Oleh: Muhsin MK*
KEBERADAAN masjid Muhammadiyah pada masa lalu berbeda dengan kondisi masjid Muhammadiyah di era modern. Perbedaan tersebut terlihat dalam beberapa aspek berikut.
Pertama, bangunan masjid Muhammadiyah pada masa lalu umumnya sederhana, bahkan ada yang semi permanen dengan material seperti pagar bambu dan kayu. Sebaliknya, masjid Muhammadiyah di era modern dibangun dengan megah dan mewah, beberapa di antaranya memiliki lebih dari satu lantai. Contohnya adalah Masjid At-Tanwir di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng Raya 62, Jakarta Pusat.
Kedua, pada masa lalu, jumlah imam, ustaz, dan khatib yang aktif di masjid Muhammadiyah sangat terbatas, sehingga tugas keagamaan sering kali diemban oleh orang yang sama. Di masa kini, jumlah imam, ustaz, dan khatib jauh lebih banyak, sehingga pelaksanaan tugas keagamaan bisa bergantian, baik sebagai imam, khatib, maupun penceramah.
Ketiga, karena keterbatasan jumlah sumber daya pada masa lalu, kegiatan masjid Muhammadiyah biasanya diisi oleh pimpinan, anggota, atau simpatisan internal Muhammadiyah. Namun, saat ini, masjid Muhammadiyah memiliki lebih banyak imam, ustaz, dan khatib yang berasal dari berbagai kalangan. Tidak semua berasal dari Muhammadiyah, beberapa di antaranya merupakan bagian dari kelompok jamaah atau organisasi lain.
Beragam latar belakang imam, ustaz, dan khatib yang mengisi masjid-masjid Muhammadiyah tentu memberikan dampak positif bagi eksistensi masjid. Hal ini mencerminkan sifat inklusif Muhammadiyah sebagai organisasi yang terbuka.
Namun, ada pula dampak negatif yang perlu diwaspadai, seperti potensi bias atau penyimpangan dalam arah dakwah yang ingin dicapai oleh persyarikatan di masyarakat. Di sisi positif, keberagaman ini memberikan sejumlah manfaat bagi masjid Muhammadiyah, di antaranya:
Pertama, bertambahnya jamaah umum dari kalangan eksternal yang beribadah di masjid Muhammadiyah. Hal ini bisa menjadi pertimbangan DKM, terutama jika jumlah jamaah Muhammadiyah di sekitar masjid relatif terbatas.
Kedua, masjid menjadi lebih makmur dengan kehadiran jamaah dan aktivitas yang menarik perhatian masyarakat luas. Kehadiran imam, ustaz, atau khatib yang populer dapat menjadi daya tarik tersendiri, bahkan bagi jamaah yang tinggal jauh dari masjid tersebut, karena mereka merasa kebutuhan spiritual dan moralnya terpenuhi.
Ketiga, meningkatnya jumlah jamaah pada salat berjamaah dan kegiatan masjid berdampak pada bertambahnya infak yang diterima. Infak yang melimpah ini memungkinkan masjid mengembangkan berbagai aktivitas, tidak hanya di bidang ubudiyah tetapi juga di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan kemanusiaan, yang sesuai dengan kebutuhan jamaah.
Namun, dampak negatif juga dapat muncul di masjid Muhammadiyah. Pertama, masjid Muhammadiyah berpotensi dimanfaatkan oleh jamaah eksternal sebagai tempat pertemuan atau aktivitas yang tidak berkaitan dengan kepentingan dan program persyarikatan. Bahkan, hal ini bisa merugikan jika mereka menggunakan masjid untuk mengembangkan organisasi, komunitas, atau memperkuat paham ideologi mereka sendiri.
Kedua, meskipun jamaah eksternal turut memakmurkan masjid Muhammadiyah, mereka seringkali kurang peduli terhadap pengembangan dan peningkatan aktivitas masjid, termasuk amal usaha serta perjuangan persyarikatan. Mereka cenderung hanya mendukung ustaz yang sepaham atau seideologi, tanpa memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan oleh ustaz yang berbeda pandangan.
Situasi ini menjadi tantangan bagi masjid Muhammadiyah di mana pun berada. Sebagai rumah Allah, masjid terbuka untuk semua muslim yang ingin beribadah dan mengikuti aktivitas di dalamnya, sehingga DKM tidak dapat melarang kehadiran siapa pun.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah solutif dan strategis yang dapat diterapkan tanpa menimbulkan kegaduhan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
Pertama, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) harus berasal dari anggota Muhammadiyah yang secara resmi diangkat dan ditetapkan melalui surat keputusan pimpinan persyarikatan. Selain itu, DKM juga perlu memiliki tugas dan fungsi yang jelas, sesuai dengan hasil musyawarah Muhammadiyah. Dengan langkah ini, DKM akan lebih berhati-hati dalam menetapkan imam, ustaz, dan khatib yang bertugas di masjid-masjid milik Muhammadiyah.
Kedua, Muhammadiyah perlu menggiatkan kaderisasi untuk menghasilkan imam, ustaz, dan khatib yang berkualitas. Langkah ini bertujuan mencetak sosok-sosok yang handal dan mampu memenuhi kebutuhan masjid-masjid persyarikatan, sehingga tidak perlu lagi bergantung pada kalangan eksternal. Dalam hal ini, peran Majelis Tablig Muhammadiyah menjadi sangat penting untuk memastikan kebutuhan tersebut terpenuhi, sekaligus menarik lebih banyak jamaah ke masjid Muhammadiyah.
Ketiga, lembaga pendidikan yang dapat mencetak imam, ustaz, dan khatib berkualitas, seperti pesantren, Muhammadiyah Boarding School (MBS), dan Aisyiyah Boarding School (ABS), perlu diperbanyak jumlahnya serta ditingkatkan kualitasnya. Hal ini akan mendukung keberlanjutan pengelolaan masjid-masjid Muhammadiyah dengan sumber daya internal yang mumpuni.
Diharapkan dari lembaga-lembaga pendidikan ini akan lahir imam, ustaz, dan khatib unggul dan berkualitas dari kalangan internal Muhammadiyah. Mereka tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan masjid-masjid internal seperti di MBS dan ABS, tetapi juga masjid-masjid Muhammadiyah di berbagai wilayah. Lebih dari itu, mereka diharapkan mampu menggerakkan kegiatan ibadah dan dakwah di masjid-masjid Muhammadiyah dengan lebih baik dan berkemajuan. Wallahu a’lam.
*Aktivis Muhammadiyah dan Pegiat Sosial