PMB Uhamka
Opini

Kedaulatan Negeri: Terbeli atau Dicuri?

×

Kedaulatan Negeri: Terbeli atau Dicuri?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

BANDUNGMU.COM — Kedaulatan negeri, terbeli atau dicuri? Disadari atau tidak, pengalaman rakyat pada pergantian presiden atau pemerintahan sudah menjadi tradisi.

Setiap pergantian kepemimpinan, selalu berganti kebijakan, baik itu kebijakan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamananan.

Dari sekian banyak kebijakan, salah satu yang membuat masyarakat sering kecewa dan marah yaitu kebijakan naiknya BBM, gas, dan sembako.

Semua sudah mafhum bahwa kondisi kedaulatan negara kita di bawah bayang-bayang negara adidaya dan negara maju lainnya.

Negara-negara tersebutlah yang memerankan permainan global saat ini.

Sementara Indonesia yang hanya sebatas negara pengekor pada bangsa lain, hampir semua aspek kedaulatannya nyaris tidak berdaulat.

Sehingga apa pun kehendak global, Indonesia selalu senantiasa mengikutinya.

Hal itu terjadi dan benar adanya karena kebutuhan pokok bangsa dan negara semua masih mengandalkan impor dari negara lain.

Begitupun pada setiap pergantian Presiden, kenaikan BBM selalu terjadi dengan alasan harga minyak dunia ada kenaikan.

Baca Juga:  Muhammadiyah dan Transformasi Islam Jawa Barat

Nilai tukar dolar

Ketika kita impor dari luar sudah pasti pakai dolar US. Sementara kita yang pakai rupiah wajib mengikuti nilai mata uang dan suku bunga kepada dolar.

Belum yang lainnya hampir semua jenis bahan-bahan produk yang diimpor sudah pasti mengikuti nilai tukar dolar.

Artinya posisi kedaulatan ekonomi kita secara kasatmata tidak merdeka dan dikendalikan oleh posisi dolar.

Konsekuensinya semua barang yang diperjualbelikan akan mengikuti suku bunga mata uang dunia.

Sangat wajar hutang bangsa dan negara Indonesia trennya naik dan tidak mungkin turun.

Solusinya ada dalam kebijakan negara yang didukung oleh kemampuan, keberanian, dan kemandirian pemegang kekuasaan secara kolektif.

Derita rakyat

Siapa pun pemimpin negeri ini, rakyat selalu menjadi sapi perahan semata.

Rakyat yang seharusnya menikmati hasil kemerdekaan, malah justru menderita yang tidak bertepi.

Baca Juga:  Hebat! Kasus Aktif COVID-19 Nakes di Jabar Turun Sejak Vaksinasi Berjalan

Sangat pilu ketika pemimpin berseru dan mengajak rakyat bersabar dan berperilaku sederhana, justru dirinya sendiri bergelimang harta dan foya-foya.

Bergelarnya karpet merah seharusnya untuk melayani rakyat, bukan memfasilitasi oligarki.

Rakyat Indonesia setiap hari berurai air mata, meratapi kekecewaan dan penyesalan yang menjadi kuli dan pembantu di negeri sendiri.

Janji manis di bibir hanya membuat rakyat meringis karena hati teriris.

Semboyan dan falsafah negara hanya menjadi tagline semata.

Padahal bila menjalankan semua isi dalam falsafah dengan baik dan benar, nantinya akan menjadi bangsa berdaulat yang sebenarnya.

Rakyat sudah terlalu jemu dan jengah pada para pemimpin negeri.

Fakta negeri ini

Faktanya, kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia hanya berpihak pada yang kuat.

Membeli hukum dan keadilan menjadi sesuatu hal yang lumrah.

Institusi Polri sebagai pengawal hukum pun porakporanda seketika.

Termasuk untuk mengakses pendidikan tinggi saat ini harus merogoh saku lebih dalam.

Baca Juga:  KPI: Migrasi TV Analog ke Digital Dorong Munculnya Pelaku Ekonomi Kreatif Baru

Apalagi orang biasa dan dhuafa sulit masuk program studi kedokteran karena selain seleksi ketat juga biayanya pun ratusan juta.

Saling mengingatkan

Dalam kondisi apa pun, kita harus tetap bertanggung jawab senantiasa memberikan kritik, koreksi, dan saran yang konstruktif.

Selain kewajiban mengingatkan kebaikan dan kebenaran satu sama lain, manusia harus memberi solusi konkret yang dapat dijalankan dengan lebih baik.

Sifat manusia faktanya banyak bertabrakan dengan nurani yang sebenarnya sehingga tidak sedikit orang menikmati kekacauan dan ketidakberesan.

Pelanggaran demi pelanggaran menjadi hal biasa dan lumrah karena yang penting memainkan peran di sana-sini aman (safety player).

Tidak peduli dampaknya jadi begini dan begitu, asalkan eksistensi dirinya tetap berjalan seperti biasa.

Padahal dalam ajaran Rasulullah SAW tentang kemanusiaan tidak boleh membenarkan mementingkan keselamatan diri sendiri dengan mengorbankan keselamatan banyak orang.

Apalagi berdampak pada kerusakan kelompok, komunitas, dan institusional.***

PMB Uhamka