Oleh: Ilham Ibrahim
Kita tahu bahwa istilah takwa merupakan salah satu konsep kunci dalam Al Quran di samping iman dan Islam. Tidak kurang 242 kali konsep itu dalam berbagai bentuk dapat dilacak dalam Kitab Suci ini. Dengan demikian fungsinya sangat sentral.
Berasal dari akar kata w-q-y, istilah takwa mengandung makna “menjaga diri” dari kehancuran moral dan dari kemarahan Allah. Takwa juga dapat dimaknai dengan memiliki kesadaran yang mendalam dan otentik bahwa Allah selalu mengawasi kita sepanjang waktu. Kehadiran Allah dalam setiap laku aktivitas manusia mengandung implikasi agar mereka berjalan di atas rel yang benar dan lurus. Inilah takwa dalam makna yang sebenarnya dalam perspektif spiritual.
Karena itu, takwa bukanlah tujuan melainkan perjalanan. Selama jantung berdetak, takwa merupakan jalan kehidupan spiritual yang tak memiliki ujung. Artinya, takwa bukanlah rasa takut kepada Allah melainkan rasa rindu kepada sang Khalik. Ketika takwa itu dimaknai sebagai rasa takut, seseorang akan menjauhkan diri dari yang ditakuti.
Kalau takwa diartikan sebagai rasa rindu, kita akan senantiasa mendekat kepada-Nya. Sekiranya dalam perjalanan hidup seorang muslim tak memiliki rasa rindu yang menggebu kepada Allah, artinya kualitas iman belum beranjak jauh. Namun jika suatu kondisi pikiran dan jiwa seorang mukmin merasakan kehadiran Allah di mana saja dia berada, bagi Buya Syafii, inilah hakikat sesungguhnya dalam perjalanan takwa.
Namun, takwa mesti pula dibaca dalam konteks sosial berupa tegaknya keadilan untuk semua golongan karena bersikap adil itu dalam istilah Al Quran ”aqrabu li al-taqwa”, lebih dekat kepada takwa.
Menurut Buya, berlaku adil terhadap orang yang kita benci jelas tak mudah, tetapi justru di sini letaknya agar ego manusia itu harus ditundukkan kepada perintah Allah. Jangan dibiarkan kepentingan ego itu menjadi ukuran untuk tak bersikap adil. Jeritan terhadap tegaknya keadilan merupakan tuntutan abadi seluruh umat manusia apa pun agamanya di mana pun mereka berada. Maka, doktrin tauhid (mengesakan Allah) pasti menuntut tegaknya keadilan di Bumi.
Indikator Takwa
Indikator seseorang sedang dalam perjalanan takwa menurut Buya terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 133-136, yaitu: pertama, orang yang memberikan infaq disaat lapang dan sempit; kedua, orang-orang yang mampu mengendalikan amarah dan bersedia dengan tulus memaafkan orang lain; ketiga, mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan; dan keempat, orang yang selalu memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa-dosanya.
Kalau disimak secara baik-baik, rasanya saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Keadaan dompet saya yang memang selalu sempit menjadi satu paket alasan untuk tidak berinfak. Saya juga sulit mengontrol amarah bahkan kadang memaki-maki seseorang di sosial media ketika terlibat dalam duel twitwar. Bahkan dalam hati kadang ada rasa benci pada seseorang yang selalu berbuat baik. Dosa saya juga menumpuk tapi doa pengampunan kepada Allah hanya asal bicara tanpa selalu disertai hati yang khusyu’, bening, dan rindu.
Tulisan ini dalam rangka upaya mengkritik diri pribadi sejujur-jujurnya. Setelah membaca uraian Buya Saya merasa perjalanan takwa saya belum beranjak jauh atau mungkin tak bergerak kemana-mana. Padahal usia telah menginjak 26 tahun, artinya telah puluhan kali saya melaksanakan ibadah puasa. Pada akhirnya saya merasakan benar bahwa untuk menjadi manusia yang bertakwa, perlu pergumulan spiritual yang terus menerus tanpa henti.
Duh, Gustiii.