PMB Uhamka
Opini

Masih Percayakah dengan Hasil Pemilu?

×

Masih Percayakah dengan Hasil Pemilu?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung

BANDUNGMU.COM — Perjalanan panjang bangsa Indonesia membangun negeri sebelum merdeka sah dan legitimate, bangsa ini sudah cukup lama mengalami tekanan fisik maupun psikologis.

Kala itu keberhargaan nyawa manusia sangat tidak bernilai, bahkan sangat tidak berharga seperti hewan yang tidak ada manfaatnya. Nyawa seseorang tak ubahnya seperti hewan liar. Kapan saja berbuat sesatu ketika merasa yang paling kuat berkeinginan menerkam lawannya dia terkam hingga tewas tanpa belas kasihan.

Pembunuhan dan pembantaian manusia pada manusia lainnya bagian dari luka sejarah manusia di Nusantara. Bahkan di berbagai bangsa di belahan dunia.

Oleh karena itu, terkenal dalam kamus berjalan bahwa itu hukum rimba. Term ini memberi penjelasan bahwa dalam sebuah kelompok manusia akan saling menguasai satu dengan yang lainnya berujung saling menunjukkan kekuatannya dan berakhir menjadi berkuasa itulah yang menang dan paling kuat.

Hal itu diilustrasikan dalam kehidupan hewan di hutan belantara nan rimba. Di sana ada salah satu hewan yang mampu menguasai hewan-hewan lainnya sehingga hewan tersebut menjadi raja rimba.

Sejak awal berdirinya bangsa dan negara Indonesia, Soekarno didaulat oleh sekelompok orang untuk menjadi pemimpin kala itu sebagai presiden dan wakilnya yakni Mochamad Hatta tanpa melalui pemilihan umum.

Baca Juga:  Konten Hoaks dan Rendahnya Literasi

Selanjutnya pemilihan umum diselenggrakan menjadi bagian dari sistem demokrasi dalam proses kepemimpinan sebuah bangsa dan negara yang diakui oleh dunia.

Proses kepemimpinan di Indonesia sejak pemilu pertama sudah terjadi manuver dan friksi tidak sehat, walaupun dalam term politik kebangsaan hal itu dianggap wajar.

Namun, apabila ditelaah dengan keilmuan yang utuh dan sebenarnya, dalam sistem tersebut seharusnya tidak mesti terjadi friksi dan manuver tidak sehat untuk memilih dan mengangkat seorang pemimpin.

Karena pada dasarnya kepemimpinan menjadi tuntutan dalam sebuah komunitas manusia termasuk sebuah bangsa dan negara. Objektivitas orang dalam kejujuran terhadap nurani menentukan pemimpin akan memilih dan mengangkat pemimpin yang tepat.

Fakta sosial, tidak bisa dimungkiri proses kepemimpinan selalu ada priksi dan intrik yang membuat suasana proses kepemimpinan tak ubahnya politik hukum rimba: siapa yang paling kuat dia akan dapat.

Sama halnya di Indonesia dan belahan dunia lainnya, pemilihan dan pengangkatan pemimpin sangat penuh dengan manuver, friksi dan intrik bahkan klenik perdukunan pun menjadi hiasan proses kepemimpinan negeri.

Hal yang lebih mengerikan lagi yakni sudah menjadi medan peperangan kepentingan materi. Bahkan tidak menutup kemungkinan sistem pemilu demokrasi dari awal kelemahannya tidak pernah ditutupi.

Malah justru dijadikan kesempatan masuk pada celah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan materi sesaat dan berakhir menyesatkan. Dalam waktu yang lama hal itu tanpa disadari lambat laun melahirkan oligarki.

Baca Juga:  Aksi Menuntut Presiden Sadar Diri

Sejak awal Indonesia berdiri, para pahlawan kemerdekaan yang masih hidup terjebak euforia. Dikira kekalahan imprealis dan kolonialis Belanda dalam perang terbuka menjadi titik akhir perang penjajahan. Padahal, nafsu manusia hakikatnya tidak akan berhenti untuk mengikuti hawa nafsu emosi.

Kala itu ada yang lupa, VOC sebagai simbol ekonomi kapitalis sebelum Indonesia merdeka sudah membangun karakter ekonomi politik berbasis liberal-kapitalis menyebar bak virus mengganas dan mengerikan.

Ketika sistem VOC tanpa sadari juga telah menjadi sebuah ideologi ekonomi kesejahteraan bangsa Indonesia. Walaupun gagasan dan cita-cita bangsa, filosofis platformnya yaitu ekonomi Pancasila, tetapi faktanya hanya kemasan semata.

Sekali lagi pemilihan umum dari waktu ke waktu hanya memenuhi syarat legitimasi pemilihan dan pengangkatan pemimpin Indonesia, baik eksekutif maupun legislatif.

Produk-produk politik berwujud regulasi hampir boleh dikatakan semuanya sulit untuk diakses rakyat. Selain itu, regulasi juga banyak tidak dipahami oleh rakyat Indonesia.

Lagi-lagi hal itu menjadi sebuah kesempatan para eksekutor dan legislator memanfaatkan kelemahan tersebut untuk merekayasa bagaimana terus-menerus memiliki jabatan hingga akhir hayat.

Bahkan mengumpulkan pundi-pundi untuk generasi keturunannya. Mereka selalu berdalih dan berkata apa yang mereka lakukan itu semata-mata atas nama rakyat sehingga terus mengelabui seolah-olah tidak ada yang mengerti.

Baca Juga:  Pesan Guru, Titah Tuhan, dan Wabah Covid-19

Yakin benar bahwa mustahil Tuhan Sang Pemilik alam semesta tuli dan buta. Pasti sedetik pun perbuatan kita semua terekam dalam catatan malaikat pencatat kebaikan dan keburukan.

Masih percayakah pada hasil pemilihan umum? Apabila eksekutor dan legislatornya bermartabat memiliki karakter amanah, setiap produk dan hasil kerja politiknya akan mampu mensejahterakan rakyatnya hingga menjadi bangsa dan negara sejahtera (walfare state).

Dari waktu ke waktu, pemilihan umum berjalan dengan sesuka hati. Para penggerak negeri hanya menjadi dolanan politik penuh intrik. Regulasi produk politik dari hari ke hari berganti kursi, tetapi rakyat tetap tidak membuat negara dan bangsa mandiri.

Sejak awal Indonesia merdeka berhutang pada negara lain yang pada dasarnya hal itu menjadi penjajahan tanpa disadari. Keterikatan pinjaman luar negeri telah memporakporandakan ibu pertiwi.

Lahan dan sumber daya alam sudah diperjualbelikan secara sistem ijon sebagai penjajahan ekonomi yang hampir mustahil diusir dari negeri ini.

Justru hari ini momentum pemilu hanya menjadi area bazar bak kasino di Lasvegas saling bertransaksi di antara para oligarki untuk mengundi adu ketangkasan berusaha menjadi pemenang.

Semoga bangsa ini segera sadar diri untuk bangkit melawan tirani atas dasar pemilihan umum. Suka tidak suka hanya sistem ini yang konstitusional.***

PMB Uhamka