UMBandung
Islampedia

Perbedaan Maknawi Istilah Tunangan dan Khitbah! Inilah Penjelasannya

×

Perbedaan Maknawi Istilah Tunangan dan Khitbah! Inilah Penjelasannya

Sebarkan artikel ini

BANDUNGMU.COM — Terkadang istilah tunangan sering diidentikkan oleh sebagian orang dengan istilah khitbah. Padahal antara “tunangan” dan “khitbah” (melamar) memiliki perbedaan yang cukup mendasar.

Khitbah merupakan proses melamar wanita yang akan dinikahinya yang selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama dilanjutkan dengan proses pernikahan.

Sementara khitbah menurut syariat Islam adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran, kemantapan, dan ketenangan untuk menentukan pilihannya sehigga tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan tanpa ada faktor yang dibenarkan.

Hal ini karena membatalkan pinangan dapat menyakiti perasaan wanita yang dipinang beserta keluarga besarnya, merusak kemuliaan dan nama baiknya, dapat memutuskan tali silaturahim serta tidak sesuai dengan akhlak yang mulia (akhlaq karimah).

Dengan demikian, khitbah merupakan sebuah proses pranikah yang diperbolehkan dalam Islam.

Istilah khitbah dalam syariat Islam dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi SAW.

Antara lain disebutkan bahwa Ibnu Umar RA [diriwayatkan] berkata, Nabi SAW telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya, dan janganlah seseorang meminang atas pinangan orang lain sehingga ia meninggalkannya atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama,” (HR Al-Bukhari).

Rambu-rambu tunangan

Adapun praktik tunangan dengan saling memakaikan cincin, saling pegangan, atau bahkan dengan cium kening atau pipi pasangannya, dalam syariat Islam termasuk sesuatu yang dilarang.

Pasalnya, dua insan yang menjalin ikatan pertunangan ataupun khitbah tetaplah sebagai pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang syari.

Baca Juga:  Ini Penjelasan Muhammadiyah Soal Pandangan Suara Perempuan Adalah Aurat

Oleh karena itu, mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan, berpegangan tangan, ataupun hidup serumah.

Dengan demikian, ungkapan yang menyatakan bahwa “seorang tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya” tentu merupakan pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama sekali.

Dengan ungkapan lain bahwa orang yang bertunangan tidak memiliki kewajiban ataupun hak untuk memberikan dan mendapatkan nafkah, baik lahir (sandang, pangan, dan papan) maupun nafkah batin.

Namun, jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-masing pihak, itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin perjanjian atau hubungan kerjasama (muamalah) selama hal tersebut tidak bertentangan dengan norma dan hukum agama.

Oleh sebab itu, sebagai sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, tunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu atau ketentuan-ketentuan agar tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

1. Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama Islam. Misalnya, bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-istri serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi SAW:

“Dari Ibnu Abbas [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Baca Juga:  Membumikan Al-Quran

2. Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga besar masing-masing pihak, dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan pihak lain serta tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang dapat merusak nama baik diri maupun keluarga besarnya.

“Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah bin Umar ra. mengabarkannya bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan suatu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

3. Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan di hadapan keluarga besarnya, karena melanggar janji merupakan perbuatan tercela dan termasuk ciri-ciri orang munafik.

“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

4. Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:

“Dari Ibnu Abbas ra. [diriwayatkan] dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali muntahannya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Baca Juga:  Kaum Muslim Akan Maju Jika Menghargai dan Memanfaatkan Waktu

5. Seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya segera menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda, baik dengan cara bertunangan atau sejenisnya untuk menghindari sesuatu yang dilarang oleh agama seperti berkhalwat (berdua-duaan), pegang-pegangan dan tindakan lain yang dilarang oleh agama.

“Dari Alqamah [diriwayatkan] ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda kepada kita: Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan menanggung beban pernikahan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Namun jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan tertentu yang sangat vital, maka hendaknya dilaksanakan layaknya silaturrahim dua keluarga besar untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen tentang masa depan hubungan anaknya.

Sebelum melangkah ke pelaminan (ta’aruf), serta menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti berduaan (berkhalwat), tinggal serumah, berpegangan, maupun mengadakan kegiatan (seremonial) yang berlebihan (tabzir).

Hal ini karena sesuatu yang disyari’atkan dalam konteks pernikahan adalah; khitbah untuk mengenal calon pasangan, akad nikah dan walimah, dan bukan dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh agama serta membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama.

Demikian pembahasan tentang perbedaan maknawi istilah “tunangan” dan “khitbah”. Wallahu a‘lam bish-shawab

Sumber: muhammadiyah.or.id

Editor: Feri A

Seedbacklink