Oleh: Haedar Nashir — Ketua Umum PP Muhammadiyah
BANDUNGMU.COM — Tema “Kebhinekaan” sudah lama memenuhi jagad publik Indonesia. Lebih bergelora dalam sepuluh tahun terakhir. Para pejabat, elite, dan warga bangsa fasih sekali bicara tentang kebhinekaan.
Kebhinekaan bertumbuh bersama paham pluralisme. Pluralisme semua hal, dari pluralisme kebangsaan sampai keagamaan. Salam dan doa bernuansa kebhinekaan pun makin terbuka. Seperti biasa, setiap paham berubah ada yang menjadi radikal atau ekstrem. Paham kebhinekaan pun tidak jarang menjadi keras dan berlebihan.
Kebhinekaan oleh sebagian orang dipertentankan dengan agama, sehingga menjadi anti agama. Lalu tumbun peyorasi tentang agama dan umat beragama.
Seperti tulisan kaos yang populer di ruang publik, “Kalo Surga Milik Kaummu, Biarkan Kami di Neraka Dengan Kebhinekaan”. Demi kebhinekaan rela diri masuk neraka.
Setiap ungkapan radikal, ekstrem, intoleran, tororisme, anti-kebhinekaan, dan yang buruk-buruk dalam kehidupan kebangsaan sering dilabelkan pada agama dan umat beragama. Khususnya Islam. Meski sulit mencari tautan objektif, itulah yang mengemuka di ranah publik kebangsaan saat ini.
Namun ada yang janggal. Kenapa di negeri ini jarang digelorakan jargon “Tunggal Ika” atau “Ketunggalan” alias “Keekaan” yang menyertai tema Kebhinekaan. Bukankah lambang negara Republik Indonesia yaitu Garuda Pancasila bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika”. Beragam tetap satu. Satu dalam keragaman!
Virus Perpecahan
Indonesia saat ini meniscayakan dayarekat yang kuat untuk bersatu. Jujur setelah dua kali Pemilu 2014 dan 2019 di tubuh bangsa ini tertular virus pembelahan yang mengarah pada perpecahan. Bermula dari pilihan politik yang berbeda, kemudian berubah menjadi pembelahan politik dan ideologis. Label kadrun masih terus diproduksi disertai aura anti-Arab yang beririsan dengan anti-Islam tertentu. Sama halnya dengan label Komunis di seberang lain.
Dunia keagamaan terbawa arus sentimen pembelahan bernuansa konflik politik-ideologis itu, yang bertemali dengan berbagai faktor yang saling beririsan. Sentimen keagamaan itu baik dibawa oleh sebagian umat beragama yang terlampau jauh membawa agama pada sengketa politik maupun pihak lain yang tidak suka agama dilibatkan dalam urusan politik.
Sentimen ras dan kesukuan pun sama terangkat dalam isu pembelahan politik Pemilu itu. Sejumlah kasus dan gesekan yang melibatkan kedua aspek yang sensitif itu menyeruak ke permukaan ketika suasana Pemilu khususnya untuk Pemillihan Presiden memanas pada masa dan sesudah kontestasi politik itu berlangsung. Rekam jejak media digital dapat dirujuk pada dua isu panas tersebut, yang mengingatkan pada konflik politik-ideologis era 1955-1965.
Isu radikalisme, terorisme, intoleransi, dan kebhinekaan kian menambah tajam arena pembelahan politik-ideologis. Pro-kontra dan tarik-menarik pemikiran maupun kontradiksi di sekitar isu-isu sensitif tersebut terus berlangsung.
Semua sungguh merugikan dan tidak ada yang diuntungkan oleh juali-beli isu-isu sensitif bernuansa SARA dan ideologis tersebut. Pola pikir moderat berhenti di ranah umum yang cenderung retorik, jauh dari membumi di realitas objektif dalam memahami dan menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan. Urusan “Toa” pun jadi perkara ideologis yang berat dan rumit.
Pertanyaan reflektif dan objektif, siapa sesungguhnya yang radikal, ekstrem, teroris, intoleran, dan anti-kebhinekaan di negeri ini? Hingga kapan pembelahan politik nasional itu berakhir.
Semua tergantung Kita Bangsa Indonesia. Kita dengan “K” huruf besar dan Bangsa dengan “B” huruf besar, yang menunjukkan semua unsur bangsa Indonesia tanpa kekecualian. Semua komponen bangsa dari beragam suku, agama, ras, kedaerahan, dan golongan tanpa pengecualian. Termasuk dari unsur partai politik dan pejabat publik yang yang harus bertanggungjawab meredakan perselisihan kebangsaan ini.
Karenanya penting meneguhkan keindonesiaaan dengan jiwa “Bhinneka Tunggal Ika” yang utuh antara “kebhinnekaan” dan “ketunggalan” secara moderat atau dengan pandangan moderasi agar tidak terjebak pada paham yang sempit, parsial, dan radikal-ekstrem atau radikal-liberal mengenai kebhinekaan.
Artinya “Bhinneka” dan “Tunggal Ika” itu satu kesatuan, bukan sesuatu yang terpisah. Jangan terus mengelorakan kebhinekaan, seraya lupa atau abai menyuarakan ketunggalan atau kesatuan dan persatuan sehingga terjadi ketidakkeseimbangan. Sudahi membidik anti-kebhinekaan kepada golongan tertentu, tanpa refleksi apakah diri sendiri sudah benar-benar berpaham Bhineka Tunggal Ika secara jujur dan autentik.
Jiwa Persatuan
Spirit kebhinekaan mesti disatupaketkan dengan ketunggal-ikaan atau persatuan. Indoesia sendiri dibangun di atas pilar “Bhineka Tunggal Ika”. Bukankah di dalamnya terjadi perpaduan antara “kebhinekaan” dan “ketunggalan” sebagai satu kesatuan yang bersenyawa. Kebhinekaan tanpa persatuan dan kesatuan tidak akan kokoh, sama halnya dengan keekaan tanpa kebhinekaan tentu menjadi rapuh.
Menurut Anthony Reid (2018), “Indonesia menjadi titik temu persatuan nasional seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan sebagai era baru yang di era Nusantara berpencar dan menjadi entitas sendiri-sendiri yang tidak mengarah ke persatuan.”. Artinya dimensi persatuan dan kesatuan melekat dengan jatidiri dan kesejarahan bangsa Indonesia, selain tentang keragaman atau kebhinekaan.
Indonesia dibangun di atas fondasi persatuan dan kesatuan. Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 ketika membahas tentang pentingnya persatuan Indonesia atau Indonesia yang satu. Dia dengan tegas menyatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Bung Karno juga menolak chauvinisme, yang berpaham “Indonesia uber Alles”, yang mengaku bangsa Indonesia termulia sembari meremehkan bangsa lain. Dari paham kesatuan itu maka setiap bentuk oligarki, monopoli, dan kekuasaan mutlak oleh satu orang atau segelintir pihak dalam hal apapun berlawanan dengan asas persatuan.
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara resmi tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Dalam Pasal 5 disebutkan “Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA.”
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” mengandung makna bahwa keragaman yang hidup di tubuh bangsa Indonesia itu memiliki fungsi esensial pada persatuan dan kesatuan. Bhinneka artinya “beragam” atau “berbeda-beda”, tunggal bermakna “satu”, sedangkan “ika” artinya “itu” sebagai kata penunjuk. Beragam menjadi satu. Satu dalam keragaman. Bukan beragam untuk beragam, apalagi beragam untuk berpecah. Bukan kebhinekaan untuk kebhinekaan maupun keragaman hanya untuk pestapora keragaman.
Bangsa Indonesia sendiri lahir, tumbuh, dan berkembang selain atas keragaman juga karena spirit kesatuan dan persatuan yang hidup di negeri tercinta ini.
Wertheim sosiolog Belanda yang menulis “Indonesian Society in Transition, a Study of Social Change” (1950), menegaskan: “Bhineka Tunggal Ika, yang berarti “persatuan dalam perbedaan” merupakan moto resmi Republik Indonesia. Ungkapan ini mengekspresikan suatu keinginan kuat, tidak hanya kalangan pemimpin politik tetapi juga kalangan berbagai lapisan penduduk, untuk mencapai kesatuan meskipun ada karakter yang heterogen pada negara yang baru terbentuk ini. Pada gilirannya, persamaan ini akan mensyaratkan adanya karakteristik budaya yang sama yang mendasari heterogenitas itu.”
Sumpah Pemuda 1928 dengan tegas mendeklarasikan “Satu Indonesia”. Pertama: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia”. Kedua: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Ketiga: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
UUD pasal satu ayat (1) menegaskan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Lebih khusus sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia. Semua menegaskan tentang kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai aspek esensial dan fundamental dalam berbangsa dan bernegara.
Menggelorakan kesatuan merupakan energi positif untuk mencegah perpecahan dan merakat persatuan Indonesia. Jangan sampai menggelorakan kebhinekaan sambil mengoyak ketunggalan, yang buahnya saling curiga, kebencian, pembelahan, dan perpecahan.
Ketika MPR periode 2009-2014 mempublikasikan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa Bernegara dengan salah satu pilarnya Bhinneka Tunggal Ika, yang dikehendaki ialah persatuan. MPR di bawah kepemimpinan Taufik Kiemas saat itu tidak menghendaki Indonesia mengalami perpecahan seperti tragedi bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia.
Karenanya bersamaan dengan gema kebhinekaan, pada saat yang sama penting dirayakan gelora “ketunggalan” atau “keekaan” dalam satu kesatuan jiwa “Bhinneka Tunggak Ika” menuju Persatuan Indonesia. Pandangan “Bhinneka Tunggal Ika” niscaya dikonstruksi secara moderat dengan perspektif modarasi yang utuh dan tidak bias ekstremitas.
Jauhi pandangan radikal-ekstrem yang memecah Bhineka Tunggal Ika dalam nalar antagonistik yang kerdil dan serpihan. Hindari sikap dan pandangan kebhinekaan yang menebar virus perpecahan di negeri tercinta. Energi persatuan penting didorong kuat ke depan untuk menjadi alam pikiran kolektif yang positif di ruang publik. Karena sejatinya Indonesia itu tidak hanya “Bhinneka” tetapi “Tunggal Ika”!*
*Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Harian Republika edisi Sabtu (26/02/2022)