Oleh: Ace Somantri*
KITA tidak mengingat masa-masa saat masih dalam kandungan, detik-detik kelahiran, ataupun masa kecil di bawah usia lima tahun. Ingatan baru mulai terbentuk dengan jelas setelah memasuki usia tamyiz, sekitar tujuh tahun ke atas, saat seseorang mulai mampu memahami, membedakan antara kebaikan dan keburukan, serta melihat mana yang benar dan mana yang salah.
Sejak dalam kandungan, orang tua—terutama ibu—merawat dan menjaga dengan penuh perhatian. Dengan segala keterbatasan gerak karena perut yang membesar, ibu tetap berusaha melindungi calon buah hatinya selama sembilan bulan penuh.
Ketika saat melahirkan tiba, ia mempertaruhkan jiwa dan raganya, menahan sakit luar biasa yang terasa seakan mendekati maut. Bahkan rasa malu pun seolah lenyap saat rahimnya terbuka di hadapan banyak orang demi menyambut kehadiran anak yang dinanti dengan penuh cinta dan kebanggaan.
Setelah kelahiran, perjuangan itu belum berhenti. Ibu dengan penuh kesabaran dan kasih sayang menyusui bayinya kapan pun dibutuhkan, bahkan saat waktu istirahat sekalipun, tanpa mengenal lelah.
Tangisan bayi yang begitu dicintai dilayani dengan sepenuh hati, tanpa sedikit pun merasa terbebani. Bayi menangis tanpa mengenal waktu; kapan pun ia membutuhkan, ibu selalu siap menenangkan dalam pelukannya sambil memberikan air susu penuh kehangatan.
Waktu berlalu, bayi mungil itu tumbuh menjadi anak kecil yang menggemaskan. Pelukan dan ciuman dari ibu dan ayah pun mengalir setiap hari, penuh dengan kasih sayang yang tulus, menciptakan rasa hangat dan kebahagiaan. Aktivitas penuh cinta itu terus berulang sepanjang tahun-tahun awal kehidupannya.
Ketika usia sekolah dasar tiba, keinginan dan kebutuhan anak semakin berkembang. Orang tua pun semakin serius memperhatikan segala kebutuhannya, terutama dalam urusan pendidikan. Tanpa banyak pertanyaan atau keluhan, mereka mencarikan sekolah terbaik, berapa pun biaya yang harus dikeluarkan, semua ditempuh dengan penuh semangat.
Lelah dan letih bagi orang tua seolah tak terasa. Kebahagiaan anak menjadi kebahagiaan terbesar bagi mereka. Kasih sayang yang diberikan sepenuhnya tulus, tanpa mengharapkan balasan apa pun. Bahkan lebih dari sekadar kelelahan, jiwa dan raga pun dipertaruhkan demi menjaga kehidupan dan masa depan buah hati tercinta.
Kasih sayang orang tua berlangsung sepanjang masa, tulus tanpa mengharapkan keuntungan sesaat atau kepentingan pribadi yang merugikan orang lain. Cinta mereka begitu mendalam, tak terukur, semata-mata demi kebahagiaan buah hati tercinta.
Demi anak-anaknya, lautan luas pun rela diseberangi, meski harus menghadapi ombak besar yang menerjang. Bahkan jika harus melintasi negara demi negara di negeri asing, semua itu dilakukan tanpa ragu, hanya demi masa depan anak-anak yang mereka kasihi.
Dengan semangat gigih dan keyakinan penuh, orang tua menapaki jalan hidup yang seringkali terjal dan penuh ujian. Peluh membasahi tubuh, mengering lagi di bawah terik matahari, tetapi semua kelelahan itu seolah lenyap oleh kekuatan cinta yang tidak pernah pudar.
Segala pengorbanan itu dilakukan demi anak-anak mereka, agar harapan dan cita-cita di masa depan dapat diraih dengan penuh suka cita dan rasa bangga. Ini bukan perjalanan singkat. Umumnya, orang tua mendampingi anak-anaknya hingga mereka dewasa, bahkan baru berpisah saat sang anak mulai membangun rumah tangganya sendiri—kurang lebih selama 25 tahun lamanya mereka menjaga, merawat, dan memperhatikan tanpa henti.
Dan itu bukan hanya untuk satu anak saja. Tak jarang, ada yang membesarkan dua, tiga, bahkan hingga lima anak atau lebih. Tak terbayangkan betapa luar biasanya ketelatenan dan kasih sayang yang diberikan orang tua dalam membesarkan mereka semua.
Perhatian orang tua tidak hanya diberikan saat anak-anaknya sehat dan ceria, tetapi juga saat mereka sakit. Orang tua merawat dengan penuh kesabaran, mengobati, dan mendampingi sesuai dengan kondisi sang anak.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa peran orang tua—baik ibu maupun ayah—dalam merawat, menjaga, dan membimbing anak-anaknya adalah sebuah “jihad fisabilillah”. Karena dalam benak dan keyakinan mereka, anak-anak adalah amanah suci dari Allah Ta’ala, yang harus dijaga dan dipelihara sebaik mungkin. Amanah ini bukan sekadar diterima, melainkan harus dipertanggungjawabkan, agar tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengkhianati titipan-Nya.
Anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada kedua orang tua, dan hal ini sepatutnya disadari oleh setiap anak yang dilahirkan. Membesarkan anak bukan sekadar tugas berat yang dijalani hingga mereka dewasa, melainkan tanggung jawab besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pemberi Amanah.
Saat orang tua masih muda—dengan tubuh yang sehat, bugar, dan penuh semangat—mereka menghadapi berbagai rintangan hidup. Badai hujan, teriknya panas matahari, hempasan gelombang samudera, hingga dinginnya malam, semuanya menjadi bagian dari perjalanan mereka dalam membesarkan anak-anaknya.
Namun, kekuatan itu tidak berlangsung selamanya. Memasuki usia 45 tahun ke atas, perlahan fisik dan daya pikir mulai mengalami penurunan. Saat menginjak usia 55 tahun, tubuh mulai sering merasakan sakit, sendi-sendi nyeri, tenaga melemah, hingga pada titik tertentu benar-benar kehilangan daya.
Siklus ini menjadi sesuatu yang lumrah dialami manusia di zaman ini. Ketika memasuki usia 60 hingga 65 tahun, tidak sedikit yang telah berpulang meninggalkan dunia. Bagi mereka yang masih diberikan tambahan usia setelahnya, sungguh itu adalah anugerah besar yang patut disyukuri sebagai karunia dari kehendak-Nya.
Ada catatan penting yang perlu kita renungkan bersama—sebuah kesadaran mendalam bagi setiap anak yang terlahir dari rahim ibu dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kedua orang tua.
Ketika orang tua kita telah memasuki masa renta—fisik mereka melemah, tubuh yang dulu tegap kini membungkuk, kulit mengeriput membungkus badan yang mengurus, penglihatan dan pendengaran menurun, pikiran pun melemah, bahkan berbicara kadang terbata-bata saat sakit datang mendera—apakah kita, sebagai anak, masih mampu merawat, menjaga, dan memperhatikan mereka dengan penuh cinta, sebagaimana mereka dulu merawat kita?
Padahal, bertahun-tahun mereka mencurahkan perhatian, kesabaran, dan kasih sayang untuk membesarkan kita hingga dewasa. Jika kita jujur bertanya pada hati nurani, mungkin kita harus mengakui bahwa sikap kita terhadap orang tua sering kali masih jauh dari yang seharusnya. Bahkan tidak jarang, justru kita membuat mereka kecewa dan terluka.
Ingatlah, sejak detik pertama kita dilahirkan, tubuh ibu tersiksa menahan rasa sakit yang luar biasa. Saat masa menyusui, kita merengek tanpa henti meminta air susu. Dalam masa pertumbuhan, kita banyak meminta ini dan itu. Dan ketika dewasa, tak jarang kita membalasnya dengan amarah, suara keras, dan pandangan tajam.
Sementara itu, orang tua hanya diam, menahan luka di hati, tetap berusaha melayani dengan segenap tenaga yang tersisa. Bahkan ketika kita berfoya-foya tanpa beban, kita lupa bahwa semua yang kita makan, uang yang kita hamburkan, adalah hasil dari keringat mereka—keringat dari tubuh letih yang diterpa dinginnya malam dan derasnya hujan.
Mampukah kita, sebagai anak yang kini telah kuat, mandiri, bahkan kaya raya, merawat, menjaga, dan memperhatikan orang tua dengan ketulusan seperti yang mereka berikan saat membesarkan kita? Nyatanya, sangat sulit bagi banyak anak untuk membalas kebaikan orang tua dengan perlakuan yang setara, meskipun Islam telah dengan tegas mengajarkan pentingnya berbakti kepada kedua orang tua.
Perintah itu tercantum dalam Al-Quran, antara lain dalam surah Al-Isra ayat 23, surah Luqman ayat 14, dan surah Al-Baqarah ayat 83, yang semuanya memerintahkan agar kita berbuat baik kepada kedua orang tua. Ajaran ini tidak hanya diyakini kebenarannya oleh umat Islam, bahkan dalam banyak ajaran dan budaya lain, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban moral yang tidak bisa diabaikan.
Fakta menunjukkan, hampir semua orang besar dan sukses di dunia ini adalah mereka yang berbakti, mengabdi, dan memuliakan kedua orang tuanya. Bagi mereka, ibu dan bapak adalah segalanya; selama kedua orang tuanya masih hidup, mereka menjadi prioritas utama dalam hidup.
Apalagi bagi umat Islam, seharusnya berbakti kepada orang tua bukan sekadar diketahui sebagai ajaran mulia, tetapi benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata. Sayangnya, realitas menunjukkan masih banyak di antara kita, bahkan dari kalangan muslim sendiri, yang memperlakukan orang tua dengan tidak manusiawi. Na’udzubillah, semoga kita dijauhkan dari perbuatan yang tercela itu.
Melayani orang tua sering terasa berat bagi sebagian anak. Bahkan untuk sekadar menemui mereka, banyak alasan yang dikemukakan—mulai dari ongkos transportasi, keterbatasan waktu, hingga berbagai alasan lainnya. Akhirnya, semua alasan itu membuat kita jarang menemui orang tua secara langsung, dan memilih berkomunikasi lewat telepon saja, dengan alasan lebih murah dan praktis.
Padahal, orang tua tidak menunggu harta benda atau oleh-oleh dari anak-anaknya. Yang mereka rindukan hanyalah pertemuan, sekadar merasakan sentuhan tangan, menatap wajah yang pernah mereka rawat sejak kecil, dan mengenang masa-masa indah saat anak-anaknya masih lucu dan polos. Mereka juga berharap dapat melihat cucu-cucu mereka, penerus keturunan yang menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Itu saja sudah cukup membuat mereka bahagia.
Sebagai anak, kita seharusnya peka dan responsif terhadap harapan sederhana orang tua tersebut. Kita perlu merenung: mungkin, di antara berbagai kesulitan, kekecewaan, atau cobaan yang kita alami dalam hidup, salah satu sebabnya adalah kurangnya bakti dan pengabdian kita kepada kedua orang tua. Bahkan bisa jadi tanpa kita sadari, kita pernah menyakiti hati mereka.
Semoga Allah memberi kita kekuatan lahir dan batin untuk terus merawat, menjaga, dan memuliakan orang tua kita selama mereka masih ada di dunia ini. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat