Oleh: Ace Somantri — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Saat ini sedang viral banyak beredar berbagai tulisan tentang memoriam Buya Syafii Maarif.
Kata kunci semua konten atau tulisan yang tersebar di berbagai media masa, termasuk di media sosial, yakni soal kesederhanaan sang guru bangsa.
Berbagai kalangan, bukan hanya komunitas warga Muhammadiyah, melainkan komunitas lain di luar Muhammadiyah pun banyak yang mengakui dan menyatakan hal sama tentang sosok tokoh bangsa yang sangat sederhana ini. Bahkan dalam terminologi ilmu akhlak tasawuf, bisa dikatakan Buya Syafii Maarif adalah cendekiawan muslim yang wara.
Cermin kehidupan Buya Syafii Maarif seakan-akan menjadi oase dalam keringnya nilai teladan dari para tokoh agama ataupun tokoh bangsa saat ini.
Tulisan demi tulisan yang viral di media sosial terkait laku Buya Syafii Maarif selama hidupnya menjadi gerimis sekaligus hujan yang memberikan kesejukan.
Semua itu sejatinya untuk mengingatkan kita semua bahwa sikap dan perilaku orisinal tokoh Muhammadiyah itu adalah sebuah keadaban dan kesantunan bak mutiara yang saat ini mulai langka.
Bukan sikap dan perilaku yang dibuat-buat atau direkayasa dengan kata-kata yang bertujuan agar dianggap orang baik dan saleh. Buya Syafii Maarif menjadi dirinya sendiri dengan berpikir dan berpendapat bebas–bertanggung jawab–manakala ada persoalan bangsa yang patut dibela.
Kita tidak tahu pasti apakah akan ada lagi atau tidak tokoh Muhammadiyah yang menjadi teladan umat dan bangsa seperti KH AR Fachrudin dan Buya Syafii Maarif.
Secara faktual cukup sulit mencari sosok seperti mereka. Di dunia fana ini terlalu gemerlap oleh hawa nafsu duniawi yang kebablasan. Penghargaan atas manusia seakan-akan hanya berdasarkan status sosial dan harta.
Diakui atau tidak ada fakta sosial yang terlihat dengan kasatmata, terdengar oleh telinga, juga dapat dirasakan oleh jiwa dan raga, fakta tersebut susah dibantah.
Di kampung maupun di kota, tidak jauh beda, termasuk di tempat tinggal kita sendiri. Kita saling menghargai dan menghormati secara berlebihan hanya kepada mereka yang berharta dan bertahta.
Siapa pun mereka, saat status sosial dan hartanya di bawah rata-rata, seakan-akan tidak dianggap apa-apa. Mereka dianggap warga masyarakat papa dan duafa yang kadang-kadang sering dilihat hanya sebelah mata.
Fenomena di atas bukan hanya dalam kalimat dan kata, melainkan fakta nyata dalam kehidupan masyarakat, baik di desa maupun di kota.
Sangat mungkin bagi mereka ketika tidak mengalami papa dan tidak menjadi duafa, sikap dan perilaku tidak saling menghormati dan menghargai merupakan hal biasa.
Hal tersebut terjadi karena perilaku itu sudah terbentuk cukup lama dalam pola individualis dan egois. Mereka tidak saling menolong dan bergotong-royong di antara sesama hanya karena berbeda.
Teringat di kampung halaman ketika ada obrolan ringan dalam kehidupan di kampung bahwa orang yang selalu dihargai dan dihormati penuh dengan kata-kata sanjungan dan pujian dengan gestur tubuh menunduk sebagai bentuk menghormati dan menghamba pada tuan-tuan yang duduk di singgasana.
Fakta dan realitasnya memang manusia sebagai makhluk yang beradab, kadang-kadang pada waktu-waktu tertentu kehilangan keadaban.
Konsekuensinya akan terbentuk sebuah karakter masyarakat yang berlomba-lomba mendapatkan harta dan tahta dengan berharap dapat jatah kekuasaan, minimal menjadi mediator dan kontraktor dari kebijakan pusat dan daerah.
Sudah menjadi konsensus sosial dalam peraturan jalanan, setiap orang yang berharta dan bertahta cenderung dihormati, terlepas dari mana itu harta dan dengan cara apa tahta didapat, yang penting tidak dicap orang papa dan duafa.
Sikap arif dan kesederhanaan Buya Syafii Maarif semoga tidak hanya viral menghiasi dinding media masa dan media sosial. Namun, mengetuk hati para tokoh yang masih banyak berharap untuk mencari harta dan mendapatkan tahta dengan cara dan siasat yang banyak mudarat tidak banyak manfaat.
Di usia senja, sejatinya para pemegang kuasa di bidang agama atau bidang apa pun, jadi tokoh di balik layar yang memberikan spirit dan motivasi kepada para generasi penerus.
Kesederhanaan Buya Syafii Maarif semoga menjadi oase di tengah keringnya teladan para tokoh agama dan bangsa yang tidak berhenti seperti meneguk air segar ketika haus dahaga.
Keteladanan yang diperlihatkan semestinya menjadi panutan yang utama, bukan bumbu-bumbu kepentingan sesaat dengan cara menjual ayat dan umat atau menjual atas nama rakyat.
Terlihat dengan jelas bahwa jutaan masyarakat Indonesia butuh teladan-teladan pemimpin yang sederhana, jujur, dan adil. Masyarakat terlalu banyak diberi laku elite yang menampilkan pencitraan yang penuh rekayasa.***