OLEH: ACE SOMANTRI — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Tidak terasa dua tahun lebih covid-19 berkembang biak dan bermutasi dengan berbagai macam varian. Jutaan umat manusia menjadi mangsanya.
Fenomena ini sangat dirasakan dampaknya secara langsung di berbagai aspek kehidupan. Tentu yang paling berpengaruh secara mendalam bidang kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Tiga sektor tersebut memperlihatkan kemampuan setiap negara dalam menyikapi dan menghadapinya.
Di Indonesia khususnya diakui oleh publik menghadapi covid-19 sejak awal terkesan meremehkan. Ketika terjadi covid-19 di Kota Wuhan, Indonesia malah menonton, dikira tidak akan sampai ke Indonesia, itu hanya terjadi di sana.
Akibat tidak paham dan tidak memiliki jangkauan berpikir lebih jauh atau sudah mengetahui, tetapi dibiarkan karena memang ini bagian dari rencana global dan pihak-pihak terkait diam.
Fakta yang ada, dampak dari peristiwa covid-19 yang didramatisir seolah-olah pandemi sangat mematikan jiwa manusia. Ternyata ada yang terlupakan dan tidak dipahami secara serius dari skenario tersebut, yakni ada efek yang berdampak pada aktivitas manusia.
Namun, yang paling terasa adalah disruption (disrupsi) menjadi sosok pemain utama. Segala bidang terdisrupsi sangat cepat sehingga semua aktivitas harus menggunakan teknologi digital. Sementara semua bengong tidak terlalu banyak berbuat, hanya segelintir orang langsung menikmatinya dan meraup keuntungan sangat besar berlipat-lipat.
Sayang seribu sayang, dunia pendidikan yang seharusnya peka dan responsip malah menjadi korban disrupsi secara cepat dan tiba-tiba. Termasuk pergurun tinggi yang seharusnya jauh-jauh hari mempersiapkan diri juga ikut bengong.
Hal itu terbukti dengan banyak perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dampak dari peristiwa tersebut. Bahkan sebagian terancam gulung tikar akibat disrupsi saat ini terjadi.
Sebanyak 40 persen kegiatan ekonomi sudah menggunakan perangkat teknologi digital dan memorakporandakan dunia industri konvensional. Kerugian besar menghantam pelaku usaha kolonial, tumbuh subur pelaku usaha milenial.
Hal tersebut berdampak bagi pelaku kegiatan penyelenggaraan pendidikan. Apabila tidak segera beralih atau bermigrasi dengan dunia digital lambat laun mati ditelan masa.
Saat ini disukai atau tidak, Mendikbudristek sudah dipegang oleh pelaku usaha digital sehingga konsekuensinya pola dan model wajah dunia pendidikan Indonesia akan didigitilaisasi. Tidak akan ada ampun sama sekali. Hampir semua sempurna. Data peserta didik tingkat prasekolah, dasar, dan menengah dalam genggaman sang menteri milenial pemilik bisnis digital.
Semua tidak sadar bahwa seratus juta data kurang lebih tinggal dimanfaatkan, bisa untuk kepentingan pengembangan bisnis, bahkan sangat memungkinkan untuk kepentingan politik kekuasaan. Lebih bahaya data ini sudah tergadaikan, semuanya serba mungkin. Hal itu dapat dibaca dan diprediksi hanya oleh nalar keilmuan yang dimiliki.
Yang muda yang memimpin
Paradigma pendidikan saat ini benar-benar terdisrupsi. Para pakar pendidikan sebagian besar bengong dan kelimpungan. Menyikapi fenomena disrupsi sudah diingatkan jauh sebelum covid-19.
Namun, manusia keumuman dengan budaya dan tradisi berpikir cenderung masih percaya keajaiban bersifat mistisisme. Kecepatan perubahan seolah-olah peristiwa sesaat dan berkeyakinan akan kembali pada semula, padahal itu permulaan budaya cepat.
Muncul kesadaran nalar intelektualnya ketika sudah menampar muka dan menjerat lehernya. Keakuan sebagai seorang pakar, kadang-kadang tidak ingin membuka diri untuk sadar dan menerima ketidakmampuan.
Pergantian generasi tidak bisa dimungkiri. Yang sudah lansia segera meletakan jabatan dan amanah dari berbagai bidang. Jika sayang dan punya jiwa besar untuk kemashlahatan umat, bangsa, dan negara, maka serahkan secepatnya kepada generasi muda yang masih memiliki tenaga, daya juang, serta memiliki portofolio penggerak dan pembaharu.
Dunia pendidikan titik vital kemajuan sebuah masyarakat. Pergeseran paradigma pendidikan tidak terfokus pada ketekunan, tetapi pada kecepatan menangkap peluang dan memanfaatkan kesempatan menjadi pelaku dan pemain utama dalam gelanggang kehidupan secara terbuka.
Siapa pun yang mampu menjebol tradisi bisu, tuli, dan buta dalam perubahan, itulah mereka yang akan menjadi pemenang permainan. Oleh karena itu, paradigma pendidikan harus mengedepankan corak dan warna sesuai dengan kebutuhan saat ini dan hari esok berdasarkan kajian dan kalkulasi prediksi yang akurat.
Kolaborasi dan sinergi multikompetensi dan jejaring institusi industri terkini sangat dibutuhkan. Namun apabila hal itu tidak segera kita lakukan, bersiaplah pendidikan kita akan tertinggal sangat jauh dari negara lain.***