UMBandung
Opini

Menggagas dan Mewujudkan Kalender Hijriah Dunia

×

Menggagas dan Mewujudkan Kalender Hijriah Dunia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri*

BANDUNGMU.COM — Dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, sains, dan seni akan terus berlangsung. Seiring berjalannya waktu, dari masa ke masa, saat siang dan malam berganti serta pagi dan sore datang.

Meskipun waktu terus berputar pada sumbunya, yang mengalami perubahan adalah fenomena alam yang dipengaruhi oleh perilaku, tindakan, dan karya manusia itu sendiri.

Alam semesta, dalam keberadaannya yang asli sejak awal penciptaannya hingga saat ini, tidak mengalami perubahan mendasar, seperti arah mata angin, cahaya matahari pagi hingga sore, dan sinar bulan dari awal malam hingga akhir malam (fajar shodiq).

Ada perbedaan saat manusia memandang dengan mata dan saat mereka mengolah dengan pikiran. Ternyata, gerak laju benda langit di langit memberikan petunjuk pada ilmu pengetahuan.

Inspirasi dan pengetahuan muncul dari teks-teks Al-Quran serta fenomena alam kontekstual. Saat zaman Nabi Adam alaihi salam, tidak ada catatan sejarah yang merinci praktik perhitungan waktu.

Saat manusia menghitung waktu dari masa ke masa, ada yang menyebut periode kenabian Nabi Isa alaihi salam yang dikenal sebagai tahun Masehi (mohon maaf jika ada kesalahan). Diyakini bahwa perhitungan waktu sejak zaman Nabi Adam alaihi salam secara prinsip telah dilakukan.

Namun, belum ada catatan tertulis mengenainya, mungkin karena belum ada sistem tulisan yang mapan. Meski begitu, menurut penelitian sejarah pada zaman peradaban Sumeria, terdapat kalender yang telah ada dan diakui secara luas oleh umat manusia di dunia.

Ketika tahun Masehi dimulai, sistem perhitungan waktu berdasarkan fenomena Matahari menjadi dasar bagi perkembangan ilmu astronomi dalam pembuatan kalender dunia. Namun, dalam prakteknya, terdapat tanggapan dari berbagai kalangan manusia.

Proses pengakuan dan legitimasi kalender tersebut membutuhkan waktu yang panjang dan dinamis, ditandai dengan pergantian sistem kalender berdasarkan komunitas atau entitas kebangsaan. Contohnya adalah kalender Yunani kuno, kalender Yahudi, kalender Romawi, kalender Julian, dan Kalender Gregorius yang juga dikenal sebagai Kalender Masehi.

Demikianlah sekilas tentang sejarah kalender di dunia sebelum diperkenalkannya kalender hijriah dalam Islam. Pada masa kenabian Muhammad SAW, tahun pertama sejak hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah menjadi titik awal sistem penghitungan kalender hijriah Islam yang digunakan umat muslim di seluruh dunia.

Praktik penghitungan tersebut bervariasi di negara-negara muslim karena perbedaan metode dan pendekatan falakiah. Hal tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat muslim Indonesia.

Baca Juga:  Revolusi Hijau: Menuju Kedaulatan Pangan (1)

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi masyarakat Islam yang secara independen menetapkan penanggalan kalender hijriah. Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Agama RI, pada praktiknya menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda dengan Muhammadiyah.

Akibatnya, terkadang terjadi perbedaan jumlah hari dalam satu bulan pada waktu-waktu tertentu, terutama saat transisi dari bulan Syakban ke bulan Ramadan, dan dari bulan Ramadan ke bulan Syawal. Dampaknya secara sosial sangat terasa saat memulai puasa Ramadan dan juga dalam merayakan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Seiring perjalanannya dalam sejarah, Muhammadiyah telah mengalami beberapa fase dalam penentuan penanggalan kalender. Pertama, fase menggunakan hisab hakiki; kedua, fase menggunakan imkanu rukyat; dan ketiga, fase menggunakan wujudul hilal sebagai titik tengah antara dua fase sebelumnya.

Kemudian, pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, tajdid menjadi dasar untuk proses ijtihad mengenai dinamika penanggalan kalender hijriah, yang masih menimbulkan permasalahan di masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Hal ini sering memunculkan pertanyaan-pertanyaan dari publik, “mengapa Muhammadiyah selalu berbeda dengan pemerintah?”

Ijtihad astronomis

Dengan mengucapkan bismillah tawakaltu, pada Muktamar ke-48 di Surakarta, terdapat penegasan kembali mengenai Kalender Hijriah Global Tunggal dalam konteks kemajuan Islam.

Hal ini dicatat dengan poin-poin penting sebagai berikut: Pertama, memperbaiki sistem waktu Islam. Kedua, mengadopsi kalender Islam global yang bersifat unifikasi. Ketiga, menyatukan hari ibadah Islam, terutama ibadah yang lintas wilayah.

Poin-poin penting tersebut diwujudkan melalui semangat muhammadiyah dengan mempertimbangkan segala konsekuensi dan risikonya. Termasuk dalam perubahan dinamika ijtihad astronomis yang bertujuan untuk menyatukan umat (ummah wahidah).

Setelah melalui berbagai pertimbangan ilmu pengetahuan, sosiologis, dan global secara politik untuk kepentingan persatuan umat Islam di seluruh dunia, Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) diusulkan sebagai solusi praktis.

Hal ini menjadi dasar untuk memfasilitasi umat Islam di seluruh dunia, termasuk warga Muhammadiyah, dalam menjalankan ibadah sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Ini mencakup ibadah ta’abudi secara vertikal, seperti salat, puasa, ibadah haji, dan ibadah-ibadah lainnya.

KHGT yang kini disosialisasikan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah merupakan fase keempat setelah wujudul hilal. Fase ini merupakan perluasan dari konsep sebelumnya, meskipun narasi dan alasan yang digunakan masih menggunakan istilah imkanu rukyat dan transfer imkanu rukyat.

Baca Juga:  Pemuda dan Politik: Suara Mereka, Masa Depan Kita!

Bagi para mubalig atau dai Muhammadiyah yang langsung berinteraksi dengan jamaah di tingkat daerah, cabang, dan ranting, hal ini dapat menimbulkan beban psikologis. Sebab, ada kesan bahwa Muhammadiyah tidak konsisten dalam menerapkan wujudul hilal.

Sebagai organisasi tajdid, Muhammadiyah harus benar-benar mampu merasionalkan ijtihad kalender hijriah dengan argumentasi akademis yang kuat, baik dari pendekatan syari’ah falakiyah maupun saintifik astronomis.

Tantangan mubalig

Para mubalig dan aktivis Muhammadiyah yang ditugaskan oleh pimpinan harus mampu menyampaikan konsep ilmiah dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh jamaah. Selama ini, bahkan pemahaman terhadap metode dan pendekatan wujudul hilal masih belum sepenuhnya dipahami, dan menjelaskannya kepada jamaah seringkali memakan waktu dan tenaga.

Ada kemungkinan besar bahwa jamaah di luar Muhammadiyah menilai pemahaman terhadap konsep KHGT sebagai bentuk ketidak konsistenan dalam penanggalan kalender hijriah Muhammadiyah. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menjelaskan metode syariat dan ilmiah modern, baik dari segi matematis, geografis, maupun astronomis.

Perlu dipahami dengan jujur bahwa menyatukan ilmu keislaman yang kuat dengan pengetahuan fenomena alam semesta merupakan transformasi yang melibatkan materi yang nyata.

Secara faktual, umat Islam saat ini umumnya masih bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi Barat atau Eropa. Meskipun telah ada usaha untuk menggabungkan ilmu-ilmu tersebut, sering kali disebut sebagai sekularisasi ilmu keislaman.

Tantangan ini masih belum terjawab hingga saat ini karena keterbatasan sumber daya manusia dalam kalangan ilmuwan muslim kontemporer, terutama di bidang sains dan teknologi. Bahkan jika ada, sering kali kebebasan untuk mengeksplorasi ilmu tersebut terbatas, bahkan di Indonesia terdapat indikasi pembatasan yang menyebabkan kemacetan dalam berkarya.

Kembali ke pembahasan mengenai kalender hijriah, KHGT pertama kali diusulkan beberapa puluh tahun yang lalu oleh ilmuwan Mesir dengan tujuan untuk meningkatkan persatuan umat. Usulan ini kemudian direspons oleh para ahli falak dan hisab yang ikut serta dalam forum ilmiah, terutama dari kalangan Muhammadiyah.

Kajian mengenai kalender hijriah terus diperdalam sesuai dengan kebutuhan umat. Berbagai metode dan pendekatan digunakan oleh pembuat kalender, baik yang diakui secara umum oleh pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat Islam.

Baca Juga:  UM Bandung Optimis Dengan Prodi Baru, Siap Berikan Dampak Nyata Bagi Masyarakat Luas

Yakni organisasi yang memiliki kemandirian dalam menetapkan kalender Islam untuk keperluan ibadah atau kepentingan lain yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan dan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks kebangsaan.

Bukan hal baru

Bagi Muhammadiyah, urusan kalender hijriah bukanlah hal baru, melainkan telah menjadi bagian dari portofolio panjang dalam menetapkan tanggal dan waktu. Ini termasuk menentukan awal bulan dan jadwal ibadah yang didasarkan pada fenomena alam semesta dan objek-objek langit, seperti waktu shalat yang dihitung hingga detik dan menit.

Bahkan, penentuan waktu berdasarkan fenomena alam juga mempertimbangkan luas dan volume yang terlibat. Meskipun terdapat independensi keilmuan yang kokoh, rumusan dalam kalender hijriah selalu mempertimbangkan kompromi.

Harapannya adalah bahwa kesepakatan ilmiah ini dapat dijadikan acuan oleh umat muslim di seluruh dunia sehingga mereka memiliki data aktual mengenai warisan intelektual Islam.

Dalam dunia ini, terdapat kecenderungan untuk berpihak pada salah satu pihak dalam konteks keilmuan, baik itu individu maupun entitas sosial, ketika mereka memiliki keberanian dalam menghasilkan karya ilmiah.

Oleh karena itu, penting untuk mendukung karya keilmuan tersebut dengan sikap yang jelas dan tegas dalam mempertahankan prinsip-prinsipnya. Sosialisasi tentang KHGT yang sedang berlangsung saat ini memberikan argumentasi ilmiah, baik dari sudut pandang syariat maupun saintifik, kepada perwakilan warga Muhammadiyah.

Karakter tajdid

Semangat tajdid dan momen berijtihad dalam ranah akademis di Majelis Ulama Muhammadiyah seharusnya lebih dinamis. Debat ide dan gagasan yang didukung oleh argumentasi keilmuan seharusnya menjadi pusat perhatian dalam seminar, bukan hanya mendengarkan dan diam tanpa banyak berkontribusi dalam wacana kontemporer.

Solusi KHGT tidak hanya mengikuti gagasan orang lain karena momentum berkumpulnya pakar falak atau astronom muslim di seluruh dunia. Namun, juga karena sikap yang kuat dalam ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan.

Naskah akademik mengenai keputusan baru penggunaan sistem kalender hijriah Muhammadiyah harus disertai dengan panduan praktis KHGT yang sistematis, argumentatif, sederhana, dan praktis.

Konsistensi kalender hijriah Muhammadiyah tidak hanya terletak pada metode dan pendekatan. Namun, juga lebih pada tujuan dan makna yang mendalam di balik perubahan yang terjadi. Konsistensi Muhammadiyah tercermin dalam karakter tajdid. Wallahu’alam.

*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar

PMB Uhamka