Iu Rusliana – Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung
BANDUNGMU.COM – Alam pikiran kita setiap hari selalu dibuat gemuruh, bertentangan satu sama lain, bingung dan galau tak berkesudahan. Banjir informasi membuat yang tak menggunakan akal sehat terseret pada jalan kesesatan.
Ini era keberlimpahan informasi pun keberlimpahan komunikasi. Begitu menurut Jhon Keane, menjadi penyebab kemerosotan demokrasi dan kerapuhan sosial.
Bilapun disebut keberlimpahan, yang menerimanya karena terkadang tidak fokus atau terbatas, hanya mendapat serpihan. Publik harus dipandu agar mampu merakit, mengumpulkan puzzle informasi dan menyusunnya menjadi pengetahuan yang benar. Sebuah revolusi budaya literasi yang mendesak untuk dilakukan.
Saat ini, pikiran kerap terombang-ambing oleh gugatan gagasan lainnya, rapuh mudah dipatahkan. Dalam kondisi seperti ini, muncul para idola baru, selebiritis pengetahuan. Bukan peneliti, profesional, dosen, ahli yang serius menekuni ilmu pengetahuan berpuluh tahun.
Mereka yang kerap berada di angkernya menara gading universitas dan berdiskusi dengan mahasiswa secara terbatas.
Selebiritis pengetahuan terkadang jika sepintas sangat terlihat pintar padahal berotak paspasan. Berbicara dengan lancar dan meyakinkan walau penalarannya lemah.
Bekerja sama dengan pengejar jumlah penonton, hasrat viralisasi dan tentu saja rupiah yang jadi buruan.
Boleh jadi mereka tak paham itu penelitian dan bagaimana ilmu pengetahuan dikembangkan. Ibarat pengiklan produk, mereka adalah peng-endors, bukan produsen, apalagi yang berada di laboratorium, yang berjibaku setiap saat menghasilkan inovasi produk. Hadirnya menjadi penegas matinya kepakaran dan lahirnya era pasca-kebenaran.
Menara Sosial Digital
Para ilmuwan sudah seharusnya bergerak dari menara gading ke menara sosial digital. Tidak usah lagi merasa harus membumi, karena media sosial digital telah ada di genggaman.
Dunia ini telah dilipat dalam telepon seluler dan menjadi benda terdekat melekat sejak bangun hingga kembali ke peraduan. Apabila ingin membumi, masuklah ke media sosial-digital.
Tidak elok kalau asyik bersama masyarakat ilmiah, karya kita terbatas dibaca, karena sebagian besar masyarakat itu adalah awam, butuh pengetahuan otentik, bukan sekedar “katanya.”
Artikel yang ditulis di jurnal bereputasi sangat penting, namun tidak berarti mengokohkan kapitalisasi ilmu pengetahuan. Buku yang dipublikasikan di penerbit bereputasi juga sangat wajib, karena itu menggambarkan kualitas karya.
Sebuah tahapan panjang menulis, direview ahlinya, dikembalikan untuk diperbaiki, diserahkan lagi ke penerbit setelah diperbaiki dan ditelaah lagi oleh ahlinya, kemudian diterbitkan, merupakan rangkaian panjang melelahkan, namun menghasilkan kebanggaan berkarya yang tak bisa digantikan oleh apa pun.
Namun jangan abai, membiarkan publik diseret banjirnya kebodohan. Jika menulis artikel jurnal dan buku saja perlu berkolaborasi, kenapa tidak, untuk masuk ke media sosial, sinergi dilakukan.
Mungkin terkait isi yang menarik pemirsa, biarlah para youtuber dan selebgram yang mengelolanya. Namun isi lah konten mereka dengan ilmu pengetahuan.
Jangan biarkan ilmu pengetahuan berada di gudang suci, karena pada akhirnya akan usang sendiri. Bergeraklah dengan aktif menyebarkan, mencerahkan dan menuntun manusia berada di jalan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan bukan untuk ilmu pengetahuan, klaim bebas nilai itu hanya akan jadi dosa peradaban. Ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan dan kemajuan peradaban. Dimensi aksiologi ilmu pengetahuan itu sarat nilai, demikianlah sejatinya harus diyakini ilmuwan.
Bukannya apa, otoritas ilmu pengetahuan kini kalah oleh viralisasi. Kebenaran yang tak diviralkan adalah kekeliruan. Kesalahan yang diviralkan adalah kebenaran.Dunia sudah terbalik-balik dan ini menjadi tanggungjawab ilmuwan untuk memperbaiki keadaan.
Hukum Sturgeon menyatakan bahwa sembilan puluh persen perbincangan di media sosial itu membawa kebisingan, sampah. Saatnya media sosial dikuasai ilmuwan, menawarkan pencerahan disertai perdebatan ilmu pengetahuan yang mencerdaskan. Ujaran kebencian dan hoaks akan dapat disingkirkan pelan-pelan.
Universitas dan ilmuwan harus proaktif untuk menyebarkan ilmu pengetahuan ke masyarakat melalui pengabdian masyarakatnya. Berkomunikasi dengan bahasa awam, jangan bosan atau malas menebarkan kebenaran.
Apabila fungsi ini tidak maksimal, universitas hanya menjadi pelestari ilmu pengetahuan melalui pengajaran, penelitian, penerbitan dan pengarsipan saja.
Thomas Pfeffer dalam bukunya yang terbit tahun 2012 dengan judul “Virtualization Universities; Digital Media and the Organization of Higher Education Institutions” mengingatkan agar digitalisasi ilmu pengetahuan dilakukan, menjadikannya sebagai milik publik, dapat diakses terbuka dan gratis, bukan sebagai komoditas yang harus dibayar.
Menurut Pfeffer, universitas adalah penyedia layanan, bukan vendor komoditas ilmu pengetahuan.
Kecerdasan Bermedia Sosial
Mega proyek dunia maya menjauhkan yang senyatanya, apa adanya dan kesejatian. Digantikan oleh kepalsuan dan pencitraan. Generasi klik, semuanya serba klik dan selesai. Kadang tanpa pikir panjang, begitu mendapat informasi di media sosial, langsung bagikan lagi.
Akibatnya bukan lagi mulutmu harimau mu, kini sudah jarimu harimaumu. Sementara yang mendominasi bumi yang kecil ini sebagian besarnya warga millenial dan post millenial.
Oleh karena, semua orang harus cerdas dan bersama menolak mengidolakan selebiritis pengetahuan. Kita membutuhkan kecerdasan bermedia sosial.
Perangkatnya tidak perlu jauh mencari, cukup pahami tiga rumus, yaitu isi, sumber dan keterkaitan sumber informasi. Dalam khazanah ilmu Islam, yaitu ilmu hadis, disebut matan, rawi dan sanad.
Lihat isinya, jangan langsung sebarkan begitu saja. Bermanfaat, penting, sehat, benarkah? Tahap kedua, sumbernya dari mana? Siapa, apakah memiliki otoritas dan layak dipercaya?
Rumus ketiga memastikan keterkaitan sumber informasi. Bukan dari katanya, apalagi pihak lain yang tak terhubung sama sekali.
Tiga rumus tadi hendaknya dibingkai oleh prinsip moral publik, dimana informasi itu memang tidak akan menimbulkan kegaduhan atau fitnah yang meluas. Kita memang tidak bisa menghindari banjiran informasi dan komunikasi.
Anti media sosial juga bukan solusi, tapi dengan cerdas, aktif menebarkan ilmu pengetahuan, akan menjadi arus baru dari palung besar informasi yang tersebar di publik. Setidaknya tidak menjadi korban hoaks dan penyebar hoaks. Wallaahu’alam.
Sumber: Kompas.com