PMB Uhamka
Islampedia

Tauhid Warga Muhammadiyah Harus Multiaspek dan Multidimensi

×

Tauhid Warga Muhammadiyah Harus Multiaspek dan Multidimensi

Sebarkan artikel ini

BANDUNGMU.COM, Wonosobo — Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa tauhid bagi Muhammadiyah harus operasional dan multiaspek.

Menurut Haedar Nashir, tauhid tidak cukup hanya dimaknai dalam tiga macam ataupun tauhid yang besifat syadid. Bahkan Haedar menyebut, tauhid harus menjadi kosmologi dan epistemologi hidup warga Muhammadiyah.

buku

“Tauhid jadi kosmologi hidup menjadi epistemologi kehidupan yang utuh. Sehingga orang yang pemahaman tauhid dan belajar tauhid harus multiaspek,” ungkap Haedar di Wonosobo pada Kamis (20/07/2023).

Haedar melanjutkan, Tuhan jangan hanya dilihat dari sisi syadid dan muthahar. Namun, harus multiaspek, sifat rahman, rahim, dan latif juga harus diperhatikan sebagai sifat yang melekat pada Tuhan.

Selain multiaspek, tauhid bagi warga Muhammadiyah juga harus multidimensi. Merujuk beberapa buku, Haedar menjelaskan dari pemahaman tauhid yang multidimensi tersebut melahirkan gagasan teologi pembebasan.

Baca Juga:  Bagaimana Kedudukan Harta dalam Islam? Begini Penjelasan Guru Besar UIN Bandung

Dalam tradisi Muhammadiyah, nilai-nilai pembebasan dari tauhid tersebut dapat ditemukan dalam teologi Al-Maun yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan.

Berbeda dengan teologi pembebasan Asghar Ali, teologi Al-Maun mengubah dari ketidakberdayaan menjadi berdaya melalui gerakan kultural, kemudian struktural.

“Al-Ma’un sebenarnya teologi pembebasan, Al-Ma’un nya KH Ahmad Dahlan. Dari tauhid membebaskan kehidupan dari berbagai macam belenggu. Belenggu itu bukan hanya kezaliman mereka yang berkuasa, melainkan kezaliman atau kondisi buruk dari sistem yang membuat orang menjadi miskin, bodoh, termasuk kolonialisme itu semuanya bentuk dari kezaliman, kolonialisme yang baru maupun yang baru,” Kata Haedar.

Hijrah artifisial

Masih dalam momen tahun baru Hijriah, Haedar berpesan kepada warga Muhammadiyah supaya memaknai hijrah jangan secara artifisial (simbolik) semata.

Baca Juga:  Kenapa KH Ahmad Dahlan Menempuh Jalur Dakwah Pelayanan Kesehatan? Ini Penjelasannya

Hijrah harus dimaknai juga secara substantif dengan menghadirkan Islam sebagai dinul hadharah (agama peradaban).

“Sekarang ada tren di tengah suasana ingin hijrah lalu hal-hal simbolik artifisial. Tidak salah yang simbolik karena agama itu ada yang simbolnya, ada yang parsialnya, tetapi tidak cukup,” ungkapnya.

Kaku dan rigid

Dalam kacamata Haedar, semangat hijrah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat masih lebih cenderung pada istilah-istilah yang kearab-araban. Menurutnya hal itu baik, tetapi jangan sampai menegasikan yang lain sehingga menghilangkan jati diri.

Semangat hijrah yang serba bablas ini menjadikan istilah-istilah dari bahasa Arab diagamakan menjadi kaku dan rigid. Bahkan tidak jarang juga sampai mempersulit komunikasi dan pola interaksi sesama muslim ataupun dengan masyarakat umum.

Baca Juga:  Dadang Kahmad Jelaskan 7 Praktek Islam Berkemajuan

“Di medsos kan ketahuan usianya lalu mengucapkan milad barakallahu fii umriik, misalkan. Tidak apa-apa, tetapi jangan mensulit-sulitkan istilah dalam Islam,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, ada juga kelompok yang rigid tersebut sampai mempertentangkan masyaallaah dengan subhanallaah dalam penggunaannya. Guru Besar Sosiologi ini curiga, berbagai kekakuan dalam berislam ini karena dangkalnya ilmu.

“Mentertentangkan masalah masyaallaah dan subhanallaah itu karena dangkal, itu ditemukan karena mubalig instan ya mungkin rujukannya dari Google, kitabnya Mbah Google, salah satu, akhirnya salah semua. Kalau toh letak istilah itu benar, tetapi itu tidak cukup istilah,” tandasnya.***

PMB Uhamka
buku