oleh pemerintahan Belanda. Status ini jarang dimiliki oleh organisasi pergerakan pribumi pada masa itu.

Sebaliknya, dari sudut pandang para pejuang pribumi, sikap Muhammadiyah ini sering kali dicurigai. Mereka menuduh Muhammadiyah bekerja sama dengan rezim kolonial, terutama karena penggunaan aksesori Barat dalam kegiatan belajar mengajar dan berbagai aktivitas lainnya.

Bahkan KH Ahmad Dahlan pernah divonis kafir lantaran menggunakan alat-alat dari Barat. Makanya tidak sedikit yang menilai Muhammadiyah sebagai agen kolonial yang berjubah Islam modern.

Baca Juga:  Memahami Luar dan Dalam Berislam Secara Kafah

Namun, melalui majalah Suara Muhammadiyah, Persyarikatan Muhammadiyah membangun narasi baru yang berfokus pada peningkatan sumber daya manusia sebagai modal utama untuk bangkit dari ketertinggalan.

Muhammadiyah memahami bahwa kunci utama untuk mengubah nasib bangsa terletak pada kecerdasan dan kemampuan intelektual masyarakatnya.

Oleh karena itu, gerakan Muhammadiyah menitikberatkan pada pengembangan pendidikan dan literasi sebagai fondasi bagi kebangkitan nasional.

Gerakan literasi yang diusung Muhammadiyah menjadi senjata utama dalam upaya mendekolonisasi pemikiran, melawan hegemoni budaya kolonial, dan membangun kesadaran dalam berbangsa melalui bahasa.

Muhammadiyah berusaha menciptakan perubahan yang lebih mendasar dan berkelanjutan, jauh dari hiruk-pikuk konfrontasi fisik, namun dengan dampak yang tidak kalah signifikan.

Upaya di atas membuktikan bahwa dekolonisasi tidak selalu harus dilakukan melalui kekerasan, tetapi dapat juga melalui penguatan kapasitas intelektual dan moral yang pada akhirnya mampu mengguncang hebat fondasi dominasi kolonial dari dalam.

Referensi:

Roni Tabroni, “Peran Pers Ormas Islam dalam Penggunaan Bahasa Indonesia pada Masa Pra Kemerdekaan: Kajian atas “Suara Muhammadiyah”, dalam Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol 2, No 2, 2022, pp. 257-266.

Daniel L Pals, “Animism and Magic: E.B. Tylor and J. G. Frazer” dalam Ten Theories of Religion, Oxford: Oxford University Press, 2022.

Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016.

PMB Uhamka
buku