Oleh: Ace Somantri, Dosen UM Bandung
BANDUNGMU.COM, Bandung – Pada 114 tahun silam Muhammadiyah lahir dan berdiri di tengah keterpurukan dan keduafaan, baik duafa sosial, politik, dan ekonomi kesejahteraan.
Kondisinya sangat memprihatinkan sehingga hadirnya pelopor gerakan sosial KH Ahmad Dahlan bak obor dalam kegelapan malam. Pun sama kehadiran KH Hasyim Asy’ari memberikan harapan umat merdeka dari penindasan kolonialis.
Mereka adalah tokoh kunci gerakan Islam di tanah ibu pertiwi yang sudah berabad-abad ada dalam cengkeraman bangsa lain yang penuh dengan kelaliman dan penindasan. Jiwa dan raga pribumi tidak berarti bagi mereka bak hewan piaraan.
Dengan semangat jihad amar makruf nahi munkar kala itu telah menjadi momentum untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk penindasan apa pun. Gagasan dan ide mereka mampu menjelma dalam entitas sosial besar yang bertahan dan menyebar ke seantero belahan dunia. Jutaan umat manusia cerdas telah lahir dari rahim Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) menyebar ke berbagai pelosok negeri.
Muhammadiyah sebagai kakak kandung biologis sosial dari NU diakui atau tidak harus memberikan contoh hal baik-baik kepada adiknya. Apa pun alasannya Muhammadiyah lahir lebih dulu.
Mereka sudah punya pengalaman panjang dan banyak makan asam garam. Dua ormas ini sudah merasakan pahit manis menghadapi tantangan dan hambatan yang tidak terkira. Keduanya banyak mengorbankan jiwa dan raga. Tidak terhitung jumlahnya para syuhada yang meninggal dalam perjalanan jihad menegakkan kalimat tauhid.
NU merupakan ormas Islam yang terkenal sangat kuat kulturalnya. Mereka lebih mengayomi masyarakat muslim yang masih memiliki kekuatan budaya pribumi lokal. Entitasnya kental dengan tradisi sosial yang diwarisi nenek moyangnya.
Namun, hal yang paling penting entitas pesantren sebagai institusi keagamaan Islam telah memberikan warna pada paham keagamaan Islam sehingga lebih soft.
Mereka berkontribusi pada pembangunan manusia melalui pendidikan pesantren (islamic boarding) yang kuat dengan ideologisasi Islam di masyarakat secara terbuka tanpa sekat batas status sosial. Pesantren di bawah NU identik dengan sarungan yang itu ternyata menjadi ciri khas yang unik akan sebuah budaya lokal yang mentradisi.
Sementara itu, Muhammadiyah dengan trademark sekolah dan rumah sakit telah menjadi branded tersendiri. Bukan saja identik, melainkan satu kesatuan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Hal itu karena setiap institusi pendidikan dan kesehatan di bawah kendali dan pengawasan entitas besar persyarikatan Muhammadiyah.
Beda dengan adiknya, NU, rata-rata penyelenggaraan pendidikan dan pesantrennya ada di bawah entitas yayasan masing-masing. Lembaga itu ada di bawah kendali dan pengawasan para pengurusnya dan biasanya piguristik tokoh agama atau sang kiai. Kalau boleh diibaratkan, dalam perspektif bisnis dalam penyelenggaraan amal usaha di Muhammadiyah lebih dekat dengan holding company, sedangkan NU lebih dekat model franchise.
Perbedaan konsep pengembangan dakwah amar makruf nahi munkar karena fakta sosial terindikasi ada gap yang cukup jauh para elite pimpinan ornas Islam dengan warganya. Hal itu terlihat secara kasatmata pada posisi status sosial yang jomplang. Rata-rata elite pimpinan kedua ormas Islam tersebut secara material termasuk golongan kelompok masyarakat aghniya.
Wajar saja jikalau momentum permusyawaratan regenerasi pimpinan ada indikasi terjadi keriuhan saling bersaing untuk duduk di kursi elite puncuk pimpinan organisasi.
Kesejahteraan ekonomi
Kesejahteraan ekonomi ormas Islam terbesar tersebut bisa dilihat dari pendekatan manajemen aset. Antara Muhammadiyah dan NU banyak mana? Jawabanya pasti Muhammadiyah lebih banyak karena seluruh aset adalah milik entitas Muhammadiyah.
Sementara itu, di NU lebih sedikit karena asetnya rata-rata milik para tokoh kiai atau ustadz yang dikendalikan oleh beberapa orang seminimal mungkin. Oleh karena itu, pesantren yang mengklaim bagian dari NU yang tersebar di berbagai daerah relatif dipastikan asetnya bukan milik organisasi.
Jauh lebih sulit NU daripada Muhammadiyah ketika bicara lebih spesifik tentang kesejahteraan karena pesantren yang berafiliasi ke NU rata-rata milik entitas-entitas yayasan pribadi. Muhammadiyah harapan dan peluangnya lebih besar untuk bicara kesejahteraan karena Muhammadiyah dapat mengendalikan seluruh asetnya. Termasuk pola kepemimpinan, NU lebih sentralistik dan figuristik tokoh yang berdampak pada kekuatan personal segala kebijakanya.
Namun, Muhammadiyah dengan pola kolektif kolegial mengurangi pola dominasi personal. Oleh karena itu, kesejahteraan tetap menjadi tujuan utama di dunia bagi orang dewasa untuk bersepakat untuk adanya peningkatan pada kesejahteraan warga dan masyarakat.
Mereka adalah ormas Islam terbesar. Yakin dan sangat penuh harap melalui gerakan sosial, politik, ekonomi, dan gerakan lainnya mampu memberikan kontribusi nyata.
Kesejahteraan akan meningkatkan dan memperbaiki kualitas keturunan karena regenerasi biologis makhluk hidup ada pada kualitas kesejahteraannya. Saatnya turun gunung memberikan advokasi untuk peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Masih banyak warga kedua ormas ini yang masih hidup di bawah garis kemiskinan atau duafa segala hal.
Insyaallah dan yakin Muhammadiyah dan NU memiliki treatment yang jitu dan akurat untuk menggerakan, memperbarui, mencerahkan, dan memberdayakan. Amin. Wallahu ‘alam.***