BANDUNGMU.COM — Jika Buya Dr Mohammad Natsir itu tokoh nasional yang sangat cemerlang, maka siapa gerangan gurunya? Tentu, ini pertanyaan yang wajar sebab guru adalah faktor sangat penting dalam menunjang kesuksesan (pendidikan) seseorang.
Memang, guru yang baik berpeluang sangat besar dalam melahirkan murid-murid yang baik pula. Dalam kalimat lain, murid yang baik akan lahir dari guru-guru yang baik pula. Tentang hal ini, sejarah punya catatan tak terbantahkan.
Oleh karena itu, sangat menarik jika kita ajukan pertanyaan: siapa guru-guru Natsir? Atas hal ini, Natsir sendiri menyebut, yang paling menonjol ada tiga.
Pertama, A. Hassan (1887-1958), “Guru Persis, Tajam Menulis dan Fasih Berdebat”. Kedua, Agus Salim (1884-1954), “Guru Banyak Aktivis Pergerakan Nasional Berjuluk The Grand Old Man”. Ketiga, Ahmad Surkati (1875-1943), “Pendiri Al-Irsyad dan Guru dari Banyak Tokoh Nasional”.
Sang Murid Teladan
Mohammad Natsir (1908-1993), dalam posisi sebagai murid, bisa menjadi teladan. Hasil didikan guru-gurunya, berhasil dijadikan modal oleh Natsir dalam meraih capaian prestasi yang tak hanya berskala nasional tapi juga internasional.
Tak terbantahkan, Natsir adalah tokoh Islam terkemuka, di dalam negeri dan di dunia Islam. Pada dirinya, melekat berbagai predikat antara lain ulama, pejuang kemerdekaan, dan negarawan. Natsir juga dikenal sebagai pendidik, intelektual, dan pemikir.
Biografi tentang Natsir, telah ditulis dalam sejumlah buku. Salah satunya, berjudul Biografi Mohammad Natsir; Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan. Tebal buku karya Lukman Hakiem itu xxxix + 656 halaman. Ukuran bukunya, besar, 16X25 Cm.
Berikut ini, sekadar menyebut jejak fenomenal sang Pahlawan Nasional. Natsir pendiri dan pemimpin partai politik Islam Masyumi. Sebagai anggota parlemen ketika itu, pada 3 April 1950, Natsir mencetuskan Mosi Integral. Dengan tindakannya itu, Indonesia selamat dan tetap menjadi Negara Kesatuan setelah sebelumnya terancam perpecahan. Tak salah jika ada yang menyebut Natsir sebagai Bapak NKRI.
Natsir menjadi menteri di sejumlah kabinet. Bahkan, Natsir tercatat sebagai Perdana Menteri RI pertama, 1950-1951.
Di kemudian hari, setelah Masyumi memilih membubarkan diri akibat tekanan rezim Orde Lama, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 26 Februari 1967. Sampai saat tulisan ini dibuat, 2022, DDII masih terus berkontribusi bagi dakwah dan pendidikan di Indonesia.
Atas jasa-jasanya, Natsir menerima banyak penghargaan, dari dalam dan luar negeri. Di antara penghargaan itu adalah penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Penghargaan itu wajar diterima lelaki yang lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Solok Sumatera Barat dan wafat pada 5 Februari 1993 di Jakarta itu.
Hassan sang Pendidik
Di antara tiga ulama yang sangat mempengaruhi pemikiran dan sikap Natsir, terutama di bidang keagamaan, adalah Ahmad Hassan atau sering ditulis A. Hassan. Dia seorang ulama besar yang berkepribadian tinggi.
Dia lahir pada 1887 di Singapura. Kemudian bermukim di Surabaya. Dari Surabaya A. Hassan pindah ke Bandung. Di Bandung, dia mengajarkan agama. Dia tidak mengajar secara formal di sekolah, tapi di mushalla di rumahya.
Apa yang diajarkan A. Hassan menarik perhatian orang-orang muda, termasuk Natsir yang pada 1927 belajar di AMS (SMA sekarang). Kala itu, Natsir diajak oleh teman-teman untuk mendengarkan ceramah A. Hassan.
Sejak itulah Natsir tertarik dengan cara-cara A. Hassan dalam menginterpretasikan Islam. Ulama dengan sorot mata tajam tapi teduh itu menghubungkan ajaran Islam dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. A.Hassan tegas memberantas khurafat, kekolotan sikap dan kebekuan berpikir.
Bagi Natsir, semakin sering dia ikuti ceramah-ceramah A. Hassan semakin besar pula simpatinya kepada sang guru. Adapun manfaat praktis bagi Natsir, itu terkait dengan posisinya di Jong Islamieten Bond (JIB).
Bahwa, sebagai anggota JIB Natsir merasa perlu memberikan pengertian yang benar tentang Islam kepada teman-temannya yang saat itu sebagaian sekular. Maka, dengan bekal ilmu dari A. Hassan, Natsir bisa menyampaikan ajaran Islam dalam kursus-kursus JIB.
Mitra Dialog
Waktu bergerak. Dengan A. Hassan, Natsir sering berdialog dan berdiskusi. Sementara, di sekolahnya, Natsir diajari dan kemudian terbiasa berpikir secara mendalam. Ini, terutama yang berkenaan dengan pelajaran sejarah dan kajian filsafat. Di bagian ini, sering membuat Natsir dihinggapi semacam keragu-raguan dalam menerima pelajaran.
Untuk yang disebut pada kalimat terakhir di atas, kemudian Natsir mendiskusikannya dengan sang guru – A. Hassan. Atas sikap Natsir yang peduli kepada ilmu ini, lalu A. Hassan menjadi lebih memperhatikan Natsir secara khusus.
Ternyata apa yang Natsir anggap baru dan mendatangkan keragu-raguan itu, bagi A. Hassan justru biasa-biasa saja. Sang guru bisa memahami pemikiran filsuf Barat.
Natsir berkesimpulan, betapa luas pengetahuan A. Hassan. Selanjutnya, Natsir punya beberapa pengalaman pribadi yang menarik tentang cara-cara yang khas dari A. Hassan dalam mendidik dan mengkader murid.
Ini kisah guru menyediakan fasilitas yang diperlukan muridnya. Bahwa, Natsir belajar kepada A. Hassan tentang agama dan bahasa Arab. Adapun dasar-dasarnya sudah Natsir dapatkan saat dia belajar di Sekolah Diniyah, dulu di Sumatera.
Natsir belajar dengan berkunjung di rumah A. Hassan di Bandung. Saat Natsir datang ke A. Hassan, hampir selalu dijumpainya sang guru sedang asyik menulis. Biasanya, menulis Tafsir Al-Qur’an.
Saat Natsir datang dan melihat A. Hassan dalam posisi sedang tekun menulis, maka dia membalikkan badan akan keluar. A. Hassan yang kemudian melihat Natsir, berseru memanggil sang murid. Dimintanya Natsir untuk tidak pulang. Maka, duduklah Natsir. Lalu, mulailah diskusi bahkan debat antara murid dan guru. Hal yang seperti ini sering terjadi, habis ashar sampai maghrib.
Apa makna debat di kisah ini? Memang, benar-benar berdebat! Terkadang, Natsir membawa permasalahan, lalu keduanya mengkaji. Terkadang pula, A. Hassan yang melontarkan masalah kepada Natsir.
Jika Natsir tidak dapat memecahkan masalah yang diajukan A. Hassan, maka sang guru meminjaminya sejumlah buku untuk dipelajari. Lalu, topik itu dibahas lagi pada pertemuan berikutnya. Natsir harus dapat menguraikan jawaban atas permasalahan yang diajukan. Demikianlah seterusnya, cara A. Hassan mengajar.
Cara A. Hassan Mendidik
Selanjutnya, ini kisah guru memberi peran dan tangggung jawab. Saat Natsir duduk di kelas III SMA, A. Hassan meminta Natsir memimpin sebuah majalah, Pembela Islam. Atas tugas itu, hubungan Natsir dengan A. Hassan semakin dekat.
Tampak, pada mulanya Natsir tidak belajar agama secara formal. Tapi, Natsir belajar dengan cara berhubungan langsung dengan seorang ulama besar. Natsir, pada perkembangannya, sangat terkesan dengan cara sang guru dalam mendorong muridnya untuk maju.
Dalam catatan Natsir, A. Hassan tak pernah memaksakan suatu pola tertentu kepadanya. Sang guru selalu mendiskusikan bersama atas masalah yang diangkat. Dia dorong Natsir untuk selalu berpikir.
Berikut ini, pengalaman Natsir yang lain tentang cara A. Hassan mendidik muridnya agar senantiasa berpikir. Pernah di suatu ketika, di sekolah Natsir ada tamu, seorang penceramah atau lebih tepat penginjil. Nama dia, Christoffer.
Si penginjil berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. Pada mulanya, dia memuji berbagai kelebihan Muhammad Saw. Namun ujung dari keseluruhan uraian dia, yang benar hanyalah Jesus Kristus.
Apa yang terjadi itu oleh Natsir kemudian diceritakan kepada A. Hassan. Sang guru menganjurkan Natsir agar menanggapi ceramah tersebut. Untuk itu A. Hassan memberi Natsir berbagai bahan bacaan. Atas dorongan itu, Natsir lalu menulis brosur kecil. Judulnya, “Muhammad als Profeet”.
Berikut ini model pembelajaran yang lain. Kala itu ada perdebatan tentang nasionalisme antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis – PNI. Soekarno pada waktu itu menjadi juru bicara PNI.
Natsir, sebagai Muslim, merasa terpukul dengan pandangan Soekarno yang meremehkan Islam. Bagi Soekarno Islam menjadi budaya kelas dua saja, menjadi subkultur. Menghadapi masalah ini, Natsir kembali didorong A. Hassan untuk menanggapinya.
Terasa, A. Hassan selalu menanamkan kebiasaan untuk sepenuhnya percaya diri. Dia latih murid yang dididiknya agar jangan takut salah. Jika nanti ternyata salah, perbaiki lagi.
Hassan, yang wafat pada 10 November 1958, dalam mendidik punya tamsil menarik. Bahwa, “Anak itu kalau digendong terus tak akan pandai berjalan”.
Agus Salim sang Pendidik
Di antara tiga ulama yang mempengaruhi pemikiran dan sikap Natsir, terutama dalam bidang politik, adalah Haji Agus Salim. Di negeri ini, Agus Salim yang lahir pada 08/10/1884 di Kotagadang Bukittinggi Sumatera Barat itu, sangat berpengaruh.
Agus Salim aktivis pergerakan nasional. Dalam jejak kehidupannya, kecuali bergerak di bidang politik dia juga dikenal sebagai intelektual yang kritis. Pun, diketahui pula jika dia faham keagamaannya mendalam.
Agus Salim, yang pernah menjabat di sejumlah pos menteri adalah diplomat ulung. Dia yang dikenal hidup secara sangat sederhana, rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang berasal dari kalangan aktivis pergerakan Islam.
Di antara tamu yang datang untuk belajar kepada lelaki berjuluk “The Grand Old Man” itu adalah Natsir. Sering, saat datang untuk belajar, Natsir dibersamai oleh banyak sahabatnya seperti Mohammad Roem, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimedjo, dan Prawoto Mangkusasmito.
Dalam kenangan Natsir, Agus Salim dalam mendidik generasi pelanjut juga dengan cara yang sama seperti yang dilakukan A. Hassan. Pernah pada suatu kesempatan, Natsir dan Prawoto Mangkusasmito menemui suatu kesulitan. Lalu, kesulitan itu mereka utarakan kepada Agus Salim.
Setelah itu, Agus Salim menyampaikan pendapatnya secara panjang lebar tetapi tidak secara langsung menjawab pertanyaan Natsir dan Prawoto Mangkusasmito. Oleh karena itu, kedua muridnya lalu menanyakannya lagi perihal apa yang ingin mereka ketahui.
Ujungnya, Agus Salim tetap tak menjawab pertanyaan kedua muridnya secara langsung. Rupanya, Agus Salim sedang mendidik agar si murid berpikir sendiri.
Agus Salim memberi tahu cara menganalisis masalahnya. Tapi, Natsir dan Prawoto Mangkusasmito sendiri yang harus mengambil keputusan. Cara inilah yang mendorong Natsir dan murid lainnya untuk maju.
Agus Salim adalah sesepuh. Terkait posisi sesepuh, sikap yang benar adalah jika terbiasa untuk selalu ingin melihat murid asuhannya bisa memecahkan aneka persoalannya secara sendiri. Seperti itulah Agus Salim.
Memang, jika pada akhirnya si murid benar-benar mengalami kesulitan yaitu tak dapat memecahkan masalah mereka sendiri, barulah Agus Salim menunjukkan. Dia sampaikan bagaimana seharusnya memecahkan kesulitan yang dihadapi itu.
Itupun, yaitu cara menyelesaikan masalah, disampaikan Agus Salim masih dengan cara yang tidak langsung. Dengan cara itu, tumbuh sikap berani dan mental dewasa dari para murid.
Itulah, Agus Salim, salah satu guru Natsir. Dia, yang wafat pada 4 November 1954, guru yang sungguh inspiratif.
Ahmad Surkati sang Pendidik
Kepada Ahmad Surkati, Natsir juga pernah berguru. Siapa dia? Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad. Dia guru dari banyak tokoh nasional.
Ahmad Surkati lahir di Sudan pada 1875. Dia, yang menulis sejumlah buku, karena kedalaman ilmunya dihormati dan diikuti oleh banyak kalangan.
Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) menyebut, bahwa ulama besar di Jawa hanya Ahmad Surkati. Masih kata dia, Ahmad Surkati teguh pendirian dan ilmunya amat dalam, serta hatinya sangat tawaddu.
Hassan, tokoh Persis dan seorang penulis yang produktif, punya catatan. Bahwa, kata dia, Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Haji Zamzam (pendiri Persis) adalah murid-murid Ahmad Surkati.
Murid Ahmad Surkati memang banyak dan sebagian lalu menjadi tokoh yang dikenal luas. Sekadar menyebut, Mas Mansur dan Fachroddin (pemuka Muhammadiyah), Abdul Halim (pemuka Persyarikatan Ulama yang kemudian menjadi Persatuan Umat Islam, PUI), serta Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond, JIB) adalah murid Ahmad Surkati.
Natsir, juga berguru kepada Ahmad Surkati. Hanya saja, dalam hal kesempatan bertemu dengan Ahmad Surkati tak sesering seperti dengan A. Hassan dan Agus Salim. Tentang ini, karena Ahmad Surkati menetap di Jakarta dan Bogor, sementara Natsir di Bandung.
Meski ada masalah jarak, Natsir cukup sering berguru langsung dengan cara datang ke rumah sang guru di Jakarta. Hemat Natsir, Ahmad Surkati banyak menyampaikan pemikiran Rasyid Ridha – seorang pembaru yang terkemuka.
Ada yang tak terlupakan bagi Natsir. Fragmen itu berupa pengalaman Natsir di salah satu kunjungannya ke Ahmad Surkati, di rumahnya, untuk belajar.
Kala itu, kebetulan di rumah Ahmad Surkati sedang ada pengajian dari kalangan Al-Irsyad. Begitu Natsir masuk, langsung oleh Ahmad Surkati diperkenalkan kepada yang hadir.
“Saudara sekalian, Saudara Natsir tinggal di Bandung. Dia punya kegiatan pendidikan yang lebih besar dari apa yang kita lakukan,” terang Ahmad Surkati kepada yang hadir.
Natsir merasa penggambaran dirinya oleh Ahmad Surkati berlebih-lebihan. Tetapi, begitulah antara lain cara sang guru dalam mendidik.
Inspirasi Tak Bertepi
Tentu, banyak inspirasi yang bisa kita ilmui dari ketiga guru Natsir seperti yang sedikit tergambar di atas. Sebagian di antaranya, adalah: Bahwa, sebagai guru: Pertama, tidak memberi ilmu dengan cara mendikte. Kedua, murid sering diperlakukan sebagai sahabat, dengan cara berdialog, berdiskusi, bahkan berdebat.
Ketiga, menyediakan fasilitas yang diperlukan agar ilmu murid terus berkembang signifikan. Keempat, memberi kesempatan tampil di masyarakat.
Kelima, memberi peran sesuai kapasitas yang dimiliki murid. Keenam, merangsang murid untuk selalu bisa menemukan jawaban sendiri atas masalah yang dihadapinya. Ketujuh, memberikan penghargaan secara proporsional.
Demikianlah, sebagai guru mereka bertiga—A. Hassan, Agus Salim, dan Ahmad Surkati—berhasil menyiapkan murid untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal. Di titik ini, Buya Mohammad Natsir adalah salah contoh terbaik hasil didikan itu.***