Oleh: H. Idat Mustari | Advokat dan Komisaris BPR Kerta Raharja
BANDUNGMU.COM – Viral video yang berdurasi 1.16 menit di salah satu group Facebook Info Ciparay, yang memperlihatkan ada dua orang wanita pegawai koperasi yang dipukuli oleh seorang laki-laki hingga ke luar darah di sekitar wajahnya.
Tentu saja sudah seharusnya aparat penegak hukum (kepolisian) dapat segera memproses secara hukum kepada pelakunya. Setiap orang yang melakukan tindak kekerasan, penganiayaan dapat dijerat Pasal 351 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Biasanya, media lebih banyak memviralkan peristiwa yang diakibatkan ulah penagih utang yang melakukan tindakan kekerasan, ancaman seperti saat debt collector yang menarik paksa mobil selebgram Clara Shinta, sekaligus membentak anggota Bhabinkamtibmas bernama Aiptu Evin Susanto. Yang berakhir para debt collector tersebut ditangkap oleh Polda Metro jaya.
Pekerjaan menagih utang pada debitur atau konsumen pasti akan selalu ada terkhusus pada pelaku usaha di bidang jasa keuangan (PUJK), seperti Bank, Multifinance, Koperasi dan lain sebagainya. Mengingat pada kenyataannya tidak semua debitur taat pada perjanjian yang telah disepakati. Selalu saja ada konsumen yang wanprestasi atau lalai memenuhi janjinya.
Ketidaktaatan debitur dalam melaksanakan kewajibannya membayar angsuran tepat waktu dan berlangsung lama bisa mengakibatkan kredit bermasalah bahkan macet. Kredit bermasalah adalah kredit yang menunggak tapi belum tentu macet. Namun Kredit macet dipastikan bermasalah.
Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) akan berusaha mencegah kerugian usahanya yang diakibatkan oleh kredit bermasalah ataupun macet dengan melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah. Biasanya untuk penyelesaian kredit bermasalah selain menggunakan tenaga intern yakni karyawan di bagian penagihan, tak jarang juga menggunakan jasa penagih utang atau debt collector.
Risikonya adalah sering kali mereka yang melakukan penagihan utang ini tidak memiliki keterampilan komunikasi yang baik, minim pengetahunan psikologi manusia dan psikologi sosial serta ilmu hukum, sehingga bertindak di luar kendali yang tentu saja bisa merugikan PUJK.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perilaku para penagih utang atau debt collector harus menjadi tanggung jawab dari pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) yang memperkerjakan mereka. Bahkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menggunakan jasa debt collector yang terbukti melakukan tindak pidana bisa dikenakan sanksi administratif oleh OJK.
Di jaman Belanda, orang yang berutang dan tidak melaksanakan kewajibannya dengan cara curang bisa disandera artinya tak perlu repot-repot melakukan penagihan pada debitur nakal sebab ada lembaga sandera (gijzeling).
Tentu saja, sekarang lembaga sandera seperti di jaman belanda sudah tidak ada. Maka salah satu cara penyelamatan kredit yah itu, dengan melakukan penagihan secara langsung kepada debitur, tak jarang bisa berakibat, yang ditagih merasa tertekan, terancam atau sebaliknya yang ditagih lebih galak daripada yang menagih bahkan berakibat pemukulan.
Sejarah Debt Collector
Menurut berbagai literasi, debt collector merupakan kumpulan orang/sekumpulan orang yang menjual jasa untuk menagih utang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka.
Adanya jasa penagih utang, tidak terlepas dari dihapusnya Lembaga sandera (gijzeling) yang ada jaman Belanda. Lembaga Sandera (gijzeling) diadakan untuk mencegah kemungkinan-kecurangan dari debitur dalam upayanya untuk menghindari eksekusi yang akan dilakukan oleh kreditur.
Debitur bisa menyingkirkan habis dulu barang-barangnya atau pura-pura menjualnya kepada orang lain—umumnya saudara-saudaranya, sehingga kreditur saat melaksanakan eksekusi, tidak ada lagi barang yang berharga yang tersisa.
Untuk mengatasi hal tersebut, kreditur saat itu, dengan syarat-syarat tertentu bisa meminta debitur disandera. Dengan dimasukannya debitur dalam kurungan diharapkan ia melunasi utang-utangnya.
Lembaga sandera seperti itu sudah dihapus, urusan utang-piutang pun masuk dalam ranah perdata yang harus diselesaikan lewat jalur pengadilan perdata. Para kreditur pun mencari keadilan, agar debitur mau—-bisa membayar utang-utangnya melalui jalur pengadilan tak serta merta cepat memperoleh putusan.
Proses pengadilan perdata yang lama, tak jarang disalah gunakan oleh para debitur nakal sebagai upaya mencari celah untuk menangguhkan kewajibannya atau tidak ada niat menyelesaikan utangnya.
Para kreditur pun berusaha menutup kerugian dari debitur nakal menggunakan jalur penyelesaian di luar pengadilan. Yang kemudian menjamurnya usaha jasa penagihan atau yang dikenal dengan “Debt Collector.”
Ancaman pengenaan paksa badan (gijzeling) pun ada sekarang, hanya saja hal ini, ditujukan untuk para debitur yang membangkang membayar hutang pada negara, bukan debitur nakal yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada perusahaan leasing.
Akibat semakin banyaknya konsumen atau nasabah yang nakal, sementara tidak adanya sangsi pidana bagi mereka, maka jasa penagih utang akan terus diperlukan oleh perusahaan leasing atau sejenis.
Simbiosis mutualisme antara Perusahaan dan debt collector pun terjadi. Perusahaan leasing memerlukan cepat kendaraan bisa ditarik agar kerugian perusahaan tidak terus membengkak, Para penagih utang akan menarik kendaraan demi insentif, fee penarikan dan lain sebagainya.
Salahkah orang menjual jasa jadi penagih utang? Tentu tidak salah, apalagi ini menjadi sumber nafkah bagi dirinya dan keluarganya. Yang jadi salah adalah ketika melakukan pekerjaan ini tanpa memperhatikan aturan hukum, regulasi perundang-undangan, etika, norma serta kurangnya pengetahuan berkomunikasi– bernegoisasi yang baik dan benar hingga harus menanggung akibat dari resiko hukum.
Begitupun sebenarnya simple jika jadi nasabah atau debitur ingin tidak berhubungan dengan debt collecor, caranya penuhi saja kewajiban membayar angsuran tepat waktu sesuai isi kontrak dan hindari wan prestasi. Sangat mudah bukan? ***