Oleh: Lina Sellin, penulis buku
BANDUNGMU.COM, Bandung — Waktu kecil, saya sering mendengar ayah saya menyampaikan, “Hidup yang paling nikmat dan damai itu adalah saat kondisi kosong. Perut kosong. Dompet kosong. Hati kosong.”
Saat itu, saya tak paham apa maksud perkataan beliau. Saya bahkan merasa aneh dan sedikit marah dengan pernyataan itu.
Menurut logika saya, masa iya keadaan kosong bisa membuat seseorang tenang dan damai? Bayangkan, mau beli jajan, duit gak ada. Alih-alih bikin damai, marah mah pasti.
Suatu saat saya tidak berhasil membendung rasa penasaran itu, dan akhirnya bertanya, “Kenapa?”
Ayah saya lalu menjawab, “Apa pun yang kosong, pasti akan segera diisi. Kalau perut kosong, pasti akan segera diisi. Kalau dompet kosong, pasti akan segera dipenuhi. Pun dengan hati. Kalau hati kita kosong, pasti akan ada yang mengisinya.”
Saya melongo, “Masa sih?”
Pilih yang mendamaikan
“Bukankah kalau perut penuh, justru tak lama lagi kita akan merasa lapar? Kalau dompet berisi, bukankah sebentar lagi akan keluar, dan akhirnya jadi kosong juga?” Ayah saya melanjutkan.
“Tinggal kamu pilih, hatimu akan diisi apa. Sesuatu yang bikin kamu damai, atau yang menyengsarakan.”
Saya tak paham, tapi akhirnya saya setuju. Terlebih sejak sederet peristiwa yang saya anggap merugikan secara materi.
Alih-alih bergembira, saya tentu meresponsnya dengan marah. Tapi ternyata, kemarahan itu tak berdampak apa pun dalam diri saya kecuali rasa semakin sumpek.
Akhirnya, saya memilih, seperti yang ayah saya sampaikan puluhan tahun lalu: pilih yang mendamaikan atau yang menyengsarakan.
Sejak saya menyadari hal itu, saya pun memilih untuk hanya memutar kaset yang mendamaikan di dalam ingatan saya, alih-alih memutar kaset yang bikin sumpek.
Ndilalah, hanya dalam hitungan hari, semua yang saya khawatirkan sirna begitu saja. Kosong. Suwung. Sejak saat itu, saya merasa dikucuri ketenangan luar biasa, yang tidak bisa saya peroleh selain dari kondisi ini.
Misalnya, rumah yang saya beli, hilang karena ditipu. Sewaktu hati saya diisi oleh berbagai penyesalan dan kecewa lagi marah, rumah yang diidamkan pun tak kunjung kembali. Yang ada hanyalah sumpek.
Namun, saat saya mengosongkan bejana hati saya. Kosong. Netral. Tidak dipenuhi kecewa dan teman-temannya, hanya dalam hitungan hari, saya kembali dianugerahi rumah—yang sungguh mustahil—dari kaca mata mana pun.
Pun dengan barang-barang lain seperti sepeda, laptop, dan lain-lain, yang sempat digenggam erat dalam hati, musnah tak berbekas diambil orang.
Anehnya, lagi-lagi, saat hati berusaha me-nol-kan, semua barang-barang yang hilang itu, kembali dalam bentuk yang jauh lebih baik—bagaimanapun caranya.
Ruang tanpa nama
Sejujurnya, saya menikmati betul kondisi kosong. Suwung. Karena di sana, saya merasa bisa langsung terhubung dengan Dzat yang Maha Memenuhi Segala.
Beruntung, Noura Publishing sebentar lagi akan menerbitkan buku yang mengulas lebih jauh dan dalam tentang kondisi kosong.
Buku itu berjudul Ruang Tanpa Nama. Menariknya, buku ini disertai dengan puisi-puisi dari para tokoh sufi seperti Jalaluddin Rumi, Kobayasyi Issa, Akha Bhagat, Hakim Sanai, Fariduddin Attar, Matsuo Bashō, dan Bulleh Shah.
Membaca buku yang ditulis oleh Bang Dame dan Mas Denny ini, saya ibarat menyelam sambil minum air.
Sebab, selain mengajak saya untuk menikmati sajian lezat puisi-puisi indah para tokoh hebat, juga mengantarkan saya pada kedalaman jiwa yang bukan hanya menyentuh pengalaman fisik dan psikologis, melainkan juga utamanya, spiritual.
Buku ini tak hanya sangat layak dinikmati oleh para salik, calon salik, buku ini juga bisa dinikmati oleh siapa pun yang ingin hijrah, terutama dari kondisi kemelekatan, menjadi penuh ridha terhadap apa pun yang sudah diberi Tuhan Pemilik Alam.
Apalagi, sebagaimana kita tahu, ganjaran sikap ridha, tidaklah main-main. Tidak hanya hidup penuh damai, tapi seperti firman Allah, fadkhuli fi ibadi, wadkhuli jannati. Masuklah ke dalam golongan-Ku. Masuklah ke Surga-Ku.
Wallahu alam. ***