UMBandung
Opini

Konten Hoaks dan Rendahnya Literasi

×

Konten Hoaks dan Rendahnya Literasi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Istockphoto)

Oleh: Sudarman Supriyadi, peminat masalah literasi dan sosial-keagamaan

BANDUNGMU.COM – Hoaks atau berita bohong merupakan informasi palsu atau tidak benar yang disebarkan dengan sengaja untuk menyesatkan orang lain.

Jenisnya bisa berupa berita palsu, rumor, atau informasi yang salah yang disebarkan dengan tujuan tertentu.

Misalnya saja menimbulkan kepanikan, menciptakan ketidakpercayaan terhadap suatu pihak, atau bahkan untuk keuntungan pribadi.

Hoaks sering kali tersebar melalui media sosial, pesan berantai, atau situs web yang kurang dapat dipercaya.

Penting untuk selalu memeriksa keaslian dan kebenaran informasi sebelum menyebarkannya, agar tidak menjadi bagian dari penyebaran hoaks.

Di hape saya ada dua puluhan grup Whatsapp dari berbagai jenis. Mulai dari grup Whatsapp teman-teman SMA, pesantren, rekan kerja, dosen-rektor-guru besar, sampai redaktur media-media Muhammadiyah.

Dari puluhan grup Whatsapp itu, hanya ada dua grup yang steril dari konten hoaks dan provoaktif. Grup yang lain setiap hari penuh dengan konten provokatif dan hoaks, baik berjenis foto, poster, video, teks narasi, berita video, dan sebagainya.

Baca Juga:  Kuliah Bareng Birokrat UM Bandung Bahas Politik Dinasti dan Kondisi Tatanan Birokrasi

Terutama sekali akhir-akhir ini, konten provokatif dan hoaks politik semakin menggila. Setiap menit selalu muncul. Kalau saja filter literasi anggota grup tidak kuat, bisa-bisa mereka jadi stres.

Bahkan grup Whatsapp yang di dalamnya ada rektor, guru besar, profesor, dosen, akademisi, setiap hari penuh dengan konten provokatif dan hoaks.

Hal yang lebih memprihatinkan saya secara pribadi, orang yang menyebar-nyebarkan konten negatif tersebut di grup Whatsapp adalah para sepuh yang sudah makan asam garam kehidupan. Konten tersebut meluncur begitu saja dengan narasi-narasi yang sangat jahat.

Anggota grup Whatsapp yang lainnya diam saja tanpa reaksi. Penyebabnya bisa karena mereka cuek, masa bodo, setuju dengan konten tersebut, tidak mau tahu, atau bahkan segan karena si penyebar konten provokatif dan hoaks tersebut para sepuh.

Dilema

Ketika konten provokatif dan hoaks muncul di grup Whatsapp, saya secara pribadi merasa jengah dan jengkel. Kok mereka punya waktu untuk menyebarkan konten tidak bermutu seperti itu. Mereka itu rata-rata akademisi bahkan banyak aktif di ormas terbesar di Indonesia. Mengerikan memang.

Baca Juga:  Kaum Milenial, Bonus Demografi, dan "Digital Culture"

Saya pernah mengingatkan anggota grup Whatsapp yang hobi menyebarkan konten provokatif dan hoaks—yang entah dari mana mereka mendapatkannya. Namun, malah kita bertengkar di grup sehingga menimbulkan perdebatan tidak produktif.

Akhirnya, ketika menghadapi konten semacam itu, saya yang termasuk generasi muda di grup seperti itu merasa dilema. Mau membantah konten tersebut takut disebut sok tahu. Kalau dibiarkan begitu saja, si penyebar konten akan merasa dibenarkan karena tidak ada anggota grup yang membantah.

Hal lain yang membuat saya miris, ada anggota grup Whatsapp yang percaya begitu saja konten provokatif dan hoaks seperti itu dan menjadi bahan untuk diperbincangkan di forum resmi.

Wah, sudah separah inikah literasi kita? Tampaknya ada betulnya juga. Literasi kita memang parah. Tidak mampu membedakan mana konten hoaks dan mana konten yang bisa dipertanggungjawabkan sumber serta kebenarannya.

Satu per satu saya pun keluar dari grup Whatsapp yang toksik tersebut. Saya tidak mau melihat dan membaca konten-konten provokatif dan hoaks yang sering memojokan kelompok lain tersebut.

Baca Juga:  Selebritis Pengetahuan dan Matinya Kepakaran

Saya kemudian berpikir, kenapa ada orang di grup Whatsapp itu gemar sekali menyebarkan konten provokatif dan hoaks? Jawabannya bisa saja karena mereka ingin eksis, butuh pengakuan, strategi propaganda, untuk provokasi, semata-mata untuk profit, dan alasan lainnya.

Lalu kenapa orang muda termakan konten provokatif dan hoaks? Jawaban yang paling rasional adalah karena mereka malas untuk membaca, menganalisis, dan mengecek kebenaran konten.

Intinya, literasi kita rendah. Ditambah jari-jari kita memang kegatelan. Ada konten yang judulnya bombastis sedikit saja langsung disebar-sebarkan. Padahal, si penyebar sendiri tidak membacanya secara utuh dan benar.

Akhirnya terjadi perdebatan yang kurang fair, tidak valid, sama-sama egois, merasa benar sendiri, sehingga membuat talir persahabatan menjadi retak.

Saran saja, kalau kita ingin tetap waras di tengah gempuran konten yang masuk ke hape kita melalui grup-grup Whatsapp, lebih baik keluar dari grup.

Lebih baik dan tenang mencari grup-grup Whatsapp yang bisa membuat kita lebih produktif dan memperkuat tali silaturahmi.***

Seedbacklink