PMB Uhamka
Opini

Filosofi Do Less Then Obsess

×

Filosofi Do Less Then Obsess

Sebarkan artikel ini
Dr Zulkaida Akbar PhD, fisikawan, peneliti nuklir, dan alumnus Florida State University (Foto: pribadi).

Oleh: Dr Zulkaida Akbar PhD, Fisikawan, peneliti nuklir, alumnus Florida State University 

BANDUNGMU.COM, Bandung — Pada 1911, dua tim berlomba untuk mencapai kutub selatan.

Tim pertama dipimpin oleh Robert Falcon Scott, seorang perwira angkatan laut Inggris.

Scott mendapat dukungan penuh dari kerajaan Inggris. Tim kedua dipimpin oleh Roald Amundsen dari Norwegia.

Scott yang mendapat dukungan penuh kerajaan Inggris tentu saja unggul dari sisi logistik dibandingkan dengan Amundsen.

Scott membawa 65 kru, 5 jenis transportasi yakni anjing, ski, siberian poni, motor sledges, dan man-hauling (saya tidak tahu terjemahan tepatnya).

Sementara itu, Amundsen hanya membawa 19 kru dan cuma mengandalkan anjing sebagai alat transportasi.

Sebuah pertandingan tak seimbang. Namun ibarat David vs Goliath, Amundsen berhasil mencapai kutub selatan 34 hari lebih awal dibandingkan dengan Scott.

Baca Juga:  Kasus Covid Melonjak, Haedar: Barangkali Kita Abai dan Terlalu Sombong

Bagaimana tim Amundsen bisa memenangi perlombaan ini meski logistiknya jauh lebih kecil?

Dua jenis anjing dan Jiro Ono

Morten T Hansen, seorang professor managemen di Barkeley mengutip cerita ini di bukunya yang berjudul Great at Work: How Top Performers Do Less, Work Better, and Achieve More.

Perlombaan mencapai kutub selatan ini menjadi ilustrasi dari prinsip pertama yang Morten tekankan “Do less, then Obsess”.

Amundsen hanya memiliki anjing, tapi ia terobsesi untuk memiliki anjing yang superior.

Ia melakukan riset dan menemukan bahwa anjing jenis Greenlander lebih baik dibandingkan dengan Siberian Husky.

Amundsen meluangkan waktu lebih untuk mendapat anjing terbaik serta mengajak pelatih anjing terbaik di timnya.

Baca Juga:  Menelaah Alasan Kenapa Jerman Jadi Poros Teknologi Canggih Dunia

Ada beberapa cerita lain yang disuguhkan Morten guna mendukung kesimpulannya tentang “Do less then Obses” sebagai prinsip pertama meraih produktivitas.

Di antaranya adalah Jiro Ono, yang telah dinobatkan sebagai koki sushi terbaik di dunia.

Jiro tidak punya beragam menu sushi. Ia hanya fokus pada beberapa menu, tapi ia sangat terobsesi untuk membuat yang terbaik.

Ia tahu bagaimana mendapat tuna yang terbaik. Bahkan, Jiro tahu bahwa ia harus memijat gurita selama 40-45 menit untuk memastikan dagingnya dalam kondisi terbaik sebelum diolah.

Bagaimana dengan Indonesia?

Buku Morten ditulis dalam konteks produktivitas diri dan tim. Namun, prinsip-prinsipnya bisa dikaitkan dalam konteks lebih besar, yaitu negara.

Baca Juga:  Tanggapan Muhammadiyah Atas Terpilihnya Pimpinan PBNU yang Baru

Jika Indonesia diibaratkan sebagai perusahaan, apa produk utamanya?

Kita adalah negara kepulauan, tapi kabarnya telah sekian lama kita memunggungi laut.

Saya senang mendengar ada SMK yang bisa merakit mobil dan pesawat.

Pun ada juga SMK yang sangat oke dalam bidang animasi. Namun, berapa banyak SMK yang fokus pada produk olahan laut?

Berapa banyak industri yang mengolah turunan hasil laut seperti rumput laut?

Ada berapa banyak jurusan kelautan, perikanan, perkapalan, dibandingkan dengan jurusan Teknik Elektro, misalnya?

Berapa ragam pembiayaan kepada nelayan jika dibandingkan kepada petani?

Seberapa besar kekuatan angkatan laut kita?

Berapa banyak ahli Marine biology dibandingkan Microbiology?

Dan sebagainya.

Sekali lagi, less then obsess!

Semoga bermanfaat.***

PMB Uhamka