Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Politik kekuasaan selalu menjadi topik yang tak pernah usai selama negara masih berdiri tegak, meski kerap kali menyisakan rasa miris dan pilu. Demokrasi digadang-gadang sebagai jalan menuju bangsa yang mandiri dan berdikari. Namun, setelah puluhan tahun melihat dan merasakan dinamika demokrasi, kenyataannya masih jauh dari harapan.
Prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” seharusnya menjadi simbol kedaulatan rakyat dalam demokrasi Indonesia. Namun, tampaknya Indonesia menjadi salah satu negara dengan perkembangan dan kemajuan yang melambat di antara negara-negara lain di dunia. Lebih parahnya lagi, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di kalangan pejabatnya. Hal ini terlihat jelas dari pemberitaan media yang sering menyoroti pejabat dan birokrat negara yang terjerat kasus korupsi oleh KPK.
Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai entitas terhormat dan lembaga negara yang mewakili ratusan juta warga Indonesia, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan menjunjung tinggi demokrasi di negeri ini. Namun, sangat disayangkan, lembaga ini sering terlibat dalam praktik legislasi yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung menindas. Para wakil rakyat hidup bergelimang harta dan kekayaan yang asal-usulnya sering kali dipertanyakan. Semoga bukan hasil dari memeras darah rakyat melalui berbagai jenis pajak.
Demokrasi di Indonesia kerap kali hanya menjadi ajang basa-basi, sementara konstitusi sering kali diubah demi menjaga kekuasaan di ranah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Entah sampai kapan negeri ini akan terus dirongrong oleh para pembegal konstitusi, sementara suara rakyat hanya dijadikan sekadar ornamen dalam demokrasi yang kehilangan maknanya.
Gerakan aksi sering kali hanya menjadi ancaman sesaat yang meredup ketika semangat perjuangan tidak cukup kuat dan tangguh. Apakah suara rakyat mampu tetap lantang tanpa henti? Aksi tidak boleh berhenti hanya karena sidang paripurna ditunda, sebab bisa saja mereka melanjutkannya di tengah malam atau saat rakyat lengah dan tertidur.
Jangan setengah-setengah, boikot semua prolegnas yang tidak pro-rakyat dan tuntut agar dibatalkan. Pimpinan DPR harus didesak untuk membuat pernyataan resmi dan terbuka yang membatalkan seluruh prolegnas yang inkonstitusional dan tidak berpihak kepada kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.
Jas almamater yang beraneka warna dari berbagai perguruan tinggi menjadi simbol gerakan moral yang mewakili kelompok masyarakat kritis, seharusnya menjadi lokomotif perubahan nyata, bukan sekadar retorika. Tindakan para pengkhianat rakyat yang duduk di kursi kekuasaan harus diberantas hingga ke akar-akarnya, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi melalui aksi nyata dan kekuatan yang dibangun dengan perencanaan matang sejak jauh hari.
Kesadaran masyarakat perlu terus diedukasi, dan para akademisi harus berani melawan tekanan struktural dan fungsional yang bisa membelenggu. Mahasiswa harus didorong untuk berpikir dan bersikap kritis, bukan menjadi generasi yang mudah terjebak dalam sikap lebay dan melankolis.
Jangan sampai isu seperti UKT menjadi alasan mereka berhenti bergerak, sementara beasiswa dijadikan alat untuk meredam perlawanan. Padahal, beasiswa adalah milik negara, berasal dari rakyat, dan untuk rakyat, bukan alat penguasa.
Jas almamater berwarna merah, kuning, hijau, biru, jingga, dan lainnya menjadi saksi atas sikap kritis mahasiswa. Sejak dulu hingga kini, mahasiswa tetap menjadi simbol perlawanan terhadap tirani dan kezaliman penguasa.
Belum lama ini, di Bangladesh, rakyat berhasil menggulingkan tirani kekuasaan. Salah satu kunci keberhasilan tersebut adalah gerakan aksi mahasiswa yang terstruktur dan terukur. Di Bangladesh, meskipun ada perlawanan dari kelompok kekuasaan, aksi yang terus-menerus akhirnya berhasil menurunkan penguasa tiran beserta kroninya.
Sementara di Indonesia, perjuangan saat ini hanya soal mendesak parlemen agar mematuhi Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pilkada Langsung. Meskipun sidang ditunda karena tidak kuorum, di luar gedung Senayan, suara demonstran bergemuruh menekan wakil rakyat untuk mengikuti keputusan tersebut.
Di penghujung kekuasaan Jokowi, jika drama politik ini adalah bagian dari skenario besar oligarki, hati nurani rakyat yang tertekan oleh berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat akan menggugah pemilik alam semesta untuk mengabulkan doa-doa mereka yang terzalimi.
Aksi heroik mahasiswa dari berbagai daerah yang serentak bergerak hingga ke ibu kota akhirnya memaksa Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, membatalkan rencana untuk mengabaikan keputusan MK yang sebelumnya hendak dibajak.
Dengan komando moral, seluruh mahasiswa mengepung gedung parlemen di Jakarta dan gedung dewan daerah, menyuarakan satu tuntutan: lanjutkan keputusan MK Nomor 60 sebagai dasar yuridis Pilkada langsung 2024.
Setelah pengumuman penundaan disiarkan, para demonstran tidak langsung membubarkan diri, khawatir akan adanya manipulasi situasi oleh anggota parlemen di Senayan. Hingga menjelang malam, mahasiswa masih bertahan, menunggu hingga ketok palu keputusan resmi.
Alasan DPR bersikeras membatalkan keputusan MK terkait pilkada terasa tidak masuk akal dan irasional, menimbulkan kecurigaan akan niat buruk mereka terhadap agenda pilkada serentak.
Aroma tidak sedap tercium, seolah-olah ada indikasi ruang demokrasi akan terus dirongrong hingga kekuasaan diambil alih sepenuhnya, termasuk di tingkat daerah di seluruh Indonesia. Selama ini, kekuasaan melalui sistem partai tampaknya tidak mencerdaskan, melainkan justru semakin memperbodoh rakyat.
Momentum keputusan MK Nomor 60 yang hampir dibajak oleh DPR membuktikan bahwa ketika akademisi dari perguruan tinggi, termasuk dosen dan guru besar, turun tangan, mereka mampu mendukung nalar intelektual yang sehat dan menginspirasi mahasiswa untuk bersuara lantang. Namun, mengapa hal ini tidak terjadi sebelumnya, meski banyak regulasi yang jelas merugikan negara dan rakyat?
Contohnya adalah UU Cipta Kerja, yang sangat kontroversial dan tetap disahkan meskipun isinya banyak yang rancu dan merugikan tenaga kerja, bahkan mengancam masa depan karyawan di beberapa perusahaan swasta. Kebiasaan buruk melegalkan UU sering dilakukan secara diam-diam, tanpa suara saat palu keputusan diketuk dalam sidang paripurna.
Konstitusi yang seharusnya menjadi hasil dari demokrasi tanpa batas kini hampir saja mengalami pembegalan. Alhamdulillah, menjelang ketok palu, aksi cepat yang dimotori oleh masyarakat terpelajar, terutama mahasiswa dari berbagai kampus, berhasil menyelamatkan konstitusi.
Betapa tragisnya keadaan bangsa kita jika konstitusi yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat bisa dengan mudah diubah dalam waktu singkat. Ini mencerminkan kebiasaan buruk pejabat dan birokrat di Indonesia yang sering memperlakukan negara seolah-olah milik pribadi mereka.
Tradisi menyandera elite politik atau tokoh partai tanpa disadari menjadi “kartu as” bagi pemegang kekuasaan. Bukan sekadar trik biasa, melainkan ini metode baru dari penguasa tiran untuk membelenggu dan memperkuat kekuasaan mereka.
Bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat untuk keluar dari jeratan oligarki yang telah mengakar dan menjadi bagian dari karakter serta budaya berbangsa dan bernegara. Saat ini, panggung kekuasaan tampaknya dikuasai oleh satu keluarga, membuat partai-partai besar pun tidak berdaya, apalagi partai kecil yang dianggap tidak berpengaruh.
Kini, harapan tertumpu pada ormas-ormas yang umumnya malah menjadi alat kekuasaan, bahkan berfungsi sebagai “benteng” bagi penguasa. Ada sebuah pernyataan dari ormas kepemudaan yang sempat viral di media sosial, menyatakan bahwa “siapa pun yang menghina dan mengganggu raja, berarti mengganggu institusi kita.”
Pernyataan ini menunjukkan lemahnya kontrol sosial terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, kami sangat berharap kepada para mahasiswa untuk bangkit dan terus mengawal demokrasi, agar negeri ini bisa kembali ke jalur yang benar. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar