Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Menarik dicermati dan diamati, tinggal dua pekan lebih ke depan selebrasi demokrasi dalam ruang demokrasi keluarga besar Muhammadiyah Indonesia.
Perhelatan muktamar bagi ormas sebesar Muhammadiyah memiliki pengaruh besar terhadap dinamika kebangsaan di Indonesia, bahkan akan ada vibrasi ke belahan dunia.
Cukup banyak pihak yang mengagumi dan memuji gerak langkah Muhammmadiyah, baik hasil survei biasa maupun hasil penelitian ilmiah. Semua warga persyarikatan merasa senang dan bangga kala orang lain memuji Muhammadiyah sebagai rumah kita.
Suka tidak suka, alhamdulillah ungkapan rasa syukur dan terima kasih, semoga semua warga tidak terpedaya dengan pujian yang sangat mungkin menggelapkan mata.
Darah segar
Sedang viral hal ihwal terkait kepemimpinan pusat Muhammadiyah periode yang akan datang diisi oleh figur-figur berdarah segar.
Benar apa yang dikatakan Din Syamsuddin, melihat diksi yang digunakan sangat memantik dan cukup memprovokasi para pembaca dan pemerhati dinamika Muhamamdiyah yang paham apa yang terjadi saat ini.
Siapa pun figur yang ditawarkan, dengan banyak varian pilihan di kalangan muda dapat dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan dan kiriteria yang mendekati kepatutan dan kepantasan.
Geliat dinamika menjelang Muktamar ke-48 di Solo terlihat ramai. Menjadi perbincangkan di kalangan kader-kader melalui kopi darat maupun dunia maya dalam grup whatsapp dan yang lainnya.
Pun sama dengan viralnya flyer kabar muhammadiyah yang mengungkapkan “Muhammadiyah bukanlah terminal persinggahan terakhir. Jadilah Muhammadiyah sampai akhir hayat, tetapi jangan bercita-cita menjadi pimpinan Muhammadiyah hingga akhir hayat.”
Kalimat tersebut mungkin bagi yang tidak mengalami atau tidak merasa mengalami sebagai pimpinan itu biasa-biasa tanpa terpengaruh.
Namun, bagi pimpinan Muhammadiyah dari pusat, wilayah, daerah hingga cabang, ketika menjadi pimpinan berkali-kali, mungkin saja secara psikologis akan tersinggung dengan kalimat yang beredarnya flyer di grup whatsapp lingkungan persyarikatan tersebut.
Tidak sedikit yang merespons dengan ragam komentar. Di kalangan aktivis muda Muhammadiyah banyak komentar berharap benar-benar ada penyegaran kepemimpinan ke depan yang lebih muda dan dinamis.
Spirit bermuhammadiyah berharap tidak keropos ideologi. Hal itu penting untuk menghindari menjual idealisme harga diri secara terbuka dan terang-terangan.
Kondisi tersebut selain akan hilangnya marwah organisasi, juga akan menjadi virus keburukan turun-temurun. Secara sosiologis akan terwariskan kepada kader secara otomatis tanpa disadari.
Oleh karena itu, penting di berbagai level struktur organisasi untuk melakukan screening calon pimpinan lebih selektif. Bukan hanya karena dia kaya raya, dekat dengan kekuasaan negara, dan menebar janji apalagi merasa paling bermuhammadiyah.
Pada sisi lain harus diakui fakta hari ini tidak sedikit kondisi cabang dan ranting Muhammadiyah di wilayah dan daerah tertentu mengalami lost kaderisasi sehingga terjadi kemandekan eksialstensi berorganisasi.
Apakah hal tersebut karena ketidakmampaun pimpinan atau efek dari tidak terjadi regenerasi pimpinan secara cepat dari level pusat hingga daerah? Semoga menjadi agenda pembahasan serius di muktamar ini.
Kalimat penyataan mantan ketua umum terkait isu diperlukan darah segar kepemimpinan pusat Muhammadiyah periode ini harus benar-benar disikapi dengan serius dan bijak.
Di balik diksi yang digunakan ada makna yang mengingatkan kepada para peserta muktamirin untuk memilih dan mengangkat calon-calon yang mumpuni dan akseleratif-solutif dalam menghadapi tantangan kebangsaan nasional maupun dunia global.
Ketika muktamar tahun ini tidak mengalami penyegaran, sangat memungkinkan ke depan akan mengalami pelambatan. Sementara era digital memacu kehidupan dunia kian semakin cepat bak cepatnya sorotan sinar cahaya.
Ruh organisasi
Kritik demi kritik terus terlontar dengan bahasa lisan dan tulisan seperti “jangan bercita-cita menjadi pimpinan hingga akhir hayat”. Maknanya cukup serius karena apabila hal itu terjadi akan terjadi kematian regenerasi pimpinan dan akan berdampak pada hilangnya ruh organisasi persyariakatan yang kita cintai.
Sah-sah saja Muhammadiyah sebagai tempat singgah terakhir bagi anggota selama beramal dan memberikan solusi nyata, bukan hanya kata-kata, apalagi menjadi batu loncatan semata.
Bagi pimpinan yang menghendaki terus-menerus menduduki kursi pimpinan tidak mau gantian, sebaiknya segera memberikan kesempatan kepada yang lain untuk menguji kemampuannya memobilisasi amal nyata.
Kaderisasi sebenarnya tidak berhenti, hanya regenerasi pimpinan seolah terhenti, karena tidak sedikit anggota terus mengisi elit pleno pimpinan tanpa ada batasan.
Selama ini, organisasi memberikan aturan yang dibatasi hanya periode ketua umum tidak boleh lebih dari dua kali. Sementara anggota pimpinan tidak dibatasi.
Akhirnya ada beberapa anggota pimpinan terus menduduki kursi berkali-kali. Padahal, kader-kader menumpuk berharap untuk mendapat giliran menjadi pimpinan.
Itulah sedikit banyak perbincangan yang terdengar di kalangan para kader inti. Ini semua merupakan dinamika. Wallahu’alam.***