PMB Uhamka
Opini

Badaliyya

×

Badaliyya

Sebarkan artikel ini

Oleh: Radea Juli A Hambali*

BANDUNGMU.COM – Bertemu kembali dengan teman lama atau berkenalan dengan sosok baru sering kali membawa perubahan dalam cara pandang dan pemahaman kita. Terlebih jika pertemuan itu dilandasi niat tulus untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Dalam momen seperti itu, kita sering merasa menjadi pribadi yang berbeda. Pikiran seolah membisikkan perintah untuk menahan diri dari penilaian terburu-buru, sementara hati dengan lembut mengajak kita melatih epoche—menunda penghakiman.

Hasilnya, cara pandang kita menjadi lebih maju, cakrawala pemahaman semakin luas, dan kita menyadari bahwa “self-sufficiency” hanyalah ilusi arogansi. Wawasan sejati tidak hanya berasal dari apa yang kita lihat, tetapi juga dari suara dan perspektif orang lain, termasuk yang baru kita temui.

Baca Juga:  Menguji Militansi Warga dan Pegawai Muhammadiyah

Badaliyya adalah istilah yang mengemas semangat perjumpaan ini. Gerakan yang diperkenalkan oleh Louis Masignon ini mengajarkan makna kehadiran, pertemuan, dan dukungan—termasuk dari mereka yang asing bagi kita. Badaliyya menegaskan bahwa melalui relasi dengan orang lain, kita dapat berubah dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Sebagaimana Heidegger meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang “terlempar” ke dunia, ia tidak pernah hidup sendiri. Sebagai being-in-the-world, manusia secara mendasar bersifat relasional dan memerlukan kehadiran “yang lain” dalam kehidupannya. Relasi ini memungkinkan manusia untuk merasakan keberadaan dan perannya sebagai being-there-for-the-other.

Baca Juga:  BPR Bekerja Bukan Semau Gue

Keterbukaan menjadi inti dari badaliyya. Sebagaimana dikatakan Jean-Luc Marion, keterbukaan terhadap kehadiran “yang lain” adalah “sumber karunia.” Ini adalah sikap yang memungkinkan pihak-pihak dalam dialog untuk membuka ruang dan menerima kehadiran yang lain. Dalam keterbukaan ini, identitas baru dapat terbentuk melalui proses saling belajar dan pengakuan.

Idul Fitri menjadi salah satu momentum paling indah dari semangat badaliyya. Ucapan maaf di akhir Ramadan menjadi peristiwa simbolik yang penuh kerendahan hati, di mana manusia mengakui kemungkinan kesalahan mereka dan meminta maaf. Memaafkan dan meminta maaf adalah tindakan yang mencerminkan keinginan untuk berubah dan menjadi lebih baik.

Baca Juga:  Membumikan Muhammadiyah, Melangitkan Cita-cita dan Tujuannya

Momen saat mata saling bertemu, senyum tersungging, dan tangan berjabat bukan sekadar ritual sosial, melainkan pernyataan spiritual. Di sanalah dosa, kesalahan, dan kekhilafan dilebur dalam semangat keikhlasan dan harapan baru. Sebuah tanda bahwa manusia dapat terus tumbuh menjadi lebih baik. Allahu a’lam. Tabik!

*Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung

PMB Uhamka