Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum
Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
BANDUNGMU.COM –Datang dan pergi. Tiba dan Kembali. Lahir dan mati.
Biner opisisi ini seumpama menjadi hukum “baja sejarah” yang tak bisa ditampik. Keniscayaan kehidupan seakan menetapkan fakta yang tak bisa digugat bahwa “kepergian”, “Kembali”, dan “mati” adalah faktisitas yang pasti ditemui.
Tak ada yang sanggup mengelak. Tak satupun manusia yang bisa menghunus pedang untuk bertarung melawan dan merobohkan hukum kehidupan itu. Segera setelah manusia lahir, di lehernya seolah tergantung kalung keniscayaan yang menetapkan takdir dan “das umgreifende” (batas-batas yang melingkupi) kehidupannya.
Dengan itu, manusia seumpama berjalan dari titik yang satu untuk selesai dan mengakhiri misi kesejarahan dan petualangannya di titik berikutnya. “Pergi”, “kembali” dan “mati” itulah titik akhir itu.
Akhir Eksistensi Diri
Kematian mengakhiri seluruh eksistensi manusia, begitu menurut Heidegger. Kematian adalah zenit dari totalitas Ada manusia selaku Dasein, tetapi persis pada titik itu pula manusia selaku Dasein kehilangan Adanya. Suatu titik nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai “Ada-di-dalam-dunia”.
Simpulnya, kematian adalah momen yang paling otentik dan eksistensial bagi Dasein. Kematian adalah “Jemeinigkeit” (dalam segala hal milikku). Katanya Heideger, “begitu seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua untuk mati”. Manusia adalah “Ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode).
Dan hari-hari ini, mereka yang pergi, kembali dan mati begitu banyak jumlahnya. Mungkin saudara, orang tua, teman, kerabat, atau yang terkasih harus menjemput takdirnya yang pasti, mati.
“Akh, jangan terlalu dipikirkan! Semua orang pasti mati”, begitu kata teman saya. Lalu kembali dia sibuk dan fokus dengan gawai di tangannya. Teman saya benar, bahwa semua orang pasti mati, tapi menurut Heideger, inilah ciri-ciri “das Man”. Sosok manusia yang tenggelam dalam anggapan umum yang niscaya dan tak perlu mencemaskannya. Teman saya ini tidak hanya lupa akan Adanya, melainkan juga lupa akan kemungkinan ketiadaannya.
Kematian Otentik
Bagaimana mengkhidmati kematian secara otentik?
“Vorlaufen”, begitu kata Heideger. Arti kata ini adalah “lari ke depan”. Sederhananya, ia bisa kita artikan sebagai “antisipasi”. Mengantisipasi kematian terjadi ketika kita sedang diselimuti kabut krisis dan seolah kehilangan petunjuk untuk mengambil keputusan penting yang menentukan arah hidup.
Di titik ini, saya lalu ingat nasihat agama, “isy kariman au mut syahidan”. “Lari ke depan untuk mengantisipasi”, saya kira adalah “hidup mulia atau mati syahid”. Mungkin saja. Allahu a’lam