BANDUNGMU.COM, Semarang — Untuk memajukan taraf hidup masyarakat, Indonesia dianggap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir perlu melakukan dua hal konkret.
Pertama, mengubah mindset umat Islam dan bangsa Indonesia. Kedua, mengakselerasi kinerja pusat-pusat keunggulan yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dua hal ini, kata Haedar, lebih konkret untuk memajukan bangsa daripada mempertaruhkan nasib pada sosok pemimpin yang dikategorikan sebagai pemimpin merakyat.
“Perlu perubahan mindset di tubuh umat Islam dan bangsa Indonesia jika ingin maju. Selain mengubah pola pikir komunalitas yang irasional kepada cara berpikir yang lebih rasional, objektif, meritokrasi, berbasis sistem yang good governance, dan insyaallah Muhammadiyah siap dalam sistem yang seperti ini,” ujarnya.
“Namun, kalau sistem yang gontok-gontokan, kita tidak pernah naik kelas sebagai bangsa dan sebagai umat,” imbuhnya, dikutip dari muhammadiyah.or.id.
Dalam pidato pelantikan Rektor Unimus, Sabtu (22/07/2023), Haedar menyebut mindset komunalitas irasional yang dimaksud adalah corak alam pikiran yang serba goyah, mudah termakan oleh isu-isu artifisial tertentu, lalu pindah ke isu-isu lain tanpa menyelesaikan masalah dari satu isu pun.
Berbagai contoh yang ada dari mindset komunalitas ini, misalnya, seperti gairah untuk mengekspor gagasan Islam Indonesia ke dunia internasional, padahal masalah substansial di dalam negeri sendiri banyak yang belum selesai.
Di sisi lain, mudahnya bangsa Indonesia terkecoh oleh sosok yang dikategorikan sebagai pemimpin merakyat lewat retorika dan pembentukan narasi, padahal rekam jejaknya tidak memadai.
“Di era medsos itu orang tidak berbuat apa-apa di pasar, hanya nampang, (kebetulan) tokoh, lalu wah (disebut) merakyat. Padahal, cuma lewat. Dia tidak memberdayakan orang yang ada di pasar itu untuk berubah dari kelas UMKM menjadi kelas menengah ke atas,” ungkapnya.
“Cuma lewat atau mampir ke tukang pecel tanpa mengubah nasib tukang pecel itu yang dia tetap menderita di tengah glamoritas tokoh atau siapa pun dia yang memperoleh keuntungan dari (kapitalisasi) kemiskinan itu,” kritik Haedar.
“Tapi orang Indonesia kan suka yang gitu-gitu kan? (Lalu terkesan) wah ini tokoh yang merakyat. Padahal, tokoh yang merakyat seharusnya yang bisa mengubah nasib rakyat secara signifikan sehingga dia menjadi lebih sejahtera,” imbuhnya.
Jika bangsa Indonesia bisa keluar dari mindset komunalitas irasional ini dan didukung dengan pengembangan pusat-pusat keunggulan yang mumpuni, Haedar percaya daya saing bangsa Indonesia bisa naik kelas dan bangsa Indonesia mulai layak untuk mempromosikan gagasannya ke dunia luar.
“Nah mudah-mudahan lewat perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah, lewat Rumah Sakit Muhammadiyah, kita bisa terus berbuat mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan membawa Indonesia itu lebih unggul berkemajuan,” pungkasnya.***