BANDUNGMU.COM — Indonesia beruntung punya seorang tokoh perempuan hebat yang satu ini.
Dia menjadi pendamping setiap sang proklamator Bung Karno ketika republik ini sedang akan menapaki sejarahnya sendiri. Ya, perempuan hebat ini ialah Inggit Garnasih.
Dikutip dari ensiklopedia bebas Wikipedia, Jumat 20 Mei 2022, Inggit Garnasih lahir pada 17 Februari 1888.
Dia merupakan istri kedua presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang berperan penting dalam karier sang putra fajar.
Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem – Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda.
Inggit dan Soekarno bercerai di Pegangsaan Timur 56 yang disaksikan oleh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH Mas Mansur. Sekalipun bercerai pada 1942 dan Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno termasuk melayat saat Soekarno meninggal.
Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang. Inggit meninggal di Bandung pada 13 April 1984. Dua bulan sebelum Inggit meninggal, Fatmawati mengunjunginya atas bantuan Ali Sadikin.
Arti nama
Ia terlahir dengan nama Garnasih saja. Garnasih merupakan singkatan dari kesatuan kata “hegar asih, yakni hegar berarti segar menghidupkan dan asih berarti kasih sayang.
Sementara kata “Inggit” yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya.
Di antara mereka beredar kata-kata, “Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit.” Banyak pemuda yang menaruh kasih padanya. Rasa kasih tersebut diberikan dalam bentuk uang yang rata-rata jumlahnya seringgit. Itulah awal muda sebutan Inggit yang kemudian menjadi nama depannya.
Masa kecil
Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 17 Februari 1888, sebagai putri bungsu dari pasangan Ardjipan dan Amsi (w. 1935).
Saat masih remaja, Inggit adalah kembang desa di kampungnya. Banyak lelaki yang berupaya mendekat untuk sekadar bisa mencuri perhatiannya.
Ia pernah dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, ternyata pernikahan ini tidak kuat bertahan lama dan berakhir dengan perceraian.
Kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pengusaha yang bernama Haji Sanusi yang juga aktif di Sarekat Islam. Pernikahan mereka baik-baik saja meskipun tidak bisa juga dibilang bahagia karena ia sering ditinggal suaminya yang terlalu sibuk.
Hingga kemudian datanglah Soekarno. Pada waktu itu, Soekarno telah mempunyai istri bernama Siti Oetari. Namun, rasa cintanya pada Oetari lebih condong seperti cinta kepada saudara.
Soekarno pun akhirnya menceraikan Oetari, begitu pula dengan Inggit yang secara resmi berpisah dengan Sanusi. Keduanya lalu menikah di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem – Bandung.
Keturunan
Inggit Garnasih dan Soekarno mengadopsi dua orang anak, antara lain:
Ratna Djuami (4 Mei 1923 – 23 Juni 2013), anak dari Sumarta dan Muntarsih, kakak Inggit. Diadopsi pada Juni 1923. Dia menikah dengan Asmara Hadi (8 September 1914 – 3 September 1976), anggota MRPS sampai 1966. Mereka memiliki 7 orang anak.
Kartika Uteh (l. 28 Februari 1928), anak dari Atmo Sudirdjo, seorang juru ukur. Diadopsi pada 1934. Dia menikah dengan M. Uteh Riza Yahya, mantan Humas PSSI. Mereka memiliki 6 orang anak.
Jasa besar Inggit
Inggit Garnasih merupakan sosok pahlawan yang sebenarnya memiliki jasa yang sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia. Bagaimana tidak, Inggit Garnasih-lah yang selalu setia mendampingi Soekarno di masa-masa sulitnya. Namun, namanya tak pernah disebut dalam buku pelajaran.
Bagi pembaca yang belum mengenal sosok Inggit Garnasih, beliau adalah istri kedua Soekarno yang membiayai perjuangan Soekarno mulai dari biaya kuliahnya hingga aktivitas politiknya.
Selama ini nama Inggit Garnasih masih asing di telinga masyarakat Indonesia bahkan yang lebih memprihatinkan namanya masih asing di tanah kelahirannya yaitu Kamasan.
Bahkan satu-satunya permohonannya kepada negara, yakni tempat untuk memakamkan jasadnya, tetapi itu pun ditolak juga. Satu-satunya permohonannya, tetapi ditolak pula sungguh menyedihkan.
Namun, deritanya tidak sampai di situ. Masih ada yang lebih memilukan. Yakni walaupun jasanya besar, sampai hari ini, puluhan tahun setelah meninggal, ia tak kunjung diberikan gelar pahlawan nasional padahal sudah berulang kali diusulkan.
Istri Bung Karno yang jasanya besar ini wafat pada 13 April 1984.***