UMBandung
Islampedia

Menengok Sejarah Gelar ”Aceng” Bagi Putra Kiai di Garut

×

Menengok Sejarah Gelar ”Aceng” Bagi Putra Kiai di Garut

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Istockphoto)

BANDUNGMU.COM, Bandung – Pada berbagai daerah di Indonesia, terdapat beragam gelar yang diberikan kepada individu yang memiliki silsilah keluarga bangsawan dari kalangan darah biru.

Gelar-gelar tersebut memiliki nilai historis dan makna tertentu bagi setiap pemiliknya. Beberapa gelar bangsawan yang dikenal di Indonesia antara lain untuk laki-laki ada gelar raden, tubagus, dan lainnya. Sementara untuk perempuan terdapat gelar ajeng, ayu, ratu, dan sebagainya.

Khusus di Kabupaten Garut, Jawa Barat, ada gelar Aceng dan Nyimas yang diberikan kepada putra dan putri ajengan atau kiai. Sesepuh sekaligus pimpinan Pesantren Fauzan, Garut, KH Aceng Aam Umar A’lam, menjelaskan bahwa gelar Aceng dan Nyimas telah ada sejak tahun 1700-an.

Gelar tersebut muncul pada masa Syekh Nuryayi bin Raden Puspadirana, yang memiliki hubungan nasab dengan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. “Syekh Nuryayi adalah murid dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, murid Syekh Jafar Sidik, Garut, dan murid Syekh Maulana Mansur Pandeglang, Banten,” tuturnya, dikutip dari nu.or.id.

Baca Juga:  Inilah 9 Persiapan Menyambut Ramadan

Beberapa keturunan Syekh Nuryayi yang berpengaruh antara lain Syekh Hasan Basori, Syekh Muhammad atau Syekh Jabal Qubais (Mekkah), Syekh Muhammad Adzro’i (Bojong Garut), Syekh Muhammad Umar Bashri (Pesantren Fauzan, Garut), Syekh Siroj (Pengarang Kitab Futuh Ilahiyah), dan Syekh Salim.

Jual beli gelar raden

Pada masa Syekh Nuryayi, Ajengan Aceng Aam menjelaskan bahwa penjajah Belanda sering melakukan praktik jual beli gelar raden kepada masyarakat, khususnya kepada mereka yang dekat dan mendukung Belanda. Hal ini membuat Syekh Nuryayi khawatir karena praktik tersebut dapat merusak keturunan asli raden.

Baca Juga:  Penjelasan Muhammadiyah Soal Memelihara Jenggot

Akibat banyaknya orang yang menyandang gelar raden, masyarakat sulit membedakan antara raden asli dan raden palsu karangan Belanda. Untuk menjaga kejelasan nasab, Syekh Nuryayi menciptakan gelar khusus bagi keturunannya, yakni Aceng dan Nyimas, sebagai pembeda dari gelar raden.

Seiring waktu, gelar Aceng semakin terbuka dan tidak hanya terbatas pada keturunan Syekh Nuryayi. Masyarakat Garut biasa menyebut Aceng kepada siapa saja yang bisa mengaji atau dianggap sudah menjadi ajengan. Bahkan, orang yang hanya memakai kopiah saja kadang-kadang dianggap sebagai Aceng. Ajengan Aceng Aam memahami hal ini sebagai akibat dari terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang sejarah nama Aceng.

Harus mengikuti akhlak Rasulullah

Ajengan Aceng Aam menuturkan, seorang Aceng harus mampu meneladani Nabi Muhammad dalam kelemahlembutan dan akhlak, terutama dalam mendidik. Seorang Aceng harus mengedepankan akhlakul karimah yang disertai dengan ilmu yang luhur.

Baca Juga:  Budaya Literasi sebagai Dasar Kejayaan Peradaban Islam

Orang asli keturunan Aceng biasanya menyembunyikan gelar tersebut agar masyarakat tidak sungkan untuk berkomunikasi langsung dengannya. Mereka juga merasa belum layak menyandang gelar Aceng karena takut menodai gelar tersebut dengan kekurangan yang dimiliki.

Ajengan Aceng Aam mencontohkan adiknya sendiri, Ajengan Aceng Abun, yang memiliki penampilan nyeleneh. Orang yang baru mengenalnya mungkin tidak akan tahu bahwa Ajengan Abun adalah putra kiai yang berpengaruh besar.

Ajengan Aceng Aam berpesan agar gelar Aceng tidak digunakan sembarangan, terutama oleh mereka yang bukan keturunan Syekh Nuryayi, sebagai bentuk kehati-hatian untuk meminimalisir potensi tumbuhnya rasa sombong.***

___

Sumber: nu.or.id

Editor: FA

PMB Uhamka