Sukron Abdilah, Mantan Ketua Lembaga Pers Ikatan (LPI) PC. IMM Kota Bandung (2005-2006)
BANDUNGMU.COM – Saya selalu bangga, bahwa dalam catatan histori kehidupan pribadi, pernah merasakan bagaimana suasana intelektualisme yang riuh di salah satu ortom Muhammadiyah, yakni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Saat itu, di sekretariat IMM Korkom UIN Bandung, saya mendapatkan semangat intelektualisme dari para senior, yang selalu mengutip filsuf, pemikir, dan teoritikus dalam berbagai disiplin ilmu ketika sedang mengadakan rapat dan kajian kritis tentang suatu hal.
Tak hanya bercuap-cuap untuk menunjukkan bahwa IMM ialah gerakan intelektual, di IMM Korkom UIN Bandung juga, saya mendapatkan semangat untuk menuliskan pemikiran, ide, dan opini saya tentang fenomena dan noumena.
Meskipun, saya tidak dibimbing langsung oleh para senior untuk mampu merangkai kata, tetapi dari mereka lah saya mendapatkan semangat, energi, dan obsesi di dunia tulis menulis.
Disinilah, saya mendapatkan skill menulis, dan sampai hari ini, dari menulislah saya dapat hidup berdaya, bermanfaat, dan bermartabat: tanpa bergantung pada belas kasih orang lain.
Sejak tahun 2003 akhir, kalau tak salah, saya mulai merasakan atmosfer kemahasiswaan yang lekat dengan kegiatan intelektual di IMM. Saya banyak belajar teologi pembebasan, fiqh kebhinekaan, filsafat sosial, aktivisme intelektual organik, dan sejumlah wacana pemikiran kiri dari interaksi intelektual saya dengan buku dan senior di sekretariat IMM.
Saat itu, saya menjadikan sekretariat sebagai kampus pertama – kampus keduanya adalah kelas di jurusan – untuk mengasah daya analitik keilmuan saya terhadap fenomena sosial.
Islam bagi saya, saat itu dan hingga kini, berwajah pembebasan, fungsionalisme, fenomenologik, liberatif dan transformatif. Sederhana, Islam adalah agama yang berdampak positif terhadap hidup dan kehidupan manusia di muka bumi.
Apabila Islam tidak berdampak apa-apa terhadap kehidupan di muka bumi, hingga hari ini saya meyakini bahwa kita – sebagai penganutnya – telah salah kaprah memaknai intisari keberislaman.
Karena Islam diturunkan ke muka bumi, sehingga sebagai penganutnya, kita harus membebaskan bumi dari segala bentuk penindasan dan ketidaktentraman.
Dalam pandangan saya, Islam adalah kebudayaan ilahiyah yang lahir atas kerjasama manusia dengan Tuhan dalam membetulkan struktur kehidupan. Utusan Tuhan (baca: para nabi) adalah segelintir manusia yang mendapatkan kehormatan untuk berdiskusi dengan-Nya tentang bagaimana merancang agar kehidupan tidak karut-marut.
Itulah kenapa agama diartikan sebagai “tidak hancur” dan dalam bahasa Inggris berarti religion, yang berarti religere (mengikat).
Ketika umat manusia tidak mampu meresapi saripati keagamaannya dalam hidup, posisinya sama dengan manusia yang lumpuh dan tak berdaya. Islam, ketika dianut dalam kehidupan harus membuahkan karya nyata, sehingga agama ini berfungsi secara manusiawi.
Agama serupa garam yang mampu meresap ke setiap sektor kehidupan, menghidupkan semangat kemanusiaan, dan membebaskan manusia dari segala wujud penindasan.
Islam harus menjadi solusi bagi setiap persoalan yang mendera kehidupan, dan hal ini membutuhkan peran para intelektual yang mampu memproduksi pemikiran-pemikirannya untuk melakukan pembaharuan, tajdid, dan ijtihad kemanusiaan.
Hal ini dilakukan karena tidak semua persoalan dalam hidup bisa kita temukan jawabannya di dalam Al-Quran dan Hadits, sehingga diperlukan kehadiran generasi ulul al-bab, yang mampu menjawab tantangan zaman dengan bekal kemampuan intelektual yang selalu dibimbing Allah.
Kesalehan individual harus selalu menyertai kesalehan intelektual, sehingga dapat menjawab tantangan zaman atas ridha Allah. Tak hanya saleh individual dan intelektual saja.
Kita juga harus memiliki kesalehan sosial dalam menjalani kehidupan yang serba fana ini. Sebab, hanya dengan kesalehan sosial, setiap persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan dapat kita tanggulangi bersama.
Saya pribadi, tidak setuju bila IMM dijadikan sebagai suplier kader politik tanpa menempa mereka dengan analisa sosial politik yang memuat ajaran teologi pembebasan.
IMM, harus menjadi suplier kader politik yang tak hanya mengurusi jabatan, tak hanya gila kekuasaan, dan selalu melakukan intrik politik busuk; tetapi suplier kader politik yang selalu mengutamakan rakyat di atas kepentingan partai politik, golongan, dan pribadi.
Coba saksikan realitas kepolitikan di negeri kita yang kian tidak mengutamakan laku politik adiluhung. Kita juga bisa merasakan bahwa kader politik di negeri ini sudah sedemikian rusak karena ketiadaan idealisme murni dalam hatinya.
Kita menjadi bangsa yang rabun idealisme, tuna moral, dan tiada tuntunan suci dalam beraktivitas di ranah kepolitikan. Tetapi, kondisi ini, jangan lantas membuat gerakan IMM nihil dari aktus intelektual, nihil idealisme, dan tiada semangat untuk menanamkan nilai-nilai adiluhung dalam berpolitik.
Setiap kader IMM yang terjun di ranah kepolitikan harus menjadi suri teladan bagi kader politik lainnya sehingga kehadiran IMM mewarnai dengan kebajikan laku berpolitik.
Sebab, sebagai organisasi otonom, IMM didirikan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah untuk memelihara idealisme bermuhammadiyah, merawat aktivisme berislam, dan menanam gerakan sosial untuk kehidupan di Indonesia yang lebih baik.
Kader IMM jangan lantas terbawa arus gelombang zaman yang nihil dari kegiatan idealisme, intelektualisme, dan aktivisme sosial karena ruh ber-IMM terletak di dalam tiga ranah tersebut.
Untuk konteks Jawa Barat, kita sangat merindukan suatu masa, di mana IMM telah melahirkan tokoh-tokoh nasional yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni di bidang masing-masing.
Salah satu tokoh dari Jawa Barat itu ialah Prof Ahmad Mansur Suryanegara, seorang sejarahwan Muslim yang sangat diperhitungkan di benua Asia. Kekuatan nalarnya sungguh luar biasa, dimana usia sepuh tidak mempengaruhi daya ingatnya yang sungguh menakjubkan.
Dalam konteks ber-IMM, ya…sebetulnya harus melahirkan tokoh seperti halnya Prof Ahmad Mansur Suryanagara dengan menyegarkan kembali gerakan intelektualisme di tubuh organisasi ini.
Untuk menyegarkan kembali aktivitas intelektualisme di tubuh IMM.
Pertama, Hidupkan kembali lingkar kajian dengan membentuk majelis intelektual cendekia; dimana dalam langkah praktisnya setiap kegiatan harus sesuai dengan silabus pengkajian sesuai prinsip gerakan IMM.
Kedua, ciptakan budaya menuliskan pemikiran ke dalam bentuk artikel, yang dikirim ke berbagai surat kabar atau media lainnya, dimana isi kandungan artikel merupakan hasil dari kajian yang dilakukan oleh lingkar kajian di IMM.
Ketiga, para alumni IMM yang tergabung dalam Fokal IMM, harus memberikan dukungan berupa moril dan material untuk menopang kegiatan lingkar kajian.
Untuk saat ini, sekian dulu catatan dari saya. Secara pribadi, saya berhutang budi kepada IMM. Berkat aktif di organisasi ini, saya mendapatkan kekayaan intelektual.
Lantas, kenapa saya berhutang budi?
Sebab, dari IMM lah, saya mendapat suntikan semangat untuk membaca, berdiskusi, dan menulis.
Dari kader senior di IMM juga, saya bisa mengenal media untuk mempublikasikan ide dan pemikiran saya saat menjadi mahasiswa dulu. Bahkan, pekerjaan saya di bidang penulisan juga, sababiyah-nya karena keaktifan di IMM.
Untuk mental, dari IMM lah, saya mendapatkan kepercayaan diri. Dari IMM pula, saya dapat berguru kepada kesalehan sosial KH. Ahmad Dahlan. Bahkan, dari IMM juga, saya merasa menjadi seorang manusia.
Satu hal yang tak saya dapatkan dari IMM.
Apakah itu?
Hehehe…Isteri.
Wilujeng Milad IMM anu ka 57 nyak…tos satengah abad leuwih teun teh nyak…ashiyap segarkeun intelektualitasna ah!!